Melawan Stigmatisasi Aceh Basis Paham Radikal [Tulisan Tahun 2011]
Oleh Teuku Zulkhairi – Beberapa waktu lalu, lembaga survei berbasis nasional Lazuardi Biru merilis hasil penelitiannya tentang daerah ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/03/melawan-stigmatisasi-aceh-basis-paham.html
Oleh Teuku
Zulkhairi – Beberapa waktu lalu, lembaga survei berbasis
nasional Lazuardi Biru merilis hasil penelitiannya tentang daerah yang paling
berpotensi menjadi tempat gerakan radikal di Indonesia. Lembaga Survei ini
memasukkan Aceh sebagai wilayah yang paling rentan terjadi kekerasan atas nama
agama. Posisi Aceh berada di atas Jawa Barat dan Banten dari 32 propinsi
lainnya.
Dhyah Madya
Ruth SN, Ketua Lazuardi Biru mengatakan, Aceh menempati posisi tertinggi 56,8
persen. Disusul Jawa Barat dan Banten yang memiliki indeks kerentanan yang sama
sebesar 46,6 persen. “Indeks ini menunjukkan tingkat partisipasi, dukungan, dan
penerimaan masyarakat terhadap radikalisme sosial-kegamaan di daerah tersebut,”
kata Dhyah saat jumpa pers bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) di Jakarta Media Centre (05/10) sebagaimana dikutip oleh beberapa media
nasional (Kamis, 6/10/2011).
Hasil survei
ini tak pelak membawa Aceh yang baru saja menikmati alam perdamaian ke dalam
sebuah ruang ketidaktenangan dalam beragama. Stigma sebagai wilayah yang paling
berpotensi menjadi tempat gerakan radikal ini bisa memicu kecurigaan berlebihan
banyak kalangan terhadap rakyat Aceh. Seolah Aceh adalah daerah yang selalu
tidak aman, dan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang tidak memahami
keniscayaan pluralitas dan keharusan bertoleransi.
Efeknya, Aceh
menjadi wilayah yang seolah sangat menakutkan dan akhirnya menjadi terisolir.
Jauh dari para investor. Dan tidak tertutup kemungkinan pula jika Aceh yang
sedang membangun pasca konflik berkepanjangan ini pun mengalami hambatan
setelah diumumkannya hasil survei tersebut.
Padahal,
beberapa waktu lalu masyarakat Aceh juga terpaksa pasrah ketika berbagai
kalangan dari luar maupun media massa mempopulerkan istilah Teroris Aceh terhadap
kelompok teroris yang mengadakan pelatihan militer di Gunung Jalin, Aceh
Besar. Padahal, dari konseptor pelatihan ini hingga mayoritas peserta pelatihan
ini bukan berasal dari Aceh. Dari Aceh, hanya beberapa pemuda saja yang
terlibat. Itu pun mereka adalah pemuda tanggung yang realitanya mereka hanyalah
pemuda yang kurang pendidikan dan perhatian, baik dari keluarga, masyarakat
maupun pemerintah. Fakta lain yang didapati kemudian, ternyata mereka juga
tidak memahami konsep dan nilai-nilai agamanya dengan baik.
Aceh Menerima Pluralitas
Aksi kekerasan
dan radikalisme atas nama agama memang kerap kali muncul karena ketidakpahaman
suatu kelompok terhadap keharusan dan keniscayaan adanya perbedaan. Baik
perbedaan agama, perbedaan kelompok, perbedaan mazhab, perbedaan cara pandang
dan sebagainya. Tapi dalam konteks Aceh, realita sejarah membuktikan bahwa
perbedaan agama tidak pernah menjadi suatu persoalan dalam masyarakat Aceh.
Tatanan dan
kultur kehidupan masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam
beragama. Faktanya, tidak pernah ada kasus kekerasan atas nama agama terjadi di
Aceh. Belum pernah ada gereja yang dibakar umat Islam di Aceh. Belum pernah ada
aksi pemboman bermotif agama di Aceh. Semua umat beragama faktanya bisa hidup
nyaman dan tenang di Aceh.
Masyarakat Aceh
hanya pemberontakan jika keyakinan mereka diganggu gugat. Jika kehormatan
mereka diinjak-injak. Jika akidah mereka dinodai. Kecintaan masyarakat Aceh
terhadap agama mereka, membuat mereka rela berjihad ratusan tahun dengan
penjajah Belanda, bahkan hingga kemudian dengan penjajah Jepang. Ini sebab
sehingga kemudian dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh adalah
satu-satunya wilayah Indonesia yang tidak bisa ditaklukkan oleh penjajah.
