Catatan untuk Aktivis Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!
Oleh Teuku Zulkhairi Sebelum kasus interpretasi tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya beruj...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/06/catatan-untuk-aktivis-dakwah-salafy.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Sebelum kasus interpretasi
tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya
berujung pada permintaan maaf , terdapat nama lain yang pada akhirnya juga
minta maaf, yaitu Dr Syafiq Riza Basamalah. Syafiq Basamalah sebelumnya menyebut
zikir berjama'ah yang dilakukan mayoritas umat Indonesia setelah shalat di
mesjid sebagai "nyanyi-nyanyi". Padahal, yang dibaca tersebut adalah
zikir, tahlil dan do’a berjama’ah yang semuanya memiliki referensi Islam.
Sementara Khalid Basamalah menyebut
ganja sebagai sebab terjadinya tsunami di Aceh dengan interpretasi yang lucu
karena seolah semua masyarakat Aceh sudah mabuk dengan ganja. Dan ketika umat
Islam di Aceh tersinggung oleh interpretasi Khalid, tentu itu bukan berarti
mereka mendukung ganja. Ganja adalah sesuatu yang haram, tidak diragukan lagi.
Namun, kita bersyukur bahwa kedua da'i Salafy ini sudah meminta maaf via
Youtube, membuktikan keluhuran akhlak mereka dalam hal ini, alhamdulillah.
Sebagai muslim, kita wajib
memaafkan, karena ciri-ciri orang yang bertaqwa salah satunya adalah "suka
memaafkan" (lihat surat ali-‘Imran ayat 133-135). Ketika kita suka
memaafkan, itu artinya kita sudah mendekati derajat takwa yang merupakan
"pakaian" orang-orang shalih. Allah berfirman: " "Sesungguhnya
bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan
di sisi Tuhan-Nya." (Al-Qalam: 34).
Kendati pun demikian, saya ingin
memberi sedikit catatan untuk metode dakwah salafy, khususnya pada perkara yang
bisa menghadirkan keributan di tengah-tengah umat Islam. Dengan masukan ini,
saya berharap ini menjadi realisasi atas perintah Alqur’an untuk “tawasau
bil haq”, itu saja.
Dakwah sebagian kalangan Salafy
selama ini memang terkenal sangat gemar menggunakan metodetabdi' (membid'ahkan)
dan menuduh syirik amalan umat Islam. Dua metode ini tentu saja jauh dari
metode dakwah Nabi Muhammad Saw, sang panglima pembawa Risalah Islam.
Setidaknya saya melihat sendiri
ketika seorang da’i Salafy menuduh masyarakat yang nonton TV (sinetron) dan
masyarakat lainnya yang menempel do’a dan ayat Alqur’an di dinding rumah
sebagai perbuatan syirik. Seharusnya, jangan cepat sekali tuduhan itu keluar
kan?. Pun, saya pernah mendengar pengakuan seorang anak yang masih kecil yang
baru beberapa waktu belajar di pengajian Salafy dimana akhirnya ia menganggap
Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai sesat sehingga ia menolak ketika saya
menawarkan untuk membawanya belajar di salah satu dayah di Aceh. Juga cerita
seorang dosen saya, dimana mantan muridnya yang lain mulai menjauhinya setelah
belajar di pengajian Salafy. Saya tidak tahu itu aliran Salafy yang bagaimana,
meskipun saya yakin, sebagian Salafy lainnya seperti orang-orang Wahdah
Islamiyah yang saya kenal tidak sekeras itu.
Salafy, Bukan Satu-Satunya yang Peduli Akidah
Sebelumnya, kita mengakui bahwa berdasarkan referensi sejarah, kejatuhan
Kekhilafahan Islam Turki Usmani, salah satu faktor (di samping yang faktor
lain, seperti konspirasi Zionis internasional) yang ikut mendasari kejatuhan
tersebut adalah tersebarnya perbuatan syirik dan khurafat di tengah-tengah umat
Islam. Ketika Allah tidak lagi dianggap sebagian umat Islam sebagai
satu-satunya yang harus disembah, tentu saja sangat wajar kejayaannya akan
dicabut. Pasca kejatuhan tersebut, berbagai usaha menuju kebangkitan telah
dilakukan umat Islam, termasuk dengan menghapus praktek kesyirikan, bid’ah dan
khurafat di masyarakat.
Dan dewasa ini, secara umum kita
juga tidak bisa memungkiri bahwa pada sebagian kasus, ketegasan dakwah Salafy
dalam menolak praktek tahayul, kesyirikan dan khurafat seperti
perdukunan, sesajen dan lain-lain adalah patut diacungkan jempol. Namun harus
diakui, pada saat yang sama, ketegasan terhadap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan, bid’ah, khurafat sebenarnya
juga ditunjukkan umat Islam lainnya di tengah umat Islam dunia dan juga di
Indonesia, baik oleh kalangan santri maupun kalangan akademisi. Jadi salafy
bukan satu-satunya yang paling peduli soal akidah umat Islam.
