[Tanggapan untuk Nauval Pally Taran] Sekali Lagi, Hendaklah Kalangan “Salafy” Lebih Toleran!

Oleh Teuku Zulkhairi Tulisan saya sebelumnya yang berjudul “ Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran ” ( Kopi Beung...



Oleh Teuku Zulkhairi

Tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran(Kopi Beungoh Serambi,  21 Juni 2016 pada dasarnya semata-mata karena rasa sayang dan cinta saya kepada sesama umat Islam. Dengan tulisan tersebut, saya hanya bermaksud mengkritisi metode dakwah mereka yang cukup mudah membid’ahkan dan mensyirikkan. Harapan saya, setidaknya dengan masukan tersebut mereka bisa menyesuaikan diri dengan umat Islam, khususnya di Aceh agar tidak menimbulkan goncangan-goncangan yang mengarahkan kepada konfrontasi dan perdebatan berkepanjangan, seperti kita saksikan selama ini. Artinya, secara pribadi, saya mempersilahkan mereka berdakwah dengan syarat tidak mengusik praktek beragama yang sudah dijalankan masyarakat Aceh yang berdasarkan referensi Islam yang telah mereka pelajari dan amalkan.

Bagaimanapun, terbetik harapan di hati saya agar kelak di Aceh tidak ada lagi gesekan-gesekan di tengah umat Islam dalam perkara khilafiyah, sesuatu yang kita saksikan terjadi begitu massif beberapa tahun belakangan ini, siapapun pelakunya. Sebenarnya malas untuk menyibukkan diri dengan perkara-perkara seperti ini, namun apa yang harus kita lakukan ketika realitas masyarakat sudah begitu resah diserang dengan tudingan bid’ah dan syirik. Siapakah yang tidak resah atas fenomena ini? Siapakah yang sudi melihat negerinya ribut-ribut pada perkara khilafiyah, padahal tugas-tugas lain untuk membangun peradaban sedang menanti kita di hadapan?

Sebelum menulis catatan itu, saya dan mungkin kita semua telah menyaksikan sendiri fenomena tudingan bid’ah dan syirik satu kelompok atas kelompok lain. Di satu waktu, saya menyaksikan keluhan ibu-ibu di sebuah desa setelah mengikuti kali pertama pengajian bersama seorang Ibu Salafy bercadar. Penyebabnya, karena meski baru kali pertama mengisi pengajian tersebut, Ibu salafy ini langsung menuduh ibu-ibu warga desa pedalaman ini dengan tuduhan memakai baju orang jahiliyah, hanya karena tidak bercadar sebagaimana mereka. Tentu, kita bukan anti cadar, saya pribadi pun telah mengizinkan istri menggunakan cadar. Namun, yang terpikir oleh saya, kenapa beragama sekeras itu? Tidak ada kah metode dakwah lain yang lebih manusiawi, misalnya dengan menggunakan metode tadarruj (bertahap-tahap)? Bedakan cara dakwah Salafy semacam ini dengan apa yang dilakukan seorang ulama Aceh, Tgk Abubakar bin Usman (Abon Buni) di Aceh Utara, yang setelah mengajar tauhid, tasawuf dan fikih belasan tahun dulu, baru kemudian menekankan jama’ah, antara lain untuk cadar dan amalan sunnat lainnya.

Tentu banyak cerita lainnya perihal dakwah salafy ini. Di sebuah Radio kalangan Salafy, tuduhan-tuduhan bid’ah dan syirik juga begitu mudah kita dapati. Dan puncaknya adalah saat mendengar ceramah dua syaikh Salafy, Syafiq Riza Basalamah dan Khalid Basamalah di Youtube, yang mendapat sorotan serius umat Islam dari berbagai kalangan. Komentar-komentar dua da’i Salafy ini cukup membuat kita resah oleh sebab potensi perpecahan umat yang diakibatkannya. Kendati pun demikian, rasa syukur kita melihat kedua da’i pada akhirnya meminta maaf.

