Menyoal Studi Islam di Barat

Oleh Teuku Zulkhairi Salah satu efek paling krusial dari studi Islam di Barat ( Islamic Studies ) yang bisa kita saksikan dewasa ini ...

Oleh Teuku Zulkhairi

Salah satu efek paling krusial dari studi Islam di Barat (Islamic Studies) yang bisa kita saksikan dewasa ini adalah lahirnya perasaan rendah diri (mental inferior) sebagian intelektual  Muslim, dengan atau tanpa disadarinya.

Kasus seorang oknum dosen UIN Ar-Raniry yang tidak lain adalah alumnus Islamic Studies yang membawa mahasiswanya untuk studi gender di gereja seperti diberitakan Harian Serambi Indonesia Rabu lalu lalu (6/1) harus diakui merupakan efek langsung dari hasil studi Islam di Barat.

Fenomena ini menarik kita kaji secara kritis karena kasus di atas semakin menambah deretan panjang realitas empiris yang menunjukkan bahwa program studi Islam di Barat telah nyata menjadi produsen virus mental inferior di kalangan intelektual Muslim. Setelah belajar Islam di Barat, mereka justru menjadi merasa rendah diri atas ajaran Islam sehingga sampai merasa harus belajar ke dalam gereja. 

Padahal, Islam itu ajaran yang sempurna, tinggi dan tidak ada yang bisa menandinginya, sesuai dengan firmanNya, “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS Al-Maidah: 3).

Menularkan virus ‘mental inferior’
Dalam banyak kasus, virus mental inferior yang menimpa seorang intelektual Muslim setelah belajar Islam ke Barat berakibat pada kekaguman berlebihan mereka pada ajaran di luar Islam sehingga berujung pada munculnya keraguan-raguan (skeptis) terhadap ajaran Islam. Nalar kritis mereka tumpul di hadapan kemajuan peradaban Barat. Realitas menunjukkan tidak sedikit dari kalangan ‘intelektual’ Muslim yang “membebek” atas apa saja konsep yang ditawarkan Barat (baca: orientalism) ke dunia Islam seperti sekulerisme, pluralisme, liberalisme, gender dan sebagianya yang disebarkan lewat berbagai metodenya.

Lihat saja buktinya, sangat sedikit kalangan intelektual muslim lulusan Islamic studies yang mampu mengkritisi konsep dan metode pemikiran yang dikembangkan para orientalis. Jikapun nalar kritis itu mereka hidupkan, maka kritikan itu semata-mata ditujukan kepada Islam dan karya para ulama, tidak untuk Barat, pemikiran serta karya para orientalisnya. Inilah persoalan terbesar yang mendera umat Islam sebagai hasil dari program Islamic Studies yang sudah saatnya kita persoalkan.

Pada dasarnya, belajar boleh dimana saja. Rasulullah pun pernah berpesan, ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Hanya saja, konteks belajar Islam ke Amerika, Australia atau negara Barat lainnya menjadi sesuatu yang berbeda. Bisa kita sebut, belajar Islam di Barar lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.  

Sebab, sejauh ini, hanya sedikit alumnus Islamic Studies yang mampu berperan membawa umat Islam menuju kebangkitan dengan melawan hegemoni berbagai tipu daya Barat yang menjajah. Sebut saja beberapa nama yang sudah masyhur, misalnya Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone, Muhammad Mustafa al-A’zami lulusan Cambridge dan Syaed Muhammad Naquib al-Attas lulusan London.

Atau juga beberapa generasi baru seperti Hamid Fahmi Zarkasyi dan Syamsuddin Arif. Mereka mampu kebal atas virus para orientalis karena memang telah mempersiapkan diri secara akidah. 

Lulus dari Barat, mereka menemukan sesuatu yang berharga bagi dunia Islam, yaitu mengetahui bagaimana metodologi Barat (dengan segala kelemahannya) dalam menancapkan hegemoninya di dunia Islam dalam berbagai tatanan kehidupan, bukan justru menjadi pembebek atas setiap rumusan pandangan Barat terhadap Islam. Ini model lulusan yang diharapkan karena dengan demikian mereka telah membekali umat Islam untuk maju dengan tetap menjadikan Islam sebagai solusi menuju kebangkitan sekaligus membantu merumuskan pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang berbeda dengan pandangan Barat terhadap Islam.

Setelah belajar pada orientalis di Barat, Hamid Fahmi Zarkasyi (Misykat: 2012), mengatakan, ”Kelemahan dari belajar Islam di Barat ada pada Framework(manhaj) berfikir mereka dalam mengkaji Islam. Dari prinsip obyektifitas, Islam dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebatas ilmu, dan ilmu dalam kacamata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris”. Efeknya, dalam studi hadis dan Alquran misalnya, fakta-fakta yang tidak berbentuk empiris(nyata) tidak mampu mereka jadikan variabel dalam studi ulumul hadis dan Alquran.

