Pak Nova Memimpin Lima Juta Rakyat Aceh
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2020/11/pak-nova-memimpin-lima-juta-rakyat-aceh.html
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA
Dosen UIN Ar-Raniry dan aktivis Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
Setelah sekian lama menjadi Pelaksana Tugas (Plt), akhinya Nova Iriansyah pada Kamis 5 November 2020 secara resmi dilantik menjadi Gubernur Aceh. Artinya, kekuasaan penuh sekarang sudah berada di bawah kendali sang Gubernur. Di tangan Pak Nova nasib lima juta lebih rakyat Aceh dipertaruhkan. Setidaknya itulah jumlah rakyat Aceh menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Tahun 2019. Dalam pandangan Islam, amanah jabatan seseorang itu akan dapat membawanya kepada kebahagiaan, ataupun sebaliknya kepada kehancuran.
Kalau seorang pemimpin ingin sukses, maka dia harus menjalankan amanah kepemimpinannya. Itu mungkin hal yang sering kita dengar. Namun, pada faktanya sangat sedikit pemimpin-pemimpin dalam sejarah dunia yang serius menjalankannya.
Oleh sebab itu, sebagai muslim kita harus saling mengingatkan. Tidak ada rakyat yang berharap pemimpinnya tidak sukses menjalankankan amanah kepemimpinannya. Islam juga mengingatkan kita, bahwa jabatan itu tidak untuk disambut dengan gembira dan sukacita (tafrih), sebab ia adalah pembebanan (taklif). Diberikan beban berat itu artinya dia harus siap dengan segala konsekuensinya dunia maupun akhirat. Di dunia dia harus menjalankan perannya sebagai khalifah fil ardh karena di akhirat dia akan dimintai pertanggungjawabannya secara terperinci oleh Allah Swt.
Kalau seorang pemimpin berlaku adil, maka Rasulullah Saw mengatakan bahwa kelak dia akan menjadi salah satu yang mendapat perlindungan langsung dari Allah Swt kelak di hari kiamat, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Tapi kalau dia mengkhianati amanah jabatan di pundaknya, tidak menjalankan tugas-tugasnya untuk melayani seluruh rakyatnya, maka Rasulullah Saw memberi ancaman serius dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Seseorang yang dijadikan pemimpin, tapi tidak menjalankannya dengan baik, maka dia tidak akan mencium harumnya surga”. Jadi, bau saja tidak dapat dicium. Konon lagi memasukinya. Dalam hadis riwayat Tabrani, ancaman dari Rasulullah Saw lebih tegas lagi: “Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum Muslimin, maka di hari Kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun.''
Hadis di atas harus direnungkan oleh setiap pemimpin di Aceh, oleh kita semuan tentu saja. Apalagi ini adalah bulan kita memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Sudah seharusnya kita merenung kembali komitmen kita menjalankan nasehat Rasulullah Saw. Halaman koran ini tentu tidak cukup untuk menulis amanah kepemimpinan dalam pandangan Islam. Oleh sebab itu, setiap pemimpin dan kita semua mestilah selalu menggunakan kedua telinga untuk mendengar, selalu membaca dan merenung. Untuk apa kita hadir di dunia ini, dan khususnya untuk apa jabatan ini kita pikul?. Apakah jabatan ini dapat membantu kita ketika kita sendirian berada di alam kubur? Apakah ia dapat membantu kita ketika kita menghadapi huru-hara hari kiamat?
Keteladan Umar
Ketika membayangkan beratnya amanah kepemimpinan, Umar bin Khattab berjalan di malam hari menyaksikan kehidupan rakyatnya. Umar lalu melihat seorang perempuan janda yang memasak batu dan sementara anak-anaknya terus menangis karena lapar. Umar mendekati sang perempuan ini dan kemudian beliau memahami bahwa perempuan ini sedang memasak batu sambil berharap agar anaknya segera tertidur. Perempuan ini tidak memiliki makanan untuk diberikan kepada anak-anaknya. Umar terguncang, menangis dan langsung pergi mengambil sekarung gandum dan dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada sang perempuan tadi untuk dimasak dan disajikan kepada anak-anaknya. Sahabat Umar meminta gandum itu agar ia yang pikul. Tapi apa jawaban Umar? “Wahai sahabatku, apakah kamu akan memikul bebanku di akhirat nanti?.