Contoh berikutnya, seperti yang saya ceritakan di catatan awal, saya menyimak pengakuan seorang anak kecil di sebuah mesjid yang dengan sangat berani menyebut Asy’ariah (pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiah (pengikut Abu Mansur al-Maturidi) sebagai sesat. Anak kecil ini mengakui sejak beberapa waktu mulai belajar di sebuah Ma’had Salafy di Aceh. Mengapakah sampai anak kecil sudah diajarkan pola pikir semacam itu? Ternyata memang, dalam salah satu buku Syaikh Salafy,  Asy’ariah dan Maturidiah dimasukkan dalam kategori firqah yang sesat dan menyesatkan (lihat buku Mulia dengan Manhaj Salaf karangan Yazid Abdul Qadir Jawas). Setelah melihat anak ini sebagai salah objek dakwah Salafy oleh karena ia mengikuti pengajian salafy, maka saya menyimpulkan bahwa dakwah menyesatkan dan menuduh bid'ah dan syirik telah dijadikan satu metode atau model dakwah.
Salafy sesatkan Asy'ari dan Maturidi

Sekedar saya informasikan, kedua ulama ini telah dijadikan rujukan umat Islam di Aceh dalam bidang akidah sejak berabad-abad lalu, jauh sekali sebelum ideologi dan rombongan “Salafy” datang ke Aceh.  Sesatkah umat Islam di Aceh mulai dari pertama masuk Islam di Aceh sampai saat ini oleh sebab kini Imam Abu Hasan al-Asy’ari Abu Mansur al-Maturidi telah dimasukkan dalam kategori firqah sesat oleh kalangan “Salafy”?

Atas fenomena ini, pada akhirnya, saya menyimpulkan, metode dakwah semacam itu harus diperbaiki, khususnya di Aceh yang telah memiliki referensi sendiri dalam beragama, khususnya karena umat Islam menjadikan mazhab Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyah) sebagai referensi, dimana pada saat yang sama mereka juga menghormati mazhab-mazhab lain.

Salafy Yang Saya Maksudkan
Salafy yang saya maksudkan dalam tulisan ini bukan Salafy sebagai manhaj yang mengikuti para Salafussalih, melainkan golongan yang menyebut diri kelompoknya sebagai “Salafy” dan kemudian menganggap hanya golongan mereka yang mengikuti ulama salaf, serta berpandangan kelompok lain keluar dari jalur salaf.

Dari sini, Saya memandang, termasuk Salafy secara umum adalah mereka yang mengikuti kalangan Salafussalih dari umat terdahulu, dalam bidang keilmuan, pola pikir, amalan, sikap, dan juga metode dakwah mereka. Maka dalam hal ini, kalangan dayah di Aceh misalnya, mereka tetap termasuk dalam dalam kategori salafussalaeh oleh sebab sanad keilmuan yang dikembangkan adalah sampai kepada Rasulullah Saw, begitu juga amalan-amalannya, meskipun tidak semua amalan salaf diamalkan seperti sunnah berjenggot. Begitu juga, kelompok lainnya, ketika mereka dan siapa saja mengikuti Imam Syafi’i, Imam Mazhab lainnya dalam berbagai khazanah keilmuan mereka, sesungguhnya memiliki sanad hingga kepada Rasulullah Saw sehingga mengikuti mereka berarti kita telah mengikuti para Salafussalih.

Oleh sebab itu, mulai dari paragraf setelah ini, salafy yang saya maksudkan di sini (dan saya perjelas, juga salafy pada tulisan sebelumnya), adalah Salafy yang suka membid’ahkan dan memunculkan kegaduhan di masyarakat. Pandangan seperti ini perlu saya jelaskan untuk meminimalisir anggapan bahwa saya sedang mempersoalkan Salafussalih.

Tanggapan untuk Nauval Pally Taran
Saya merangkum beberapa hal yang dipersoalkan Nauval Pally Taran (selanjutnya saya singkat NPT) dengan judul “Menjawab Teuku Zulkhairi, Mengenai Dakwah Salafy(Kopi Beungoh Serambi/25 Juni 2016). Saya ulangi, catatan sebelumnya berjudul "Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran" pada dasarnya adalah upaya saling mengingatkan sesama Muslim demi terbangun soliditas dan persatuan di tengah-tengah umat Islam, khususnay di Aceh sebagai daerah yang baru satu dekade keluar dari konflik panjang.  

