Oleh Teuku Zulkhairi Salah satu efek paling krusial dari studi Islam di Barat ( Islamic Studies ) yang bisa kita saksikan dewasa ini ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/01/menyoal-studi-islam-di-barat.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Salah satu efek paling krusial dari studi Islam
di Barat (Islamic Studies) yang bisa
kita saksikan dewasa ini adalah lahirnya perasaan rendah diri (mental inferior)
sebagian intelektual Muslim, dengan atau
tanpa disadarinya.
Kasus seorang oknum dosen UIN Ar-Raniry yang tidak lain
adalah alumnus Islamic Studies yang
membawa mahasiswanya untuk studi gender di gereja seperti diberitakan Harian
Serambi Indonesia Rabu lalu lalu (6/1) harus diakui merupakan efek langsung dari
hasil studi Islam di Barat.
Fenomena ini menarik kita kaji secara kritis karena
kasus di atas semakin menambah deretan panjang realitas empiris yang menunjukkan
bahwa program studi Islam di Barat telah nyata menjadi produsen virus mental
inferior di kalangan intelektual Muslim. Setelah belajar Islam di Barat, mereka
justru menjadi merasa rendah diri atas ajaran Islam sehingga sampai merasa harus
belajar ke dalam gereja.
Padahal, Islam itu ajaran yang sempurna, tinggi dan tidak ada
yang bisa menandinginya, sesuai dengan firmanNya, “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu. (QS Al-Maidah: 3).
Menularkan virus
‘mental inferior’
Dalam banyak kasus, virus mental inferior yang
menimpa seorang intelektual Muslim setelah belajar Islam ke Barat berakibat
pada kekaguman berlebihan mereka pada ajaran di luar Islam sehingga berujung pada
munculnya keraguan-raguan (skeptis)
terhadap ajaran Islam. Nalar kritis mereka tumpul di hadapan kemajuan
peradaban Barat. Realitas menunjukkan tidak
sedikit dari kalangan ‘intelektual’ Muslim yang “membebek” atas apa saja konsep
yang ditawarkan Barat (baca: orientalism) ke dunia Islam seperti
sekulerisme, pluralisme, liberalisme, gender dan sebagianya yang disebarkan
lewat berbagai metodenya.
Lihat saja buktinya, sangat sedikit kalangan
intelektual muslim lulusan Islamic studies yang mampu mengkritisi konsep dan
metode pemikiran yang dikembangkan para orientalis. Jikapun nalar kritis itu
mereka hidupkan, maka kritikan itu semata-mata ditujukan kepada Islam dan karya
para ulama, tidak untuk Barat, pemikiran serta karya para orientalisnya. Inilah
persoalan terbesar yang mendera umat Islam sebagai hasil dari program Islamic Studies yang sudah saatnya kita
persoalkan.
Pada dasarnya, belajar boleh
dimana saja. Rasulullah pun pernah berpesan, ”tuntutlah ilmu walau ke negeri
Cina”. Hanya saja, konteks belajar Islam ke Amerika, Australia atau negara Barat lainnya menjadi sesuatu yang berbeda. Bisa kita sebut,
belajar Islam di Barar lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Sebab, sejauh ini, hanya sedikit alumnus Islamic Studies yang mampu berperan membawa umat Islam menuju kebangkitan dengan
melawan hegemoni berbagai tipu daya Barat yang menjajah. Sebut saja beberapa
nama yang sudah masyhur, misalnya Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone,
Muhammad Mustafa al-A’zami lulusan Cambridge dan Syaed Muhammad Naquib al-Attas lulusan London.
Atau juga beberapa generasi baru
seperti Hamid Fahmi Zarkasyi dan Syamsuddin Arif. Mereka mampu kebal atas
virus para orientalis karena memang telah mempersiapkan diri secara akidah.
Lulus dari Barat, mereka
menemukan sesuatu yang berharga bagi dunia Islam, yaitu mengetahui bagaimana
metodologi Barat (dengan segala kelemahannya) dalam menancapkan hegemoninya di
dunia Islam dalam berbagai tatanan kehidupan, bukan justru menjadi pembebek
atas setiap rumusan pandangan Barat terhadap Islam. Ini model lulusan yang
diharapkan karena dengan demikian mereka telah membekali umat Islam untuk maju
dengan tetap menjadikan Islam sebagai solusi menuju kebangkitan sekaligus
membantu merumuskan pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang
berbeda dengan pandangan Barat terhadap Islam.