Perlawanan yang
ditunjukkan rakyat Aceh saat melawan penjajah ini adalah wujud nyata bagaimana
masyarakat Aceh memandang konsep ‘jihad’ dalam sejarahnya. Akulturasi
paradigma pesantren-pesantren (dayah) di Aceh dengan kultur budaya serta adat
masyarakat Aceh merupakan titik sentral bagi perwujudan peradaban Aceh yang
egaliter dan memahami keniscayaan pluralitas. Aceh yang berbasis pesantren ini
bisa mendudukkan persoalan ‘jihad’ dengan baik hingga saat ini.
Bahkan, dengan
status Aceh yang sedang menerapkan syariat Islam maka segala bentuk paham
radikal dan terorisme atas alasan apapun tidak akan diterima dan tidak akan
hidup di Aceh. Terbukti lagi, saat para teroris mengadakan latihan di Gunung Jalin,
Aceh Besar beberapa waktu lalu, baik masyarakat Aceh, maupun
pesantren-pesantren di Aceh—sebagai benteng syariat Islam—tidak bisa
menerima total kehadiran kelompok radikal dari luar Aceh seperti terhadap
kelompok yang mengadakan pelatihan militer di Aceh—yang kemudian ditumpas
oleh Densus 88—beberapa waktu lalu.Â
Hingga saat ini
pun, pesantren-pesantren di Aceh tetap menghormati keniscayaan adanya perbedaan
keyakinan. Tidak pernah ada kurikulum yang membentuk watak radikal atas nama
agama di pesantren-pesantren di Aceh.
Di era konflik
Aceh dengan pusat, perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat disebabkan
adanya ketidakadilan pembangunan sehingga memunculkan kesenjangan sosial yang
amat akut di Aceh dimana padahal Aceh, meminjam istilah Bung Karno merupakan
daerah modal. Artinya, konflik tersebut terjadi bukan atas motif agama.
Tapi
perlawanan ini merupakan bentuk penuntutan hak sebagai warga negara yang memang
harus dipedulikan oleh negaranya berdasarkan UUD negara. Perlawanan tersebut di
satu sisi dianggap sebagai suatu kewajaran, sampai kemudian Jakarta insaf bahwa
Aceh harus dibangun dengan jujur dan serius. Sedangkan di era perdamaian Aceh,
trauma atas berbagai tragedi suram saat konflik masa lalu juga begitu cepat
dilupakan oleh masyarakat Aceh. Mereka ikhlas untuk tidak mengungkit-ungkit
trauma masa lalu. Karena Aceh begitu rindu dengan perdamaian dan kedamaian.
Aceh mencintai kedamaian dan ketenteraman.
Menyoal Stigma Radikal
Melihat realita
sejarah rakyat Aceh tersebut serta fakta empirisme kontemporer, sejatinya tidak
layak Aceh dijustifikasi sebagai daerah yang rawan terjadinya radikalisme atas
nama agama. Apalagi jika justifikasi Aceh sebagai daerah yang rawan terjadinya
kekerasan atas nama agama ini hanya hasil survei tentang persepsi. Kecuali itu,
banyak alasan sebenarnya kenapa Aceh harus menyoal stigmatisasi radikal ini.
Selain karena Aceh yang tengah menikmati masa damai ini—sehingga diharapkan
pihak luar seharusnya tidak memperkeruh situasi Aceh dengan analisa atau stigma
yang memojokkan Aceh—juga metodologi survei lembaga penelitian itu sendiri
yang masih dipertanyakan tingkat keakuratannya. Survei tentang persepsi tidak
mungkin memasung kebenaran dari fakta empirik serta bukti sejarah bahwa
radikalisme atas nama agama tidak pernah hidup di Aceh. Bagaimana mungkin
kebenaran empirik bisa dikalahkan oleh survei persepsi?
Lalu apakah
layak sample persepsi ini menjadi sebuah alasan untuk memberi stigma baru yang
memojokkan Aceh yang baru saja menikmati era perdamaian? Jikapun survei itu
penting, lalu seberapa pentingkah hasil survei ini dipublikasi di media
sehingga Aceh semakin terpojok? Bukankah Aceh berhak hidup dalam ketenangan dan
kedamaian seperti daerah lain?
Bukankah hidup
ini akan sangat indah jika tanpa saling curiga dan saling menghormati?.
Menghindari stigmatisasi radikal bagi Aceh adalah wujud kecintaan bagi rakyat
Aceh yang merupakan bagian dari masyarakat nusantara yang pada akhirnya
merupakan bukti kecintaan kita kepada negara tercinta ini. Sebaliknya, stigmatisasi
Aceh dengan istilah-istilah yang memojokkan justru bisa menjadi celah-celah
bagi munculnya keterasingan warga negara dari negaranya sehingga pada akhirnya
bisa memunculkan benih-benih disintegrasi bangsa yang padahal telah lelah
sekali benih ini kita padamkan.[]
*Penulis adalah
Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketua Departemen
Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA).
Sudah dimuat di Harian Aceh. Link: http://m.harianaceh.co/read/2011/10/21/20045/melawan-stigmatisasi-aceh-basis-paham-radikal
https://orcid.org/0000-0001-9450-5306