"Darussalam Kembali ke Khittah"



Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA

Penulis buku “Syari’at Islam Membangun Peradaban”

Masyarakat Aceh yang tinggal di kawasan Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam akhirnya bisa bernafas lega. Sejumlah sisi tembok yang memisahkan antara kedua kampus kebanggaan masyarakat Aceh ini, UIN Ar-Raniry – Universitas Syiah Kuala (USK) akhirnya menemukan momentumnya untuk dirobohkan. Suasana haru dan senang atas pembongkaran ini terbaca di media sosial. Juga dari mulut ke mulut serta dari satu warung kopi dan warung kopi lainnya.

Sebagai bagian dari komunitas pelajar dan sekaligus pengajar di Darussalam, kita tidak akan menyoroti siapa benar dan siapa salah. Itu tidak penting sama sekali. Hal penting untuk kita apresiasi dan syukuri adalah bahwa “Darussalam” masih bisa dibanggakan. Darussalam kembali ke khittah awal dibangun. Para pendahulu kita memberi nama Darussalam dengan satu cita-cita besar dan mulia, dengan semangat mendasar bahwa Aceh harus keluar dari Darul Harb (negeri perang) ke Darus Salam (negeri yang damai).

 Tak ada manusia yang sempurna di dunia. Namun yang paling hebat adalah bahwa saat ada masalah muncul, intelektual Darussalam dapat menyelesaikannya. Itu adalah hal yang terpuji dan penting dan penting tertulis dalam buku saku catatan sejarah dan peradaban. Generasi muda kita akan belajar dari sini. Bahwa intelektual Aceh di Darussalam telah sungguh-sungguh memantulkan cahaya Islam dalam bagaimana mereka hidup dan mengelola dunia ini-kawasan Darussalam khususnya-sebagai khalifah fil ardh

Jadi sekali lagi kita harus melihat perobohan tembok ini sebagai bentuk tanggungjawab intelektual Darussalam untuk mewujudkan Aceh yang berperadaban. Bahwa intelektual Darussalam telah mengajarkan kita semua satu pesan utama, bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ini poin penting tulisan ini.

Masyarakat mana yang tidak pernah bermasalah di dunia? Sepanjang perjalanan hidup manusia selalu dilewati dengan berbagai problematika yang mengiringi eksistensi mereka di muka bumi. Dan yang paling baik di antara mereka bukanlah adalah mereka yang mampu mengelola problem yang muncul menjadi sebuah energi kebangkitan dan peradaban. Tanpa masalah, kita tidak akan memahami bagaimana menyelesaikannya. Oleh sebab itu, ketimbang memahami siapa menang siapa kalah - sebagaimana opini yang terbangun di dunia maya – hal penting adalah kita perlu banyak bersyukur atas lompatan ini, robohnya tembok yang menyekat raga kita.

Kita semua paham, bahwa Darussalam sesungguhnya merupakan pusat peradaban Aceh karena dari sini desain peradaban diramu melalui karya-karya kaum intelektualnya. Selama ini, intelektual Darussalam telah berperan dalam membangun struktur peradaban Aceh. Bahkan mungkin, di hampir semua tatanan peradaban Aceh pasti ada intelektual Darussalam sebagai penggeraknya. Itu pasti. Tapi robohnya tembok ini agaknya penting kita maknai sebagai momentum baru dimana intelektual Darussalam dituntut tampil lebih maju membenahi peradaban Aceh.

Membangun Aceh dari Darussalam

Robohnya tembok di Darussalam pada titik ini harus mampu kita maknai sebagai fase baru dalam pergulatan intelektual Darussalam untuk Aceh yang berperadaban. Dengan Aceh yang menghadapi berbagai problematika krusial kontemporer yang menderanya, intelektual Darussalam tentu dituntut berjibaku untuk mampu memetakan dan kemudian menyelesaikannya. Jika intelektual Darussalam akhirnya sepakat merobohkan tembok di tengah-tengah kita semua ini, tentu juga akan sepakat untuk berada di barisan yang sama merebohkan “tembok-tembok” lain yang memisahkan antara Aceh dan kejayaan yang diimpikannya.

Melihat kemana Aceh harus bergerak di masa depan, agaknya penting melihat kembali nama-nama besar ulama Aceh yang diabadikan menjadi nama kampus jantong hate masyarakat Aceh di Darussalam. Syaikh Abdurrauf As-Singkili atau dikenal dengan Tgk Syiah Kuala yang diabadikan menjadi nama kampus Universitas Syiah Kuala (USK). Lalu Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang diabadikan namanya menjadi nama kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Serta Tgk Chik Pante Kulu yang diabadikan menjadi nama Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Pante Kulu, yang desainnya lebih kepada pelembagaan tradisi pendidikan dayah sebagai sistem pendidikan paling menyejarah di Aceh.