Dalam hal ini, apa yang saya kritisi dari Salafy adalah pada metode mereka, agar hendaklah lebih toleran, tidak mudah membid’ahkan dan menuduh syirik kepada umat Islam yang lain. Tidak diragukan sedikitpun bahwa di lapangan,  di masyarakat kita, dakwah membid’ahkan dan menuduh syirik oleh kalangan Salafy adalah hal begitu massif dirasakan, sesuatu yang kemudian memunculkan perlawanan keras oleh sebab secara umum masyarakat Aceh masih dekat dengan kalangan ulama, baik ulama kampus maupun ulama dayah.

Pasca kasus demontrasi masyarakat Aceh ke salah satu Ma’had Salafy di Aceh besar, saya sempat  membaca  via Whatsapp surat dari Ma’had Salafy kepada Bupati Aceh Besar yang menjelaskan kesediaan mereka yang pada intinya untuk tidak lagi menuduh bid’ah atas amalan-amalan umat Islam di Aceh. Harapan saya janji tersebut dipenuhi. Sebab, sungguh, saya termasuk yang berharap agar umat Islam senantiasa bersatu. Begitu banyak kerja-kerja membangun Aceh yang mesti kita kerjakan.

Pertama, NPT menilai pandangan saya bahwa “Syaikh Nashiruddin al-Bani sebagai salah satu sumber masalah intoleransi Salafy” adalah kesimpulan yang keliru. Di sini saya tidak akan menghakimi Syaikh Nashiruddin al-Bani karena memang tentu saja keilmuan beliau sudah luas. Al-Bani banyak menyeru kepada upaya ijtihad yang harus dilakukan oleh setiap muslim sehingga tidak taqlid kepada mazhab, meskipun tentu saja ijtihad adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh setiap umat Islam karena banyak syarat yang harus dipenuhi yang dengan syarat-syarat itu kita yakin sepenuhnya tidak mungkin semua  muslim bisa berijtihad.

Di balik itu, NPT patut menelusuri, bahwa penentangan terhadap Al-Bani sudah dilakukan oleh banyak sekali ulama lainnya yang juga memiliki keluasan ilmu yang sangat tidak diragukan. Pada intinya, para ulama yang mempersoalkan Al-Bani disebabkan oleh karena Al-Bani sangat intens mengkampanyekan dekonstruksi mazhab oleh karena keyakinan Al-Bani bahwa setiap muslim bisa berijtihad dalam urusan agama.  

Salah satunya, Syaikh Ramadhan al-Buthi misalnya,  dalam kitab berjudul “Alla Mazhabiyyatu Akhtaru Bid’atun Tuhaddidu Asy-Syari’ati Islamiyah” yang kemudian diterjemahkan dalam bahasaa Indonesia menjadi berjudul “Bahaya Bebas Mazhab dalam Keaguangan Syari’at Islam” (Pustaka Setiap: 2001) sangat banyak memberi penjelasan seputar  kerancuan Al-Bani dan kelompoknya.

Dalam merespon Al-Bani yang memberi peluang setiap muslim untuk berijtihad, pada halaman 132 Syaikh Ramadhan al-Buthi menulis: “Syaikh Nashr Al-Bani dan sebagian golongannya sering melontarkan ucapan di atas dalam majelis-majelis dan kesempatan lainnya. Mereka selalu berusaha untuk menghilangkan kepercayaan umat kepada para Imam Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali Radhiyallahu ‘anhum) dan memberikan kesan kepada banyak orang bahwa keempat imam Mujtahid itu adalah manusia biasa seperti kita.”.

Pada penjelasan-penjelasan berikutnya, selain mengupas kerancuan al-Bani dan kelompok yang mengikuti atau diikutinya, Al-Buthi memperjelas urgensi bermazhab bagi umat Islam oleh karena tidak semua umat Islam bisa berijtihad layaknya imam Mazhab.  Selain Al-Buthi,  dari berbagai sumber disebutkan, pada dasarnya terdapat banyak ulama lain yang mengkritisi Al-Bani, seperti al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania dan sebagainya.

