Catatan untuk Aktivis Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!

Oleh Teuku Zulkhairi Sebelum kasus interpretasi tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya beruj...


Oleh Teuku Zulkhairi

Sebelum kasus interpretasi tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya berujung pada permintaan maaf , terdapat nama lain yang pada akhirnya juga minta maaf, yaitu Dr Syafiq Riza Basamalah. Syafiq Basamalah sebelumnya menyebut zikir berjama'ah yang dilakukan mayoritas umat Indonesia setelah shalat di mesjid sebagai "nyanyi-nyanyi". Padahal, yang dibaca tersebut adalah zikir, tahlil dan do’a berjama’ah yang semuanya memiliki referensi Islam.

Sementara Khalid Basamalah menyebut ganja sebagai sebab terjadinya tsunami di Aceh dengan interpretasi yang lucu karena seolah semua masyarakat Aceh sudah mabuk dengan ganja. Dan ketika umat Islam di Aceh tersinggung oleh interpretasi Khalid, tentu itu bukan berarti mereka mendukung ganja. Ganja adalah sesuatu yang haram, tidak diragukan lagi. Namun, kita bersyukur bahwa kedua da'i Salafy ini sudah meminta maaf via Youtube, membuktikan keluhuran akhlak mereka dalam hal ini, alhamdulillah.

Sebagai muslim, kita wajib memaafkan, karena ciri-ciri orang yang bertaqwa salah satunya adalah "suka memaafkan" (lihat surat ali-‘Imran ayat 133-135). Ketika kita suka memaafkan, itu artinya kita sudah mendekati derajat takwa yang merupakan "pakaian" orang-orang shalih. Allah berfirman: " "Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhan-Nya." (Al-Qalam: 34).

Kendati pun demikian, saya ingin memberi sedikit catatan untuk metode dakwah salafy, khususnya pada perkara yang bisa menghadirkan keributan di tengah-tengah umat Islam. Dengan masukan ini, saya berharap ini menjadi realisasi atas perintah Alqur’an untuk “tawasau bil haq”, itu saja.

Dakwah sebagian kalangan Salafy selama ini memang terkenal sangat gemar menggunakan metodetabdi' (membid'ahkan) dan menuduh syirik amalan umat Islam. Dua metode ini tentu saja jauh dari metode dakwah Nabi Muhammad Saw, sang panglima pembawa Risalah Islam.

Setidaknya saya melihat sendiri ketika seorang da’i Salafy menuduh masyarakat yang nonton TV (sinetron) dan masyarakat lainnya yang menempel do’a dan ayat Alqur’an di dinding rumah sebagai perbuatan syirik. Seharusnya, jangan cepat sekali tuduhan itu keluar kan?. Pun, saya pernah mendengar pengakuan seorang anak yang masih kecil yang baru beberapa waktu belajar di pengajian Salafy dimana akhirnya ia menganggap Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai sesat sehingga ia menolak ketika saya menawarkan untuk membawanya belajar di salah satu dayah di Aceh. Juga cerita seorang dosen saya, dimana mantan muridnya yang lain mulai menjauhinya setelah belajar di pengajian Salafy. Saya tidak tahu itu aliran Salafy yang bagaimana, meskipun saya yakin, sebagian Salafy lainnya seperti orang-orang Wahdah Islamiyah yang saya kenal tidak sekeras itu.

Salafy, Bukan Satu-Satunya yang Peduli Akidah
          Sebelumnya, kita mengakui bahwa berdasarkan referensi sejarah, kejatuhan Kekhilafahan Islam Turki Usmani, salah satu faktor (di samping yang faktor lain, seperti konspirasi Zionis internasional) yang ikut mendasari kejatuhan tersebut adalah tersebarnya perbuatan syirik dan khurafat di tengah-tengah umat Islam. Ketika Allah tidak lagi dianggap sebagian umat Islam sebagai satu-satunya yang harus disembah, tentu saja sangat wajar kejayaannya akan dicabut. Pasca kejatuhan tersebut, berbagai usaha menuju kebangkitan telah dilakukan umat Islam, termasuk dengan menghapus praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat di masyarakat.

Dan dewasa ini, secara umum kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pada sebagian kasus, ketegasan dakwah Salafy dalam menolak praktek tahayul, kesyirikan dan khurafat seperti perdukunan, sesajen dan lain-lain adalah patut diacungkan jempol. Namun harus diakui, pada saat yang sama, ketegasan terhadap praktek-praktek tahayulbid’ah dan, bid’ahkhurafat sebenarnya juga ditunjukkan umat Islam lainnya di tengah umat Islam dunia dan juga di Indonesia, baik oleh kalangan santri maupun kalangan akademisi. Jadi salafy bukan satu-satunya yang paling peduli soal akidah umat Islam.