Setelah belajar pada orientalis di Barat, Hamid Fahmi Zarkasyi
(Misykat: 2012), mengatakan, ”Kelemahan dari belajar Islam di Barat ada pada Framework(manhaj) berfikir mereka dalam
mengkaji Islam. Dari prinsip obyektifitas, Islam dikaji bukan untuk ibadah atau
untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebatas ilmu, dan ilmu dalam
kacamata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris”. Efeknya, dalam
studi hadis dan Alquran misalnya, fakta-fakta yang tidak berbentuk
empiris(nyata) tidak mampu mereka jadikan variabel dalam studi ulumul hadis dan
Alquran.
Contoh lain, dengan
filsafat hermeneutika (metode yang pada awalnya digunakan untuk penafsiran
Bibel), Alquran juga menjadi produk budaya, bukan
wahyu dari Tuhan yang pada akhirnya ujung-ujungnya adalah untuk
desakralisasikan Alquran. Alhasil, tidaklah mengherankan jika keraguan terhadap
kebenaran Alquran dan hadis semakin sering terlihat dari para alumnus Islamic Studies atau dari orang-orang yang
mereka didik.
Sebagai contoh, lihat
misalnya kasus seorang
Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Qasim
Mathar, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media online dua tahun lalu menyebut bahwa Alquran perlu direvisi
karena Nabi Muhammad Saw telah meninggal dunia sehingga tak cocok lagi.
Sampai di sini, kita
bisa memahami bahwa mereka yang belajar Islam di Barat dengan
kesalahan pandang yang fundamental ini pada akhirnya justru tidak menawarkan
solusi yang bermanfaat ketika pulang ke negerinya, tapi justru membawa
permasalahan lain yang merusak kenyaman hidup umat Islam di negeri ini.
Secara gamblang, Syamsuddin Arif yang juga pernah
belajar di Barat juga melakukan kritik terhadap metodologi Barat (lihat: Orientalis dan diabolisme
pemikiran: 2008). Ia secara jelas merasakan adanya motif ekonomi,
politik dan agama dalam studi Islam Islam di Barat.
Nampaknya, kritikan-kritikan ini sangat beralasan apabila
kita mau sedikit saja belajar pada sejarah Aceh, misalnya bagaimana peran
orientalis Barat seperti Snouck Hugronje dalam membantu Belanda menjajah
kerajaan Aceh dulu sebagai bukti adanya misi ekonomi,
politik dan agama dalam kerja-kerja orientalis
khususnya di masa itu dan misi dari program Islamic
studies umumnya.
Kembali ke jalan Islam
Bahwa ketertinggalan peradaban Islam dalam beberapa bidang dewasa ini,
solusi yang seharusnya ditawarkan adalah dengan kembali pada Islam, bukan
dengan merujuk pada konsep agama lain. Jika kita melihat berbagai persoalan
yang dihadapi ummat dewasa ini, maka yang harus kita lakukan seharusnya adalah
mengajak ummat kembali pada Islam, bukan mengekor pada paradigma luar Islam.
Sebab umat Islam hanya akan bisa keluar dari segudang persoalan yang
dihadapinya dengan cara kembali kepada Islam sebagaimana yang dilakukan oleh
generasi salafusshalih di kalangan umat terdahulu yang berhasil membawa Islam
dan ummatnya dalam era kejayaan.
Oleh sebab itu, jika kita ingin kasus dosen perguruan tinggi Islam yang “belajar
gender di gereja” tidak terulang lagi di
masa depan, maka yang harus kita lakukan adalah mendesak pemerintah Aceh dan
segenap perguruan tinggi Islam untuk tidak lagi mengirim putra-putri Aceh
belajar Islam ke Barat. Kecuali itu, jika memang dengan alasan akademis beasiswa
kuliah Islamic Studies ke Barat tetap diperlukan, maka harus diseleksi dengan
syarat yang ketat dengan melibatkan para ulama-ulama dan guru besar yang
terbukti bisa kritis kepada Barat dan tidak pernah meragukan kebesaran ajaran
Islam.
Kendati demikian, alangkah tepatnya jika program beasiswa kuliah ke Barat
seharusnya relevan dengan kebutuhan Aceh dewasa ini, dimana Aceh memiliki
kekurangan bidang sains dan teknologi. Jadi, mahasiswa Aceh yang dikirim ke
Barat hendaknya bukan untuk belajar Islam, akan tetapi untuk belajar Sains dan
teknologi yang mana inilah salah satu kekurangan Aceh hari ini yang menjadi
keunggulan Barat.
Teuku
Zulkhairi,
MA | Alumnus Dayah Babussalam matangkuli Aceh Utara dan Pascasarajana
UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Bekerja di Kanwil Kemenag Aceh. Email:
abu.erbakan@gmail.com
sudah dimuat di: http://aceh.tribunnews.com/2015/01/12/menyoal-studi-islam-di-barat