Di tengah realitas ini, NPT menyebut Nashiruddin al-Bani sebagai muhaddis besar abad ini. Mengapakah justru ulama yang sangat banyak dipersoalkan kalangan umat Islam karena perpecahan yang ditimbulkannya justru dijadikan referensi dalam beragama? Saya pikir, atas dasar keyakinan NPT seperti ini, dan barangkali sebagian kalangan Salafy lainnya juga memiliki pandangan serupa tentang kepatutan upaya al-Bani mendekontruksi hadis-hadis, termasuk hadis sahih,dari para imam, misalnya Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan para perawi lainnya.

Al-Bani misalnya berani menyatakan bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).

Berikutnya, Al-Bani misalnya berkata: “Sesungguhnya shalat yang dimaksud antara adzan yang disyariatkan dan adzan yang dibuat-buat, yang mereka beri nama shalat sunnah Jum’at qabliyah tidak ada dasarnya dalam as- Sunnah dan tidak seorang pun dari para sahabat dan para imam yang mengatakannya” (Lihat: Al-Ajwibah An-Nafi’ah halaman 41). Padahal, sejumlah perawi hadis berkata hadis shalat sunat qabliyah (sebelum) jum’at adalah hadis sahih.

Ada pula fatwa-fatwanya yang lain, seperti menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18).

Mengamalkan Hadis Dha’if tentang Do’a Berbuka Puasa 
Penilaian saya, itu sebab, dalam persoalan lainya seperti do’a berbuka puasa yang sering dibaca umat Islam (اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت) misalnya, kalangan salafy menilai do’a tersebut sebagai bukan sunnah oleh karena sanadnya dha’if, sebagaimana pendapat beberapa ulama yang disebutkan NPT.

Padahal, terhadap hal semacam ini, Syaikh Abu 'Amr misalnya, telah mengingatkan bahwa sesungguhnya tidak lazim menghukumi kedha'ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha'ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini." (Lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Dan jikapun tidak ada riwayat lain, status sebuah hadis dha’if, apalagi masalah do’a berbuka puasa, maka para ulama salafussaleh lebih toleran menjelaskan soal ini. Para ulama menjelaskan, bahwa Hadis dha'if  berbeda dengan hadis maudhu' (palsu). Hadis dha'if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis.

Perhatikan penjelasan ulama untuk hal semacam ini: “Sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma' (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha'if (lemah) di dalam fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan)" (lihat Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98). Apalagi, meski lafaznya berbeda, do’a berbuka puasa terdapat di hadis Riwayat Abu Daud lainnya. Jadi,  اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ tidak bisa dengan merta dituduh bukan sunnah. Prof Wahbah Zuhaili, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu justru memasukkan do’a اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ sebagai do’a berbuka puasa. Almarhum Prof Wahbah Zuhaili salah satu ulama besar abad ini yang telah menulis berjilid-jilid kitab fiqh dan Tafsir, serta tema-tema yang lain,

Selain itu, Ibnu Katsir juga memberi penjelasan terhadap hal ini: “ Boleh meriwayatkan selain hadis maudhu' (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram"(lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir,Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Sungguh, betapa bijaknya ulama terdahulu bukan? Kenapa? Karena nalar pikir mereka sangat jauh, yang mencerminkan keluasan ilmu, kezuhudan dan kebijaksanaannya. Demikianlah, beberapa alasan saya menyimpulkan Syaikh Nashiruddin Al-Bani sebagai salah satu “sumber masalah” intoleransi Salafy dalam menyikapi dinamika perbedaan dalam cara beragama di tengah-tengah umat Islam. Pada intinya, sebagian pengikut al-Bani terlihat sama sekali tidak mampu melihat dimanika perbedaan ini sebagai sebuah keluasan ilmu Islam, melainkan dijadikannya sebagai alasan untuk menuduh bid’ah dan syirik terhadap umat Islam.

Definisi Salafy, Tapi Mengapa Menyesatkan Ulama Salaf?