Kita juga mesti bersyukur, bahwa kalangan Salafy termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan Syi’ah, seperti yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan ‘Ali adalah Pintunya. Maka barangsiapa yang menginginkan Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””, dimana hadis ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya.

Problem Awal Dakwah Salafy
Namun, yang kita sayangkan, pada sebagian kasus yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik di tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya telah dipagari oleh kekayaan literatur fiqh Islam dengan segala dinamika perbedaan pendapat para ulama di dalamnya. Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak memiliki dasar dalam landasan hukum Islam dengan perkara-perkara yang masih masuk dalam pagar fikh yang kaya dan luas. Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan Salafy di tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan lainnya seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka lebih memahami ayat secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang direspon tegas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita bahas disini).

Setelah saya mencoba menelusuri akar permasalahan di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.

Dengan pandangan seperti ini, harus diakui kalangan Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pembawa “Mazhab Baru” diluar mazhab empat dalam segala pemahamannya. Namun celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah, sementara yang lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat Islam abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan titik temu untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan.

Ketika misalnya antar mazhab fikh yang empat terjadi perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses tasamuh sangat mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu diwujudkan, namun ini akan berebda dengan “Mazhab Al-Bani”, karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam hal ini hadis) langsung. Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh Al-Bani, maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap bukan sunnah, atau bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab Fiqh misalnya menggunakan hadis tersebut sebagai landasan hukum.

Sebagai contoh saya katakan, do’a berbuka puasa, terdapat hadis bahwa do’a berbuka itu bunyinya;”اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت”, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud. Sementara itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi, yaitu: “ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ” , sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi, termasuk Abu Daud.

Nah, karena do’a pertama di atas sudah ditakhrij oleh Al-Bani dan do’a kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy menyimpulkan do’a pertama tersebut sebagai bukan Sunnah, yang artinya do’a pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran jika tuduhan bid’ah atau keluar dari sunnah begitu mudah keluar dari lisan dan tulisan mereka.

Padahal, para ulama besar bidang fikh telah menunjukkan kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof Wahbab Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu  bab “Puasa” beliau mengambil langkah bijak dengan menggabungkan kedua do’a di atas menjadi do’a berbuka. Tapi barangkali kalangan Salafy akan sulit melakukan hal seperti ini oleh karena bagi mereka standar kebenaran dalam hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani.

Itulah contoh nyata penyebab keributan di tengah-tengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena Al-Bani telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para perawi hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi hadis tidak ada yang paham hadis sehingga mengambil hadis-hadis yang pada perkembangan kemudian dianggap Dha’if oleh Al-Bani.

Seharusnya Lebih Toleran!
Slogan kembali kepada Alqur’an dan hadis, atau ajakan beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan Salafy sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan Salafy mulai saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar apa yang diyakininya. Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya bisa dipahami dengan baik, maka tuduhan bid’ah tidak akan keluar begitu cepatnya.

Penting dipahami bahwa mengikuti pendapat para Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan sunnah adalah termasuk memahami universalitas ajaran Islam dan landasan hukum lainnya yang bersumber dari kedua sumber utama ini. Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk mengikuti landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas yang disepakati mayoritas ulama, bahkan terdapat landasan hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian ulama lain seperti Mashalihul Mursalah,Qaulu SahabiIstihsan dan seterusnya.

Mengikuti landasan-landasan hukum semacam Ijma’Qiyas dan lain-lainnya yang disepakati ulama, adalah bagian dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran dan Hadis. Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan ulama mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti Sunnah misalnya, timbul pertanyaan, siapa yang paling memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan! Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah membersamai Rasulullah di masa hidupnya. Lalu, ketika kita mengikuti sahabat Nabi, apakah kita sudah mengangkangi Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena sahabat Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman yang jauh dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu juga posisi para ulama-ulama mazhab yang upayanya memahami ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator belakangi oleh keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang.

Itulah sebab, silsilah sanad keilmuan Islam dan sifatnya yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan mazhab-mazhab fiqh Islam.

Sampai di sini, catatan dan masukan saya untuk kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian telah menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab baru”, dengan syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah dijadikan rujukan dalam memahami praktek ajaran agama oleh umat Islam. Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang kerapuhan soliditas internal umat Islam.Toh, dalam banyak hal, umat Islam lain juga melakukan amalan serupa seperti kalian, seperti sunnah memelihara jenggot dan lain-lain.

