Tegak Bangsa Karena Akhlak, Akhlak Rusak Bangsa Binasa
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh Opini Harian Rakyat Aceh, 12 Mei 2020 Judul tulisan...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2020/05/tegak-bangsa-karena-akhlak-akhlak-rusak.html
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA
Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Opini Harian Rakyat Aceh, 12 Mei 2020
Judul tulisan ini disarikan dari Syair seorang pujangga
Islam yang sangat terkenal, Syauqi Bey. Penggalan syair itu berbunyi: “Sesungguhnya bangsa itu tergantung akhlaknya. Apabila rusak akhlaknya,
maka rusaklah bangsa itu.” Syair ini menegaskan peran fundamental akhlaq suatu
bangsa. Suatu bangsa harus bersiap-siap menuju kehancuran ketika akhlak
masyarakatnya telah binasa.
Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi bahwa
seharusnya perhatian maksimal seluruh komponen bangsa tertuju sepenuhnya kepada
akhlak anak bangsanya. Apalagi, ketika diutus sebagai Rasul, Nabi Muhammad Saw
mengumandangkan manifesto perjuangannya untuk memperbaiki akhlak. Rasul
menjelaskan: “Hanya sanya aku diutus oleh Allah Swt adalah untuk memperbaiki keluhuran akhlak
manusia”.
Akhlak ini menjadi tema
agenda kerasulan Nabi Muhammad Saw karena memang pada saat itu manusia telah
diliputi awan kejahiliahan yang sangat parah setelah mereka melalui rentang
waktu yang sangat jauh dari Rasul-Rasul sebelumnya yang diutus oleh Allah Swt.
Maka dalam sejarahnya kita dapat membaca bagaimana
hancurnya akhlak masyarakat Arab Jahiliyah. Perang antar suku, penguburan anak
perempuan hidup-hidup karena takut miskin, penyembahan berhala yang tidak dapat
membantu mereka sama sekali. Kondisi ini berubah total setelah jangka waktu 23
tahun lamanya dakwah Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para
sahabatnya.
Masyarakat Arab dalam perkembangannya kemudian
menjadi bangsa yang mampu menerangi peradaban dunia. Bangsa yang tadinya tidak
diperhitungkan karena keterbelakangannya, dengan bekal iman dan akhlak Islamnya
kemudian mereka menjadi pemain utama dalam pentas peradaban. Tidak sedikit
bangsa-bangsa yang kemudian menerima Islam oleh sebab akhlak Islam yang mampu
mereka tampilkan menjadi akhlak pribadi dan sebagai umat Islam. Ketika kemudian
akhlak Islam ditinggalkan, maka umat Islam menjadi terbelakang. Mereka menjadi
umat yang tidak dihargai oleh bangsa-bangsa lain.
Bagaimana umat Islam menjadi umat yang dihargai
bangsa-bangsa lain, sementara mereka sendiri tidak mengikuti akhlak Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maka inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad
Abduh ketika ia menjelajahi negeri—negeri muslim dan negeri-negeri Eropa, serta
kemudian membandingkan peradaban di antara keduanya. Syaikh Muhammad Abduh
mengatakan : “Islam Tertutupi oleh Perilaku Umat Islam Sendiri”.
Islam adalah ajaran yang indah, universal dan
integral yang kalau diamalkan maka akan mengantarkan umat Islam kepada
kemajuan. Tapi banyak negeri muslim realitasnya menjadi negeri-negeri yang
terbelakang. Bagaimana kita memahami antara idealita Islam ini dengan realitas
kondisi umat Islam yang memprihatinkan? Inilah makna bahwa akhlak Islam
tertutupi oleh perilaku muslim sendiri. Umat Islam tidak menjadikan akhlak
Islam sebagai pakaian mereka.
Kita dapat melihat misalnya bagaimana umat Islam
meninggalkan iman mereka dalam kehidupan publik, yang menandakan bahwa mereka
meninggalkan akhlak mereka kepada Allah Swt dan kepada sesamanya. Terjadinya
korupsi, suap menyuap, fitnah memfitnah, iri hati dan dengki. Orang-orang yang
dipercayakan memegang jabatan, namun memanfaatkan jabatan ini untuk memperkaya
sendiri dan kelompoknya.