Kedua, NPT memberi penjelasan tentang definisi Salafy. Saya tidak keberatan dengan definisi tersebut,  yaitu orang yang berusaha teguh mengikuti manhaj (prinsip atau cara beragama) para salafus shalih, yakni para sahabat, tabi'in dan atba'ut tabi'in. Namun, anehnya, kenyataan di lapangan, Salafy sendiri seringkali menuduh para tabi’ atau tabi’in sebagai sesat.  Tudingan seperti ini misalnya bisa dibaca dari buku seorang da’i Salafy, Yazid Abdul Qadis Jawas yang memasukkan Al-Asy’ari dan al-Maturidi sebagai firqah sesat (silahkan merujuk buku yang ditulis Yazid Abdul Qadis Jawas berjudul “Mulia dengan Manhaj Salafy). Padahal,  kedua ulama tersebut adalah bagian dari ulama yang berusaha teguh mengikuti manhaj (prinsip atau cara beragama) para salafus shalih, yakni para sahabat, tabi'in dan atba'ut tabi'in. Kedua ulama ini telah menjadi rujukan ulama dan masyarakat Aceh dalam bidang akidah sejak berabad-abad lamanya.


Berikutnya, NPT menulis: “Maka salafi dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani (rahimahullah) sebagai salah satu ulamanya di abad ini, tidaklah mendeklarasikan suatu mazhab baru secara langsung atau tidak langsung sebagaimana yang disangkakan banyak orang dari berbagai pihak. Melainkan salafi, coba berpegang teguh kepada manhaj salaf. Dan salafi sendiri, jelas hanyalah sebuah manhaj (cara beragama), bukan hizbi atau organisasi tertentu yang mempunyai tokoh-tokoh yang dikultuskan atau seorang ketua yang bisa diganti-ganti sebagaimana ketua organisasi pada lazimnya”.

Kalimat NPT ini sesungguhnya adalah upaya untuk memperkenalkan kelompok Salafy, sembari pada saat yang sama mengesankan, bahwa di luar kelompok Salafy (kelompok mereka) adalah bukan pengikut manhaj salaf. Sungguh ini merupakan upaya monopoli kebenaran agama yang dahsyat, sesuatu fenomena yang membuat Syaikh Muhammad Ramadhan al-Buthi begitu resah di masa hidupnya (lihat buku beliau Bahaya Bebas Mazhab dalam keagungan Syari’at Islam: 2001).

Pada sisi lain, kalimat tersebut juga mengesankan aroma dekonstruksi mazhab oleh NPT. Bahwa seolah, beragama dengan mengikuti mazhab misalnya, adalah jalan di luar manhaj Salafy?. Hal semacam ini sebenarnya juga menjadi trade mark nya pemikiran Al-Bani. Padahal, para ulama mazhab sendiri dan pengikutnya adalah orang-orang yang berusaha teguh mengikuti manhaj (prinsip atau cara beragama) para salafus shalih, yakni para sahabat, tabi'in dan atba'ut tabi'in.

Berikutnya, NPT mengupas tentang persoalan cadar dimana Syaikh Albani, Syaikh Muqbil meyakini tidak wajib cadar, hanya sunnah, lalu pendapat ini ditinggalkan kalangan salafy dimana pengikutnya mereka memutuskan cadar sebagai kewajiban. Oke ini suatu yang bagus, menandakan jalannya nalar kritis. Namun, alangkah disayangkan sekiranya keyakinan wajib cadar, membuat kalangan Salafy pengikut Al-Bani justru kembali menunjukkan cara ekstrim dalam beragama dengan menuduh Jahiliyah kepada wanita yang tidak bercadar, sebagaimana kisah di awal tulisan saya ini.

Mazhab Al-Bani yang Campur-Campur Mazhab
Ketiga, NPT menyangkal bahwa  kehadiran Albani telah mendorong terciptanya sebuah mazhab baru. Kita akui tidak ada deklarasi kalangan Salafy akan posisi pemahaman Al-Bani sebagai Mazhab Baru. Namun kenyataannya, Al-Bani dan segala dinamika pemikirannya sebagaimana dibahas di atas, telah menempatkannya dan pengikutnya sebagai “mazhab baru” di tengah-tengah umat Islam, yaitu mazhab campur-campur yang memadukan pendapat para ulama mazhab yang disukaianya, dengan patokan kebenaran hadis pada al-Bani dan ulama lainnya yang diikuti kalangan Salafy.

