Menyingkap ‘Talbisul Haq’ Survey Kota Islami

Oleh Teuku Zulkhairi Maarif Institue merilis hasil survey tentang Indeks Kota Islami di Indonesia yang menempatkan Jogjakarta ...


Oleh Teuku Zulkhairi

Maarif Institue merilis hasil survey tentang Indeks Kota Islami di Indonesia yang menempatkan Jogjakarta sebagai kota paling Islami, diikuti oleh Bandung dan Denpasar-Bali hingga seterusnya. Banda Aceh yang memberlakukan Qanun (Perda) Syari’ah menempati posisi ke 19 dari sebanyak 29 kota yang disurvey. Begitu juga dengan kota-kota lainnya yang menerapkan Perda Syari’ah, juga justru menempati posisi buncit, seperti Padang, Mataram dan Tasikmalaya.
 Survey ini menurut Maarif Institue berangkat dari pemahaman bahwa “Islam sebagai agama rahmat” yang kemudian didefinisikan dalam konteks kota islami diwujudkan menjadi kota yang aman, sejahtera, dan bahagia, (detik.com, 17/5). Kategori aman, sejahtera dan bahagia dijadikan sebagai tiga variable untuk mengukur indeks kota Islam tersebut. Sementara itu metodologi yang dijadikan Maarif sebagai parameter untuk mengukur baik atau “Islami” disebutkan yaitu Maqashid Syar’iyah (orientasi hukum syari’at), yaitu menjaga agama (Hifzhu ad-Din), menjaga harta (Hifzu al-Mal), menjaga akal (Hifzu al-‘Aqli), menjaga keturunan (Hifzhu an-Nasl), menjaga jiwa/kehidupan (Hifzhu An-Nafs), plus menjaga keturunan (Hifzu al-Biah), (maarifinstute.org, 17/5).

Sekilas tidak ada yang janggal dan aneh dengan metodologi survey ini. Sebab, pencapaian Maqashid Syar’iyah sendiri adalah tujuan substansial dari ajaran dan hukum Islam. Namun, keanehan akan langsung terbaca ketika kita melihat hasil survey tersebut yang menempatkan Kota Denpasar-Bali pada posisi ketiga, sementara kota-kota yang menerapakan Perda Syari’ah justru berada pada posisi terbawah. Ada kesan yang dimunculkan bahwa penerapan Perda Syari’ah sama sekali tidak mendukung terealisasinya Maqashid Syari’iyah, sekaligus kesan bahwa Maqashid Syari’iyah dianggap terealisasi meskipun tanpa adanya Perda Syari’ah yang mengatur umat Islam untuk hidup sesuai visi Maqashid Syar’iyah. Jadi, kesan desyari’atisasi (penolakan hukum syari’at) sangat terasa.

Penyelewengan makna Maqasahid
Kita uji keakuratan cara penggunaan metodologi tersebut dengan Kota Banda Aceh sebagai sampel awal kita. Hasil survey tersebut menjelaskan, khusus untuk Banda Aceh, variable “bahagia” dan “sejahtera” mendapat nilai tertinggi. Sementara variable “aman” mendapat nilai terendah (viva.co.id, 17/5). Oleh sebab itu, penulis di sini tidak mendiskusikan Maqashid Syari’ah dalam bentuk pelayanan publik di Banda Aceh karena hal itu kita anggap sesuatu yang telah terpenuhi (karena jelas dianggap penting), sesuai hasil survey tersebut. Namun, rendahnya nilai Banda Aceh dalam Variable “aman” ini yang kemudian menempatkan Banda Aceh pada posisi buncit, sebagaimana kota-kota yang menerapkan Perda Syari’ah lainnya.

Lalu, apa ukuran variable “aman” di sini? Ternyata ukurannya adalah pada terealisasinya visi “menjaga agama” dari Maqashid Syar’iyah yang digunakan sebagai metodologi penelitian tersebut. Jadi, Banda Aceh tidak masuk dalam kategori kota yang Islami karena dianggap tidak cukup nilai dalam variable aman, atau tepatnya yaitu dianggap “tidak aman”, tidak aman dalam hal menjalankan kebebasan beragama atau keyakinan tertentu lainnya.

Kalau ini kita kaitan dengan apa yang terjadi di Banda Aceh beberapa tahun terakhir, kesimpulan Maarif Instiute ini sangat tidak mendasar. Sebab, justru Banda Aceh yang konsen merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dalam hal menjaga agama (hifzhu ad-Din) yang dibuktikan dengan konsistensi Banda Aceh menjaga Islam dari aliran yang diputuskan sesat oleh ulama seperti Millata Abraham yang kemudian berganti nama menjadi Gafatar. Banda Aceh juga terdepan dalam merealisasikan visi menjaga akal (hifzhu al-‘Aql) yang dibuktikan dengan implementasi hukum Islam dalam bentuk pelaksanaan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras yang mana minu,m minuman keras merupakan perbuatan yang merusak akal.