Tentu para founding father Darussalam memiliki banyak argumentasi historis, sosiologis dan psikilogis ketika nama-nama para ulama ini diabadikan menjadi nama-nama kampus utama di Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam. Dari sini kita akan memahami bahwa para founding father Darussalam ingin agar pendidikan dan narasi peradaban Aceh itu harus meneruskan ruh perjuangan para ulama-ulama yang namanya diabadikan ini. Bukankah demikian?

Tapi sekarang, bagaimana hubungan kita dengan nama-nama besar ulama Aceh ini? Sejauh mana kita telah berjuang mempertemukan Aceh dan paradigma mereka dalam bagaimana membangun Aceh?

Saya sering berfikir, bahwa bisa jadi tatkala hari ini kita terjebak dalam berbagai problematika krusial yang mendera Aceh yang seolah seperti “kutukan” yang membendung mimpi kita melihat kejayaan, itu bisa jadi karena kita sudah kurang peduli kepada para ulama kita sehingga kita bisa saja jadi “teumeurka” sama mereka. Kita tidak peduli pada nilai-nilai yang bangun, tanamkan dan ajarkan melalui kitab-kitab mereka sebagai arsitek kejayaan Aceh di masa silam.

Ini sebuah otokritik. Penulis tidak menyalahkan siapapun. Tapi fakta ini mungkin perlu direnungkan oleh siapapun. Kita di Darussalam seharusnya lebih dekat kepada ulama. Tapi fakta hari ini, mahasiswa kita mungkin sama sekali tidak kenal dengan nama-nama ulama tersebut. Apalagi karya-karya mereka yang berjibun itu. Paling hanya dengar nama. Tapi karya-karya mereka tidak pernah secara khusus kita ajarkan kepada mahasiswa kita. Bahkan mungkin sebagian besar dosen sendiri juga tidak banyak yang tahu. Kalau generasi muda kita terputus dengan sejarah endatu dan kekayaan inetelektual endatu mereka, yakni para ulama, itu artinya kita akan melihat generasi yang akan berjalan tanpa arah di Aceh yang akan memperpanjang fase ketertinggalan Aceh. Itu persoalan serius.

Kita hari ini mungkin masih dapat menyelesaikan yang muncul hari ini, tapi bagaimana generasi muda kita dapat menyelesaikan persoalan mereka di Darussalam atau Aceh secara lebih luas esok hari?

Untuk Aceh yang berperadaban, kita ingin intelektual Darussalam itu menyatu tanpa sekat dengan segenap elemen kekuatan bangsa Aceh lainnya. Dan itu agaknya baru akan terwujud jika kita terus berjalan di bawah bimbingan Islam. Dan para ulama yang namanya diabadikan menjadi nama-nama kampus di Darussalam telah menulis banyak karya yang hari ini menjadi laksana magnet yang menyedot perhatian intelektual di kawasan Melayu saat dimana berjuang keras menjadi identitas dan akar peradabannya.

Para intelektual di kawasan dunia Melayu lainnya dengan penuh bangga mengkaji, mempresentasikan serta membumikan nilai-nilai yang diajarkan oleh para ulama semisal Tgk Syiah Kuala, Ar-Raniry. Padahal kita paham bahwa karya-karya mereka di masa lampau itu dapat menjadi penunjuk arah jalan bagi masa depan kita di Aceh. Bagaimana mungkin kita dapat meraih kemajuan di masa depan jika kita telah dengan sengaja meninggalkan warisan kejayaan peradaban kita di masa silam.

Sudah saatnya pendidikan di Darussalam didesain dalam semua dimensinya untuk memenuhi harapan para ulama yang namanya diabadikan menjadi nama-nama kampus kita. Kita dapat memulainya dengan mengkaji, memperkenalkan dan mengajarkan karangan-karangan para ulama itu secara serius kepada semua elemen Darussalam  sehingga kelak kita berharap Darussalam dapat menjadi lokomotif peradaban yang akan mengantarkan Aceh menuju negeri Thaybatun wa Rabbun GhafurAmiin. [email: teuku.zulkhairi@ar-raniry.ac.id]

Related

Pendidikan 3884721601696755001

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item