Berkata NPT: “Syaikh Albani adalah ulama yang teguh dalam mengikuti ulama salaf termasuk dari kalangan Imam Mazhab dan Imam muhaddits terdahulu. Hanya saja syaikh Albani, sebagaimana yang beliau kemukakan sendiri dalam kitabnya di atas, beliau tidaklah fanatik kepada mazhab atau ulama tertentu dalam berpendapat. Ini jelas merupakan sikap merdeka yang dimiliki oleh seorang muhaddits”.

Kalimat semacam ini seakan menyepelekan para ulama-ulama hadis terdahulu seperti Imam Bukhari, yang meskipun hafal begitu banyak hadis, namun ternyata beliau mengikuti mazhab, yaitu Mazhab Syafi’i.  Imam Abdurrauf Al-Munawi dalam Kitab "Faidhu Qadir" syarah Jamius Saghir (bagian 1-halaman 24) menjelaskan bahwa Imam Bukhari mengambil fiqih dari Al-Humaidi dan sahabat Imam Syafi’i yang lain. Bahkan, dalam kitab Shahih Bukhari, Imam Syafi’i disebut sebanyak dua kali, yaitu pada bab Rikaz yang lima dalam kitab Zakat dan pada bab Tafsir ‘Araya dalam kitab Buyu’. (Lihat Fathul Bari juzu’ IV, halaman 106 dan pada juzu’ V halaman 295).

Pada intinya, Imam Bukhari saja bermazhab, yaitu mengikuti Mazhab Syafi’i. begitu juga Imam Muslim, Nasa’i, Baihaqi, Ibnu Majah dan lain-lain. Yang tentu saja, mereka mengikuti mazhab Syafi’i adalah karena keluasan ilmu beliau, dimana sejak usia muda telah menghafal Alqur’an, menghafal Al-Muwatha’ karya Imam Malik di usia 10 tahun, dan menghafal lebih dari satu juta hadis lainnya. Sesuatu yang tidak mengherannkan jika kemudian para muhaddis seperti Imam Bukhari menjadi pengikut Mazhab Syafi’i.

Jadi, ketika Al-Bani dan pengikutnya mengesankan secara bangga tidak bermazhab, kecuali mengumpulkan pendapat para ulama mazhab saja. Tidak masalah sich, silahkan saja. Namun celakanya adalaah saat memandang sebelah mata umat Islam yang bermazhab. Kalimat NPT:  “Ini jelas merupakan sikap merdeka yang dimiliki oleh seorang muhaddits” juga menegaskan bahwa seolah Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i dan lain-lain yang mengikuti Mazhab Syafi’i sebagai tidak merdeka dalam berfikir? Sunggguh suatu kesombongan dan kerancuan yang amat akut.


Sebab Salafy Disebut Gemar Membid’ahkan
Keempat, NPT menjelaskan bahwa Salafy sangat menghormati perbedaan dalam hal furu’. Benarkah?  NPT mengatakan, “Maka di atas tarikah ini salafi ikut mengindahkan toleransi dalam pluralitas pendapat Fiqih sebagaimana yang dikemukakan oleh TZ, tentu saja dalam hal yang tidak menyelisihi ushul”.

Sungguh, terhadap penjelasan ini, NPT telah menunjukkan satu retorika yang indah, namun sayangnya sangat paradoks ketika kita melihat apa yang terjadi di lapangan. Pada faktanya, apa yang dipersoalkan umat Islam terhadap dakwah Salafy adalah pada tudingan-tudingan bid’ah atas umat Islam yang termasuk pada persoalan furu’. Terlalu banyak contoh di lapangan yang menegaskan validitas fenomena ini. Tudingan bid’ah atas penyelanggaraan Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan dan sebagainya yang jika saja kalangan Salafy sedikit mau meluangkan waktu untuk mengkaji, maka sungguh kalian akan memperdapati referensi Islam atas amalan-amalan tersebut, meskipun di sana terdapat khilafiyah ulama.

