foto: google Oleh Teuku Zulkhairi BERBAGAI bencana alam seperti banjir dan tanah longsor terus kita saksikan terjadi di beberapa...
 |
foto: google |
Oleh
Teuku Zulkhairi
BERBAGAI
bencana alam seperti banjir dan tanah longsor terus kita saksikan terjadi di
beberapa wilayah di Aceh dewasa ini. Tidak diragukan lagi, bencana ini
merupakan konsekuensi logis dari ulah tangan-tangan manusia serakah yang menebang/merusak
hutan (illegal logging) demi meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Kita
bukan tidak menerima taqdir Allah Swt atas berbagai musibah yang menimpa kita,
tapi Islam memahamkan kita bahwa banyak bencana yang terjadi sebagai ulah
tangan-tangan jahil manusia, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan apa musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Qs. asy-Syura:
30).
Dan
ternyata, tujuan dari musibah yang diberikan Allah Swt ini adalah untuk
menyadarkan kita, agar kita kembali ke jalan yang benar. Allah Swt berfirman:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum: 41).
Menurut
Ahmad Zain An Najah (2011), maksud “telah nampak kerusakan” dalam ayat di atas,
yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia benar-benar
telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan secara langsung oleh semua
lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti
kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan fisik;
seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam penyakit, kerusakan ekosistem
dan kerusakan infrastruktur.
Sementara,
maksud di daratan dan lautan dari ayat di atas, yaitu bahwa kerusakan ini sudah
merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi, gunung
meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran lingkungan,
maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut,
terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker, matinya
ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.
Persoalan
lingkungan
Dalam konteks Aceh, hutan Aceh telah diakui masyarakat dunia sebagai paru-paru
dunia yang berfungsi untuk menjaga kestabilan alam. Oleh sebab itu, penjagaan
hutan Aceh adalah tugas terbesar semua kalangan umat Islam di Aceh khususnya.
Sebab, Islam sebagai agama yang universal juga mengatur hingga ke persoalan
lingkungan. Alquran sebagai kitab suci kita umat Islam telah secara jelas
melarang manusia berbuat fasad (kerusakan) di atas permukaan bumi, menerangkan
peran manusia atas suatu bencana alam, serta juga memberikan ancaman yang
mengerikan bagi orang-orang yang berbuat fasad atau merusak lingkungan.
Kasus
illegal logging bukan saja telah mengundang banyak bencana, tapi juga menjadi
investasi besar untuk kehancuran masa depan anak-anak dan cucu kita kelak. Oleh
sebab itu, untuk melawan mafia illegal logging atau orang-orang yang berbuat
fasad ini, masyarakat Aceh mesti melakukan gerakan perlawanan dalam skala besar
dan massif. Kalau selama ini berbagai elemen masyarakat sipil bisa bersatu
untuk melawan praktik-praktik korupsi di pemerintahan, maka seharusnya
masyarakat juga bisa bersatu dan bergerak untuk melawan perbuatan fasad mafia
illegal logging ini. Bukankah efek dari illegal logging ini telah secara jelas
kita rasakan saat ini?
Oleh
sebab itu, sebagai konsekuensi dari keimanan dan keislaman kita, di mana iman
dan islam kita mengajakan untuk tidak diam atas kezhaliman dan kemaksiatan yang
terjadi, maka masyarakat harus bergerak untuk jaga lingkungan, menyelamatkan
hutan. Dan khatib, juru dakwah, para muballigh sudah seharusnya mengambil peran
besar ini. Keterlibatan para juru dakwah untuk melakukan “khutbah lingkungan”
bukan saja penting karena ini menyangkut masa depan anak-cucu kita, tapi juga
sebagai realisasi atas perintah Islam, sebagai pembuktian bahwa Islam itu
ajaran yang universal.
Satu
upaya mendesak dan juga harus dilakukan terus menerus adalah memaksimalkan
fungsi mimbar masjid-masjid dan meunasah untuk menyadarkan masyarakat akan
pentingnya menjaga lingkungan, merawat hutan dan alam. Lewat mimbar masjid dan
meunasah ini, para khatib kita harapkan bisa menggugah kesadaran masyarakat
secara luas untuk bangkit bersama secara serentak memberikan peran dan
partisipasi dalam menjaga lingkungan dan hutan, apa pun risiko yang dihadapi.
Jika masyarakat kuat dan bersatu, kita yakin tidak ada yang berani merusak
hutan di Aceh. Jika masyarakat sadar, insya Allah mereka akan turut serta
menjaga hutan dan lingkungan lainnya.
Menjaga
hutan
Cukup
banyak ayat-ayat Alquran dan juga nash dari hadis Nabi saw terkait lingkungan
dan hutan (yang mengarah pada keharusan menjaga lingkungan/hutan serta ancaman
bagi yang merusaknya) yang bisa disampaikan dalam khutbah-khutbah Jumat dan
ceramah-ceramah umum lainnya. Namun, realitasnya selama ini persoalan
lingkungan khususunya kewajiban menjaga hutan adalah tema yang bisa kita
katakan paling sedikit disampaikan, sangat jarang tema khutbah ini kita dengar.
Terkesan, penjagaan lingkungan hanya tugas aktivis-aktivis lingkungan semata. Padahal,
ini persoalan besar Islam dan umatnya.
Selain
kepada para khatib, harapan besar kita selanjutnya tertuju kepada Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) agar memperkuat kembali fatwa yang pernah
dikeluarkan beberapa tahun lalu seputar kewajiban menjaga lingkungan dan
keharaman merusaknya. MPU kita harapkan bisa membangun sinergi dengan aparat
keamanan seperti kepolisian dan TNI serta juga institusi-institusi pemerintah
seperti Majelis Adat Aceh (MAA) dan juga Ormas/OKP di Aceh seperti Komite
Peralihan Aceh (KPA), KNPI, dan sebagainya untuk menyampaikan pandangan Islam
tentang kewajiban menjaga lingkungan dan keharaman merusaknya, serta keharusan
seluruh elemen masyarakat untuk terlibat secara intens untuk menjaga
lingkungan.
Kita
beruntung bahwa media massa dan aktivis lingkungan di Aceh selama ini cukup
intens menyuarakan isu-isu lingkungan. Kendati demikian, suara kritis media dan
para aktivis lingkungan ini tidak akan memberi efek maksimal jika tanpa peran
serta maksimal masyarakat dan kaum agamawan (khatib/ulama). Oleh sebab itu,
para khatib sudah seharusnya lebih intens lagi karena persoalan lingkungan
adalah juga persoalan syariat Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam
bishshawab.
*
Teuku Zulkhairi, M.A.,
Wakil Sekjend Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Staf Bidang Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Aceh. Email: khairipanglima@gmail.com
Dimuat di Harian Serambi Indonesia. Link: http://aceh.tribunnews.com/2014/11/21/menanti-khutbah-lingkungan