Dan dalam cerita yang lain, saat dilanda musibah paceklik dimana rakyatnya dilanda kelaparan, saat itu Umar bin Khattab menjamin kebutuhan rakyatnya. Dan saat itu Umar adalah yang paling terakhir menikmati makanan. Umar menahan perut lapar dan hanya memakan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Apa ungkapan Umar saat itu? “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Subhanallah. Begitulah Umar memahami amanah jabatan yang dia emban. Dia menanggung nasib setiap jiwa rakyat yang dia pimpin. Mungkin saat ini kita akan mengatakan bahwa era Umar sudah berakhir. Ya itu betul. Tapi kisah Umar ini mengajarkan kita tentang esensi jabatan. Tentang tanggungjawab seorang pemimpin dalam Islam. Tentang bagaimana seharusnya kita memposisikan jabatan dan sumber daya untuk melayani rakyat. Bukan untuk dilayani. Bukan untuk memperkaya diri, keluarga atau kelompok kita sendiri. Umar boleh telah wafat dan periodenya telah jauh dengan masa kita. Tapi sesungguhnya apa yang dipahami oleh Umar begitulah esensi jabatan dalam Islam yang mengikat semua pemimpin di kalangan umat Islam.
Kita kembali ke Pak Nova Iriansyah. Beruntunglah Pak Nova memimpin Aceh yang saat ini masih menerima kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang melimpah dari pemerintah pusat. Artinya, Pak Nova memiliki banyak sumber daya untuk membangun Aceh. Tinggal digunakan sebaik-baiknya untuk melayani kepentingan lima juta lebih penduduk Aceh. Sekali lagi, untuk melayani kepentingan lima juta lebih rakyat Aceh. Oleh sebab itu, dituntut kecerdikan dari Pak Nova untuk mengatur birokrasinya agar mereka dapat menjadi menjadi pelayan bagi rakyatnya. Jika kita perhatikan fakta sejauh ini, jabatan di birokras sering hanya dipahami sebagai sarana untuk berburu rente, memperkaya diri. Program-program dijalankan kepentingan utama adalah mendapatkan fee. Kepentingan rakyat tidak menjadi bahan pemikiran serius. Kita sering mendengar bahwa setiap akhir tahun uang rakyat Aceh masuk ke SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran), alias kembali lagi ke pusat karena tidak sanggup dikelola oleh aparatur pemerintah. Kenapa tidak sanggup? Karena kurangnya keikhlasan dan kesungguhan. Faktanya, itu-itu saja masalah yang terjadi hampir setiap tahun.
Di sisi lain, yang menikmati kue pembangunan di lapangan hanya yang memiliki relasi dengan kekuasaan. Dalam wajah yang lain, birokrasi kita hanya pandai menghabiskan angggaran untuk kepentingan birokrasi itu sendiri. Ketika rakyat sedang kelimpungan menghadapi wahab virus corona, kita mendengar Pemerintah Aceh mengalokasikan milyaran anggaran untuk rehab ruang Sekda Aceh dengan dalih untuk efektifitas pelayanan. Ketika di satu sudut kita menyaksikan fakta dimana Aceh menempati provinsi termiskin di Sumatera dan nomor enam se-Indonesia sebagaimana data yang diliris BPS awal tahun, di sudut lain kita mendengar para elit kita sedang sibuk dengan program pengadaan mobil dinas. Itulah yang kita saksikan di lapangan.
Dan terakhir, Pak Nova memimpin Aceh sebagai Provinsi yang memberlakukan Syari’at Islam. Kita berharap Pak Nova menjadi panglima penegakan Syari’at Islam yang semakin melemah akhir-akhir ini. Jangan pernah berfikir bahwa Syari’at Islam hanya tugas Dinas Syari’at Islam. Merebaknya praktik riba rentenir, kejahatan dan pembunuhan, judi dan semua kemungkaran lainnya jangan pernah disangka lepas dari pertanggungjawaban sang pemimpin.
https://aceh.tribunnews.com/2020/11/07/pak-nova-memimpinlima-juta-rakyat-aceh