Jadi, solusi kebangkitan Islam di tengah dinamika perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan Rasyid Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling toleran atas apa yang kita perselisihkan, dan saling tolong menolong atas apa yang kita sepakati.. Wallahu a’lam bishshawab.


http://aceh.tribunnews.com/2016/06/21/catatan-untuk-dakwah-salafy-hendaklah-lebih-toleran

Related

Syari'at Islam di Aceh 4997818553462767890

Posting Komentar Default Comments

  1. Artikel yang sangat bagus. Kritik sedikit, proses editing mungkin bisa lebih rapi sebelum dipublikasi, seperti pada penempatan tanda baca dan adanya pengulangan kata (di salah satu paragraf bunyinya "...bid'ah, dan bid'ah,..."). Lalu di paragraf terakhir, saya tidak jago bahasa arab, tapi sepertinya terjemahan tsb terbalik (toleransi atas yg kita perselisihkan, tolong-menolong atas yg kita sepakati).
    Nuhun.

    BalasHapus
  2. “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling toleran atas apa yang kita sepakati, dan saling tolong menolong atas apa yang kita perselisihkan. <-- tolong di edit pak bukan perselisihan tp "sepakati".

    BalasHapus
  3. hanya ingin tahu, apakah penulis pernah mengikuti ceramah/kajian dari 'kalangan salafi' ?

    BalasHapus
  4. Sedikit komentar:
    1. DR. Syafiq dan DR. Khalid bukanlah representasi dari salafy, keduanya hanya sebagian kecil dari ustadz salafy
    2. Pengalaman anda terhadap 1 atau 2 orang yang baru belajar tentang salafy tidaklah menggambarkan bahwa seluruh salafy seperti itu.. jadi jangan menilai suatu kelompok hanya dari 1 atau 2 orang saja terlebih yang baru mengaji… saya gak akan menuduh suatu kelompok mengajarkan pencurian hanya karena ada 5 atau 6 orang dalam kelompok tersebut mencuri.. saya kira anda juga bisa lebih bijak dalam hal ini..
    3. Tentang khilaf dalam masalah fiqh, silahkan baca kitab2 karya salafy tentang fiqh missal Shahih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, anda akan menemukan bahwa tuduhan anda tidak mendasar.
    4. Salah dalam penulisan, seharusnya al-Albani , anda tulis Al-Bani
    5. Tulisan anda “Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.”……….. sangat tidak berdasar… Anda mungkin belum tahu bahwa murid-murid al-Albani saja berbeda dalam menghukumi beberapa hadis, apalagi ulama yang lain… kalau anda belajar sedikit ilmu hadis, di kalangan salafy, “perbedaan tashhih dan tadh’if hadis merupakan hal yang lumrah… jadi sepertinya anda kurang baca buku…
    6. Tidak ada 1 pun salafy baik dari kalangan ulama, ustadz bahkan yang awam yang menganggap al-Albani lebih hebat dari para ulama hadis terdahulu.. hati-hati menuduh, apalagi yang dituduh tidak hanya 1 atau 2 orang tapi jutaan orang…
    7. Sepertinya anda menuduh bahwa salafy tidak menggunakan landasan hukum selain al-Qur’an dan Sunnah… ini merupakan tuduhan tanpa bukti.. silahkan anda bertanya muqarrar yang dipakai dalam pendidikan salafy..
    8. Kalua anda membuka aplikasi Maktabah Syamilah (yang dibuat oleh salafy) yang kesemuanya merupakan kitab rujukan salafy, maka anda akan tahu bahwa salafy sangat menghargai pendapat mazhhab..
    9. Saya hanya kasihan kepada anda yang banyak menuduh “jutaan pengikut salaf” tanpa kebenaran, seluruhnya akan anda pertanggungjawabkan di akhirat.. semoga anda segera bertaubat dari seluruh tuduhan tersebut..

    “Hamba Allah yang dilahirkan di Aceh Utara”

    BalasHapus
  5. engga penting mau salafi atau bukan, yang terpenting bersungguh-sungguh menjadi pengikut salafus sholeh. Biarpun gelarnya ''salafi'' kalo perilakunya seperti ''murji'ah'' atau ''khawarij'' maka gelar tinggallah gelar. Dan pertanggung jawabannya besar di hadapan Allah kelas. Kalaupun terpaksa memakai label afiliatif selain Islam, maka label ''sunni'' sudah lebih dari cukup. Yang terpenting sungguh-sungguh dan konsisten dengan konsekuensi label tersebut. Kesimpulannnya, lebel salafi ga penting buat gue

    BalasHapus

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item