Kita juga mesti bersyukur, bahwa
kalangan Salafy termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam
mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan Syi’ah, seperti
yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan ‘Ali adalah Pintunya. Maka
barangsiapa yang menginginkan Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””,
dimana hadis ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi,
Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya.
Problem Awal Dakwah Salafy
Namun, yang kita sayangkan, pada
sebagian kasus yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak
menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik di
tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya telah dipagari oleh
kekayaan literatur fiqh Islam dengan segala dinamika perbedaan pendapat para
ulama di dalamnya. Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek
syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak memiliki dasar
dalam landasan hukum Islam dengan perkara-perkara yang masih masuk dalam pagar
fikh yang kaya dan luas. Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan
Salafy di tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan lainnya
seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka lebih memahami ayat
secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang direspon tegas oleh
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita
bahas disini).
Setelah saya mencoba menelusuri
akar permasalahan di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh
Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan
kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan
para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim. Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa
Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan
para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.
Dengan pandangan seperti ini,
harus diakui kalangan Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai
pembawa “Mazhab Baru” diluar mazhab empat dalam segala pemahamannya. Namun
celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah,
sementara yang lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat
Islam abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan titik temu
untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan.
Ketika misalnya antar mazhab fikh
yang empat terjadi perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses tasamuh sangat
mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu diwujudkan, namun ini akan berebda
dengan “Mazhab Al-Bani”, karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam
hal ini hadis) langsung. Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh Al-Bani,
maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap bukan sunnah, atau
bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab Fiqh misalnya menggunakan hadis
tersebut sebagai landasan hukum.
Sebagai contoh saya katakan, do’a
berbuka puasa, terdapat hadis bahwa do’a berbuka itu bunyinya;”اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى
رِزْقِكَ أَفْطَرْت”, sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Daud. Sementara itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi,
yaitu: “ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ
الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ” ,
sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi, termasuk Abu Daud.
Nah, karena do’a pertama di atas
sudah ditakhrij oleh Al-Bani dan do’a kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy
menyimpulkan do’a pertama tersebut sebagai bukan Sunnah, yang artinya do’a
pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran jika tuduhan bid’ah atau keluar
dari sunnah begitu mudah keluar dari lisan dan tulisan mereka.
Padahal, para ulama besar bidang
fikh telah menunjukkan kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof
Wahbab Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam Fiqh
Islam wa Adillatuhu bab “Puasa” beliau mengambil langkah bijak
dengan menggabungkan kedua do’a di atas menjadi do’a berbuka. Tapi barangkali
kalangan Salafy akan sulit melakukan hal seperti ini oleh karena bagi mereka
standar kebenaran dalam hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani.
Itulah contoh nyata penyebab
keributan di tengah-tengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena
Al-Bani telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para perawi
hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi hadis tidak ada yang paham
hadis sehingga mengambil hadis-hadis yang pada perkembangan kemudian dianggap Dha’if oleh
Al-Bani.
Seharusnya Lebih Toleran!
Slogan kembali kepada Alqur’an
dan hadis, atau ajakan beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan
Salafy sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan Salafy mulai
saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar apa yang diyakininya.
Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya bisa dipahami dengan baik, maka
tuduhan bid’ah tidak akan keluar begitu cepatnya.
Penting dipahami bahwa mengikuti
pendapat para Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti
mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan sunnah adalah termasuk
memahami universalitas ajaran Islam dan landasan hukum lainnya yang bersumber
dari kedua sumber utama ini. Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti
Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk mengikuti
landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas yang disepakati mayoritas
ulama, bahkan terdapat landasan hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian
ulama lain seperti Mashalihul Mursalah,Qaulu Sahabi, Istihsan dan
seterusnya.
Mengikuti landasan-landasan hukum
semacam Ijma’, Qiyas dan lain-lainnya yang
disepakati ulama, adalah bagian dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran
dan Hadis. Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan ulama
mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti Sunnah misalnya, timbul pertanyaan,
siapa yang paling memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan!
Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah membersamai
Rasulullah di masa hidupnya. Lalu, ketika kita mengikuti sahabat Nabi, apakah
kita sudah mengangkangi Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena
sahabat Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman yang jauh
dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu juga posisi para ulama-ulama
mazhab yang upayanya memahami ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator
belakangi oleh keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang.
Itulah sebab, silsilah sanad
keilmuan Islam dan sifatnya yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi
sesuatu yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan
mazhab-mazhab fiqh Islam.