Mereka tidak menggunakan jabatan untuk melayani
rakyat yang dipimpin atau diurusnya. Akibatnya, rakyat yang notabenenya adalah
umat Islam kian tak terurus. Kemiskinan merajalela. Padahal kemiskinan menjadi
sebab munculnya kekufuran. Lihat saja sendiri, di Aceh misalnya. Saat bencana
wabah Coronavirus (Covid-19) menimpa, tapi rakyat menangis airmata tak dipeduli
maksimal. Berapa banyak anggaran milik masyarakat Aceh namun seberapa jumlah
dari itu yang diterima masyarakat dalam situasi sulit seperti ini? Sangat jauh
dari apa yang seharusnya mereka terima.
Sementara itu, kita juga bisa menyaksikan fenomena
umum di negara kita, dimana kaum para wakil rakyat dan kaum intelektual pun
tidak sempat memikirkan rakyatnya. Alih-alih memikirkan dan membela rakyat yang
merasakan kesulitan, namun tidak sedikit wakil rakyat dan kaum inteklektual
yang justru menjadi juru bicara pemerintah di depan rakyatnya. Ironis dan
memprihatinkan. Orang-orang yang paham hukum tidak jarang mempermainkan hukum.
Yang katanya paham ekonomi tapi justru membuat negara menjadi semakin terpuruk
dengan hutang yang semakin menggurita. Inilah yang terjadi akhlak malu sudah
berkurang.
*Ramadhan bulan Akhlak*
Oleh sebab itu, maka tepat seperti yang dikatakan
Syauqi Bey di atas, tegaknya suatu bangsa karena akhlaknya. Akhlak rusak maka
bangsa binasa. Maka bulan Ramadhan harus kita maknai kembali secara
sungguh-sungguh sebagai bulan akhlak. Ibadah puasa ramadhan sudah seharusnya
membentuk pribadi muslim yang memiliki akhlak yang mulia. Muslim yang hidupnya
senantiasa memberi manfaat untuk orang lain. Bukan justru memanfaatkan orang
lain untuk kepentingannya sendiri.
Sebab, Rasulullah Saw mengatakan: “Sebaik-baik muslim adalah yang paling
memberi manfaat untuk orang lain”. Peduli kepada orang lain adalah akhlak
seorang muslim. Saat seorang muslim memegang jabatan sebagai pemimpin, maka ia
akan menggunakan jabatannya ini untuk menebar manfaat untuk orang lain. Sama
sekali tidak akan menjadikan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Ia akan
betul-betul menjadikan jabatannya untuk membantu rakyatnya. Apalagi dalam
kondisi situasi sulit yang dihadapi rakyatnya.
Begitu juga, seorang politisi muslim, ia akan menggunakan
pengaruhnya untuk mempengaruhi kebijakan agar memihak masyaraka banyak. Seorang
yang paham ekonomi, akan menjadikan ilmunya sepenuhnya bermanfaat untuk
mengeluarkan rakyatnya dari jurang kemiskinan. Bukan justru ikut mendukung para
korporasi menghisap darah masyarakat miskin melalui serangkaian praktek ribawi.
Yang paham hukum juga akan membela rakyat lemah yang tersandera hukum. Itulah
makna yang dipahami bahwa sebaik-baik muslim adalah yang paling bermanfaat
untuk orang lain.
Maka puasa ramadhan mengajarkan kita bahwa kita
senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Kenapa siang hari bulan Ramadhan kita tidak
makan meskipun kita sendiri di rumah? Itu karena kita tahu bahwa Allah Swt
melihat kita. Kita tahu bahwa Allah Swt tahu apa yang kita lakukan sehingga
kita tidak akan makan karena dapat membatalkan puasa kita. Dari puasa ramadhan
ini dapat kita maknai tentang eksistensi kita di dunia yang senantiasa diawasi
oleh Allah Swt sehingga dengan demikian kita akan menghiasi diri kita dengan
akhlak Islam sesuai dengan perintah Allah Swt dan RasulNya.
Ramadhan ini juga momentum kita menjadi
manusia-manusia yang bertaqwa dimana Rasulullah Saw mengirikan perintah taqwa
dengan akhlak baik. Beliau bersabda, “Bertakwalah
kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi).
Islam meminta kita untuk bergaul denga semua
manusia dengan akhlak yang terpuji. Sebab dengan itulah cahaya Islam dapat
terpancar dari diri dan masyarakat kita. Tanpa itu, maka cahaya Islam akan
redup. Umat Islam akan menjadi seperti yang dikatakan Muhammad Abduh, “Islam
tertutupi oleh perilaku muslim”. Oleh sebab itu, puasa ramadhan mengajarkan
kita perasaan malu dan takut. Yang dengan perasaan ini dapat menjadi energi
kita untuk membentuk akhlak mulia pada diri dan bangsa kita. Insya Allah.