Bahkan, Banda Aceh juga telah melakukan upaya merealisasikan visi Maqashid Syar’iyah dengan menjaga keturunan (hifzhu al-‘Asl) yang diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan hukuman cambuk bagi yang melakukan khalwat, sesuai dengan ketentutan Qanun Jinayah. Tentu saja hukuman ini adalah upaya untuk menjaga agar tidak lahir keturunan yang tidak ber ayah.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa upaya merealisasikan visi Maqashid Syari’ah oleh Pemko Banda Aceh dalam bentuk implementasi hukum Islam bagi pelanggar syari’at Islam tidak dianggap sebagai sesuatu mendukung perwujudkan “keamanan” yang dijadikan sebagai variable pertama survey tersebut. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam di Banda Aceh untuk mewujudkan visi Maqashid Syari’ah justru dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan “tidak aman”. Nah, pertanyaannya, parameter apakah yang digunakan untuk mengukur indikator “aman” sebuah daerah?  Maka jawabannya adalah jelas bukan parameter Islam. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Maarif Instute bahwa, “Dalam memahami maqashid shariah ini pun menggunakan perspektif maqashid kontemporer yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/ development) dan pemuliaan Human Rights (‘Hak-hak Asasi’) daripada maqashid yang bernuansa ‘protection’ (penjagaan) dan preservation atau ‘pelestarian’, (maarifinstitute.org, 17/5).

Nah, dari sini jelas, ada penyelewengan substansi Maqashid Syari’iyah oleh Maarif Institute. Dengan kata lain, Maarif telah menggunakan pendekatan non Islam untuk melihat definisi dan substansi Maqashid Syar’iyah. Ini sebuah kesalahan fatal dalam metodologi. Metodologinya benar berasal dari Islam, namun cara penggunaan metodologinya sudah bukan dengan parameter Islam. Sebab, kebenaran dan cara menggunakan kebenaran merupakan sesuatu yang berbeda, maka seharusnya Maarif Institue harus merujuk definisi Maqashid Syar’iyah dalam konteks “aman” berdasarkan perspektif Islam seluruhnya- yaitu bahwa “aman” akan terwujud dengan pelaksaan hukum Islam -  sehingga bisa menghasilkan satu hasil survey yang proporsional dan tidak ngawur. Persoalan serupa akan kita temukan jika melihat juga Jogjakarta. Apakah karena iklim akademis di Jogjakarta yang memberi kebebasan berkembangnya “pluralisme agama” lalu bisa disebut Jogjakarta menjalankan visi “menjaga agama”? Ataukah sebaliknya?

Berikutnya adalah Bali. Bukankah Bali sama sekali tidak merepresentasikan Islam karena memang segenap budaya dan tradisi yang dihidupkan adalah berasal dari Hindu? Lalu bagaimana bisa Bali muncul sebagai kota Islami? Alasan Maarif, ternyata karena Bali memenuhi kecukupan nilai pada ketiga variable alat pengukur tadi. Maka inilah adalah kengawuran berikutnya. Sebab, jelas definisi Islam sebagai nilai (values of islam) sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks Iman yang merupakan syarat menjadi Islam. Bukankah yang disebut Islam itu, sebagaimana dijelaskan oleh sang pembawa risalah Islam sendiri, Nabi Muhammad Saw, yaitu “engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah” dan seterusnya hingga rukun Islam yang ke lima?

Ini belum lagi jika kita mengukur realisasi maqashid syari’ah di Bali, yaitu misalnya upaya menjaga agama (Islam) dan keturunan, apakah diwujudkan di Bali? Yang terjadi, justru upaya melarang jelbab sebagai identitas Islam bagi Muslimah yang semakin meluas di seluruh Bali, (republika.co.id, 2/2/2014). Belum lagi perihal menjaga keturunan yang dipahami dalam perspektif Islam. Dengan demikian, survey tersebut bisa disebut telah mencederai semangat akademik karena berbicara definisi Islami namun justru menghilangkan kriteria mendasar apa yang disebut Islam dan syarat menjadi Islam.

Nampaknya, penelitian Maarif Institute semacam ini mengikuti riset yang pernah dilakukan  sebelumnya oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dalam "How Islamic are Islamic Countries?" dalam Global Economy Journal 2010 yang menempatkan Selandia Baru dan negara-negara mayoritas non Muslim lainnya sebagai negara paling Islami (republika.co.id, 2/11) . Setidaknya kita bisa menangkap pada pemahaman yang dibangun bahwa ada pemisahan antara “Islam” dan “Islami”. Pemahaman seperti ini dalam jangka panjang akan memunculkan cara pandang bahwa tidak perlu menjadi Islam untuk disebut Islami. Penggiringan dari opini semacam ini adalah, seolah “tidak perlu iman” untuk menjadi islami.

Alhasil, adanya upaya “talbisul haq” (menutupi kebenaran) dalam survey tersebut menjadi sesuatu yang dapat ditangkap dengan baik. Kebenaran dan tujuan positif dari upaya implementasi hukum Islam serta dampak baiknya bagi masyarakat ditutupi dengan penggiringan definisi Maqashid Syar’iyah ke arah yang di luar parameter atau cara pandang Islam. Oleh sebab itu, semoga tulisan ini bisa menjadi upaya kecil yang bisa menggugah para pakar kita di Aceh yang konsen di bidang riset dan penelitian untuk bisa melakukan survey serupa dengan perspektif ‘Islami” yang sesuai dengan nilai Islam, dan berbeda dari apa yang dibangun Maarif Instutute tersebut yang bertendensi ke arah kerancuan metodologi tersebut. Semoga saja. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Dimuat di Hr Serambi Indonesia. Link:
http://aceh.tribunnews.com/2016/05/26/menyoal-talbisul-haq-survei-kota-islami/

Related

Syari'at Islam di Aceh 9206854127318464333

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item