Contoh lain, dengan filsafat hermeneutika (metode yang pada awalnya digunakan untuk penafsiran Bibel), Alquran juga  menjadi produk budaya, bukan wahyu dari Tuhan yang pada akhirnya ujung-ujungnya adalah untuk desakralisasikan Alquran. Alhasil, tidaklah mengherankan jika keraguan terhadap kebenaran Alquran dan hadis semakin sering terlihat dari para alumnus Islamic Studies atau dari orang-orang yang mereka didik.

Sebagai contoh, lihat misalnya kasus seorang Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Qasim Mathar, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media online dua tahun lalu menyebut bahwa Alquran perlu direvisi karena Nabi Muhammad Saw telah meninggal dunia sehingga tak cocok lagi.

Sampai di sini, kita bisa memahami bahwa mereka yang belajar Islam di Barat dengan kesalahan pandang yang fundamental ini pada akhirnya justru tidak menawarkan solusi yang bermanfaat ketika pulang ke negerinya, tapi justru membawa permasalahan lain yang merusak kenyaman hidup umat Islam di negeri ini.

Secara gamblang, Syamsuddin Arif yang juga pernah belajar di Barat juga melakukan kritik terhadap metodologi Barat (lihat: Orientalis dan diabolisme pemikiran: 2008). Ia secara jelas merasakan adanya motif ekonomi, politik dan agama dalam studi Islam Islam di Barat.

Nampaknya, kritikan-kritikan ini sangat beralasan apabila kita mau sedikit saja belajar pada sejarah Aceh, misalnya bagaimana peran orientalis Barat seperti Snouck Hugronje dalam membantu Belanda menjajah kerajaan Aceh dulu sebagai bukti adanya misi ekonomi, politik dan agama dalam kerja-kerja orientalis khususnya di masa itu dan misi dari program Islamic studies umumnya.
Kembali ke jalan Islam
Bahwa ketertinggalan peradaban Islam dalam beberapa bidang dewasa ini, solusi yang seharusnya ditawarkan adalah dengan kembali pada Islam, bukan dengan merujuk pada konsep agama lain. Jika kita melihat berbagai persoalan yang dihadapi ummat dewasa ini, maka yang harus kita lakukan seharusnya adalah mengajak ummat kembali pada Islam, bukan mengekor pada paradigma luar Islam. 

Sebab umat Islam  hanya akan bisa keluar dari segudang persoalan yang dihadapinya dengan cara kembali kepada Islam sebagaimana yang dilakukan oleh generasi salafusshalih di kalangan umat terdahulu yang berhasil membawa Islam dan ummatnya dalam era kejayaan.

Oleh sebab itu, jika kita ingin kasus dosen perguruan tinggi Islam yang “belajar gender di gereja”  tidak terulang lagi di masa depan, maka yang harus kita lakukan adalah mendesak pemerintah Aceh dan segenap perguruan tinggi Islam untuk tidak lagi mengirim putra-putri Aceh belajar Islam ke Barat. Kecuali itu, jika memang dengan alasan akademis beasiswa kuliah Islamic Studies ke Barat tetap diperlukan, maka harus diseleksi dengan syarat yang ketat dengan melibatkan para ulama-ulama dan guru besar yang terbukti bisa kritis kepada Barat dan tidak pernah meragukan kebesaran ajaran Islam.

Kendati demikian, alangkah tepatnya jika program beasiswa kuliah ke Barat seharusnya relevan dengan kebutuhan Aceh dewasa ini, dimana Aceh memiliki kekurangan bidang sains dan teknologi. Jadi, mahasiswa Aceh yang dikirim ke Barat hendaknya bukan untuk belajar Islam, akan tetapi untuk belajar Sains dan teknologi yang mana inilah salah satu kekurangan Aceh hari ini yang menjadi keunggulan Barat.   

Teuku Zulkhairi, MA | Alumnus Dayah Babussalam matangkuli Aceh Utara dan Pascasarajana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Bekerja di Kanwil Kemenag Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com

sudah dimuat di: http://aceh.tribunnews.com/2015/01/12/menyoal-studi-islam-di-barat

Related

Pendidikan 4454600876846408092

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

Anonymous:

salut, sangat membantu saya dlm khazanah wawasan ilmuan. analisa bagus. diharapkan bisa menjadi penyejuk di kala umat kehilangan panglima atau kebinggungan mengikuti panglima yg sebenarnya panglima.

radio 80 meter band:

bangsa tum adalah rusia kalau amerika bangsa yahudi

Sandria:

sewa mobil di balisewa mobil di bali

Anonymous:

ya, silahkan Anisa Diyah...

Anisa diyah:

subhanallah .. izin share ustadz :)

item