Sampai di sini, catatan dan
masukan saya untuk kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian
telah menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab baru”, dengan
syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah dijadikan rujukan dalam memahami
praktek ajaran agama oleh umat Islam. Silahkan beramal dengan keyakinan
sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang
lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang kerapuhan soliditas
internal umat Islam.Toh, dalam banyak hal, umat Islam lain juga
melakukan amalan serupa seperti kalian, seperti sunnah memelihara jenggot dan
lain-lain.
Jadi, solusi kebangkitan Islam di
tengah dinamika perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan Rasyid
Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu
kita saling toleran atas apa yang kita perselisihkan, dan saling tolong menolong
atas apa yang kita sepakati.. Wallahu a’lam bishshawab.
http://aceh.tribunnews.com/2016/06/21/catatan-untuk-dakwah-salafy-hendaklah-lebih-toleran
Artikel yang sangat bagus. Kritik sedikit, proses editing mungkin bisa lebih rapi sebelum dipublikasi, seperti pada penempatan tanda baca dan adanya pengulangan kata (di salah satu paragraf bunyinya "...bid'ah, dan bid'ah,..."). Lalu di paragraf terakhir, saya tidak jago bahasa arab, tapi sepertinya terjemahan tsb terbalik (toleransi atas yg kita perselisihkan, tolong-menolong atas yg kita sepakati).
BalasHapusNuhun.
“natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling toleran atas apa yang kita sepakati, dan saling tolong menolong atas apa yang kita perselisihkan. <-- tolong di edit pak bukan perselisihan tp "sepakati".
BalasHapushanya ingin tahu, apakah penulis pernah mengikuti ceramah/kajian dari 'kalangan salafi' ?
BalasHapusSedikit komentar:
BalasHapus1. DR. Syafiq dan DR. Khalid bukanlah representasi dari salafy, keduanya hanya sebagian kecil dari ustadz salafy
2. Pengalaman anda terhadap 1 atau 2 orang yang baru belajar tentang salafy tidaklah menggambarkan bahwa seluruh salafy seperti itu.. jadi jangan menilai suatu kelompok hanya dari 1 atau 2 orang saja terlebih yang baru mengaji… saya gak akan menuduh suatu kelompok mengajarkan pencurian hanya karena ada 5 atau 6 orang dalam kelompok tersebut mencuri.. saya kira anda juga bisa lebih bijak dalam hal ini..
3. Tentang khilaf dalam masalah fiqh, silahkan baca kitab2 karya salafy tentang fiqh missal Shahih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, anda akan menemukan bahwa tuduhan anda tidak mendasar.
4. Salah dalam penulisan, seharusnya al-Albani , anda tulis Al-Bani
5. Tulisan anda “Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.”……….. sangat tidak berdasar… Anda mungkin belum tahu bahwa murid-murid al-Albani saja berbeda dalam menghukumi beberapa hadis, apalagi ulama yang lain… kalau anda belajar sedikit ilmu hadis, di kalangan salafy, “perbedaan tashhih dan tadh’if hadis merupakan hal yang lumrah… jadi sepertinya anda kurang baca buku…
6. Tidak ada 1 pun salafy baik dari kalangan ulama, ustadz bahkan yang awam yang menganggap al-Albani lebih hebat dari para ulama hadis terdahulu.. hati-hati menuduh, apalagi yang dituduh tidak hanya 1 atau 2 orang tapi jutaan orang…
7. Sepertinya anda menuduh bahwa salafy tidak menggunakan landasan hukum selain al-Qur’an dan Sunnah… ini merupakan tuduhan tanpa bukti.. silahkan anda bertanya muqarrar yang dipakai dalam pendidikan salafy..
8. Kalua anda membuka aplikasi Maktabah Syamilah (yang dibuat oleh salafy) yang kesemuanya merupakan kitab rujukan salafy, maka anda akan tahu bahwa salafy sangat menghargai pendapat mazhhab..
9. Saya hanya kasihan kepada anda yang banyak menuduh “jutaan pengikut salaf” tanpa kebenaran, seluruhnya akan anda pertanggungjawabkan di akhirat.. semoga anda segera bertaubat dari seluruh tuduhan tersebut..
“Hamba Allah yang dilahirkan di Aceh Utara”
berkelas...
BalasHapusengga penting mau salafi atau bukan, yang terpenting bersungguh-sungguh menjadi pengikut salafus sholeh. Biarpun gelarnya ''salafi'' kalo perilakunya seperti ''murji'ah'' atau ''khawarij'' maka gelar tinggallah gelar. Dan pertanggung jawabannya besar di hadapan Allah kelas. Kalaupun terpaksa memakai label afiliatif selain Islam, maka label ''sunni'' sudah lebih dari cukup. Yang terpenting sungguh-sungguh dan konsisten dengan konsekuensi label tersebut. Kesimpulannnya, lebel salafi ga penting buat gue
BalasHapus