Yasinan misalnya, bagaimana disebut bid’ah padahal perintah membaca Alquran sudah sangat jelas? Bukankah surat Yasin adalah Alquran juga? Begitu juga Tahlilan yang dituduh sebagai tradisi Hindu, tega kah menuduh Tahlilan sebagai tradisi Hindu, padahal Tahlilan adalah upaya mengingat Allah dengan membaca kalimah “La Ilaha Illallah”? Dan bukankah orang Hindu tidak mungkin membaca kalimah tersebut oleh karena kehinduan mereka yang tidak mengakui “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”? Jika salafy mempersoalkan cara membacanya yang dianggap bermasalah oleh karena dilakukan secara berjam’ah, lalu mengapakah prinsip toleran tidak dijalankan sehingga bisa mengurangi tudingan bid’ah di tengah-tengah umat Islam?

Oleh sebab itu, meskipun saya sama sekali tidak mendukung aksi kekerasan atas sesama umat Islam, atas nama apapun (demi Allah atas apa yang saya sampaikan ini), namun, rasanya bisa dipahami bahwa suatu “akibat terjadi karena ada sebab”. Artinya, ada alasan-alasan mengapa masyarakat Aceh dan kalangan dayah menyoal metode dakwah Salafy, yang di antara sebab itu ya karena mereka terusik oleh tudingan-tudingan bid’ah. Sampai disini, besar harapan saya metode dakwah semacam itu bisa diubah demi terelaisasinya hal-hal positif yang lain yang lebih banyak.

Salafy dan Keagamaan Warga Kota
          Saya sama sekali tidak mempersoalkan pengaruh sisi positif dakwah Salafy di tengah-tengah warga Kota dalam persoalan semangat studi Alquran dan upaya menghafalnya, kajian Islam dan intensitas amalan ibadah wajiab dan sunat. Sungguh, banyak kelebihan Salafy dalam hal ini. Namun, penting juga dicatat, bahwa efek positif untuk hal semacam itu bukan hanya distimulusi oleh Salafy, melainkan juga kelompok umat Islam lainnya.
          
Adapun psikologis masyarakat kota, saya sependapat dengan apa yang dikatakan kawan saya Syah Reza di akun Facebooknya. Ia mengatakan: “Tentang open-mided dan masifnya penerimaan dakwah salafi di kota, tentu justifikasi ini perlu analisis yang mendalam, kwantitas tidak sebanding dengan kwalitas. Karena tipologi beragama orang kota dengan kesibukan yang begitu padat dengan kerja, maka belajar Islam lebih banyak melalui ta'lim singkat di masjid, dan durasi 1 jam dianggap sudah memadai untuk pegangan keagamaan sehari-hari. Artinya, orang kota menyukai yang instan. Mungkin kelebihannya dakwah salafi dalam hal ini lebih mengedepankan metode praktis ketika mengeluarkan hukum dengan menisbahkan langsung pada teks wahyu dengan makna secara harfiah/literal. Tentu tidak salah, tetapi menurut saya keliru ketika hanya makna lahir dri wahyu dijadikan hujjah/justifikasi teologis untuk menghukumi praktik agama masyarakat Aceh yang memiliki manhaj yang sangat mendasar”.

Selanjutyna ia menulis, “Memang diakui, (tanpa mengeneralkan) Masyarakat Kota cenderung menerima semua hal yang praktis, karena umumnya tidak memahami mendalam sistem keilmuan dalam Islam yang selalu merujuk kepada otoritas, disamping minimnya penguasaan literatur Islam menjadi masalah tersendiri dalam pengamalan keagamaan. Implikasinya karena manhaj yang literal, maka masyarakat lebih mengedepankan formalitasme dan wajah zahir dalam beragama, maka tak heran banyak yang berlomba mengedepankan kuantitas zahir daripada kwalitas bathin dalam beragama”.

Adapun terhadap apa yang dikatakan NPT bahwa: “pasca fatwa sesat MPU Aceh terhadap kajian salafi, pengajian salafi malah berkembang semakin pesat”. Kalimat ini membutuhkan sebuah kajian mendalam, apalagi kesannya bahwa seolah MPU Aceh telah melakukan sesuatu yang tercela dengan fatwanya tersebut. Penting dicatat, fatwa MPU yang dimaksudkan NPT tersebut adalah perihal akidah, khususnya karena tafsir sekelompok Salafy yang tekstualis terhadap kalimat “Istawa” dimana Salafy memaknai Istiawa’ ini dengan arti “bersemayam” selayaknya manusia, suatu model taqfsir yang Zhahiri. MPU dalam fatwanya menyimpulkan tafsir semacam ini sebagai penyerupaan Allah Swt dengan makhluk.

Fatwa MPU semacam ini hemat saya merupakan realiasi atas firman Allah Swt yang menegaskan “Laisa ka mislihi Syaion” (Allah tidak menyerupai sesuatupun) sebagaimana hal ini dimasukkan dalam salah satu sifat  yang wajib pada hak Allah oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dalam bahasan Itikad 50, yaitu sifat wajib keempat yang berbunyi: “Mukhalafatuhu lil hawadis”, yaitu Allah tidak menyerupai dengan sesuatu yang bahru (tidak kekal).

Kendati pun demikian, saya tertarik akan kalimat NPT berikut ini dengan harapan semoga hal demikian benar-benar adanya, meskipun sejauh ini yang kita saksikan cukup banyak kalangan salafy yang berbeda dari apa yang dijelaskan berikut ini. Berkata NPT : “Barangkali benar memang, ada sebagaian yang menisbahkan diri kepada salafi yang bersikap ekstrim. Maka hal ini tentunya adalah 'human error', yang kesalahannya tak dapat disandarkan kepada manhaj salafi. Penting untuk dibedakan antara manhaj salaf yang tegas, dengan sikap keras dari watak pribadi yang terkadang dijadikan sebagai manhaj.  Dan kita semua mafhum, bahwa selalu ada kutub ekstrim pada tiap sistem pemahaman atau keyakinan, disebabkan dari kekeliruan penganutnya”.

Atas kalimat ini, jika benar adanya, saya berharap selanjutnya bisa dibuktikan di lapangan. Harapan ini semata-mata adalah karena rasa cinta dan kerinduan akan persatuan umat Islam dan soliditas internal kita. Sekali lagi, harapan saya, perbaikilah metode dakwah kalian, dan kurangi berbicara sesuatu yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Kita punya banyak agenda-agenda peradaban yang mesti kita kerjakan dalam upaya memabngun Aceh menjadi satu entitas peradaban yang unggul di tengah pergulatan peradaban dunia saat ini. Berikutnya, harapan saya jika ada yang mendukung isi tulisan ini, marilah kita menyikapi ini sesuai dengan jalan Islam, dengan kepala dingin, hati yang tenang, dan dakwah bil hikmah wal mau’idhatil hasanah.

Tugas kita sebagai muslim adalah saling menasehati dan mengingatkan. Pada satu waktu orang lain yang salah, pada waktu lain kita yang salah. Maka para ulama sangat menganjurkan kita memahami orang lain saat ia khilaf sebagaimana kita berharap dipahami saat kita khilaf. Dan kebenaran itu hanya milik Allah Swt. Jika ada yang salah dari tulisan ini, kesalahan itu semata-mata dari saya. Saya mohon ribuan maaf jika ada yang salah. Wallahu a’lam bishshawab. [Teuku Zulkhairi - Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com]



Link sumber media: http://klikkabar.com/2016/06/26/opini-tanggapan-untuk-nauval-pally-taran-sekali-lagi-hendaklah-kalangan-salafy-lebih-toleran/

Related

Tsaqafah 3542792955949780751

Posting Komentar Default Comments

  1. nyan nan ka bereh tgk Zulkheri, kali nyo sang jeud jempol keudron

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tp lon hana menuduh siapa saja sbg wahabi Tgk.. lon kritik utk tujuan perbaikan

      Hapus

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item