Indonesia di Antara Dua Peradaban Dunia

Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA             Kondisi krusial saat ini bukan kali pertama dihadapi Indonesia. Dulu Indonesia juga menghadapi tant...

Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA

            Kondisi krusial saat ini bukan kali pertama dihadapi Indonesia. Dulu Indonesia juga menghadapi tantangan dimana dua kekuatan dunia yang hegemonik ingin mempengaruhi negara-negara lainnya menjadi bagian dari aliansinya.. Merespon dua blok kekuatan dunia saat itu, yaitu Amerika Serikat yang kapitalis versus Uni Sovyet yang komunis, Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno saat itu terlibat aktif dan berhasil membangun blok sendiri yang dikenal dengan sebutan “Gerakan Non Blok (GNB)” yang berhasil menghimpun 100 negara di dunia dan menggelar Konferensi Tinggi Tinggi (KTT) pertama di Bandung. Gerakan yang dibangun Indonesia ini mencoba menjaga kedaulatan, dan integritas negara anggota serta ikut menjaga stabilitas dunia ditengah perang dingin yang berlangsung antara dua blok.

Indonesia saat itu tetap berteman dengan kedua blok dan berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia di satu sisi, dan menjaga kedaulatan bangsa di sisi lainnya dengan tidak tidak memihak salah satu blok. Posisi ini mengangkat harkat martabat Indonesia di pentas dunia dan menjaga stablitas dunia serta kedaulatan Indoensia.

Sementara itu, saat ini Indonesia juga sedang digiring untuk berada di salah satu blok kekuatan dunia. Blok Amerika Serikat yang mulai melemah dan blok China yang semakin bernafsu menguasai dunia menggantikan Amerika Serikat. Tarikan kedua blok ini tentu sangat terasa dalam semua sendi kehidupan kita. Mempengaruhi bahkan hingga ke mental pejabat kita.

Namun berbeda dengan masa awal Indonesia, saat ini di tengah tarikan kedua blok ini kita justru gagal untuk memposisikan diri sebagai kekuatan non blok yang berperan menjaga stabilitas dunia. Di antara dua peradaban yang hegemonic (mendominasi) saat ini, yaitu Amerika Serikat versus China, terasa sekali bahwa tarikan yang kita rasakan sedang digiring sepenuhnya untuk berada dalam pangkuan blok China. Sebagai sebuah bangsa kita tidak anti China dan juga tidak anti Barat-Amerika, kita akan memposisikan mereka sebaga sahabat dalam konteks pergulatan peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Tapi menunduk di kaki bangsa lain berakibat semakin “merusak kedaulatan” kita. Alih-alih kita sebagai negara muslim terbesar di dunia tampil mempromosikan peradaban Islam yang Wasathiyah dan mendamaikan di pentas peradaban dunia, kita justru menjadi pembebek atas proyek-proyek ekspansi China. Jika dulu kita menyaksikan bule-bule Amerika dan Barat mondar-mandir masuk ke Exxon Mobil menguras sumber daya alam kita untuk mereka bawa pulang ke negerinya, kini kita juga kembali menyaksikan orang-orang asing dari Tiongkok begitu bebas masuk ke Indonesia dan mengambil lahan kerja penduduk pribumi. Tentu hal ini melukai perasaan penduduk negeri ini.

Saat beberapa waktu lalu kita harus berdiam diri di rumah karena “serangan” virus corona yang ganas, tapi tenaga kerja China begitu bebas masuk. Padahal, virus corona diketahui berasal dari daratan China. Menurut keterangan Ombusdman Republik Indonesia sebagaimana dilansir detik.com pada 26 April 2018 lalu, tenaga kerja dari China umumnya adalah pekerja kasar. Itu tahun 2018. Bagaimana dengan saat ini? "Ada kondisi dimana arus TKA, khususnya dari Tiongkok, itu begitu arusnya deras sekali setiap hari masuk ke negara ini dan sebagian besar dari mereka adalah sebetulnya itu unskill labour," kata Komisioner Ombudsman Laode Ida saat itu. Jadi hingga pekerjaan kasar pun dipercayakan kepada orang luar. Dengan keadaan ini, kita patut bertanya bagaimanakah masa depan penduduk pribumi di negeri ini jika sampai pekerja kasar pun diambil alih pekerja China?

Jadi, kondisi kita saat ini seperti “keluar dari mulut harimau untuk masuk ke mulut buaya”. Ketika pengaruh Amerika Serikat berkurang, kita justru masuk ke “pangkuan” China. Kita gagal belajar dari sejarah. Kita gagal membaca zaman bahwa sesungguhnya hanya dengan kemandirian dan berdiri di kaki sendirilah sebuah bangsa bisa berdaulat. Tidak akan pernah berdaulat sebuah bangsa yang berdiri di kaki bangsa lain. Berdiri di kaki bangsa lain, malahan justru akan menjadikan kita sebagai “budak-budak” mereka yang tidak berdaya. Padahal, Islam menghendaki agar muslim itu bisa mandiri dan memimpin, termasuk memimpin dunia.

Kita seharusnya dapat belajar dari negara-negara lain dan dari sejarah. Kita setidaknya dapat mengikuti jejak negeri muslim seperti Turki yang hari ini berupaya keras untuk mandiri setelah sekian lama menjadi “sapi perah” bangsa barat. Dulu berpuluh tahun Turki dikenal sebagai negara sakit di Eropa. Itu karena dulu mereka menjadi pembebek atau penurut bagi bangsa Barat ketika Turki dikuasia partai-partai sekuler yang berafiliasi ke Barat. Dari cara hidupnya yang ke barat-baratan hingga seluruh bidang lainnya tunduk kepada Barat, ekonomi, pendidikan hingga militer dan teknologi. Ketundukan semacam itu hanya menjadikan mereka sebagai “orang sakit di Eropa”.

Disebut sakit karena Turki sebagai negeri dengan muslim terbesar di kawasannya tapi gagal untuk berprestasi dan berpartisipasi menciptakan tatatan dunia yang beradab. Alih-alih berprestasi, mereka hanya mampu “menyiksa” rakyatnya sendiri yang ingin membawa simbol-simbol Islam di ruang publik seperti melarang jelbab bagi muslimah. Mereka menjadi negara yang kotor dan korup.  Benarlah bahwa tidak akan ada kejayaan bagi bangsa yang tidak mandiri, bagi bangsa yang membebek kepada bangsa lain. Dan keadaan kemudian mulai berubah ketika Turki mulai mandiri. Sejak dua dekade lalu, Turki mulai berdaulat di bidang pendidikan dimana sekolah-sekolah mulai “lebih Islami”. Mereka juga berhenti dari ketergantungan teknologi militer dari Barat dan mulai memproduksi sendiri drone-drone canggih yang pada akhirnya upaya ini mengangkat harkat martabat umat Islam di pentas peradaban dunia. Turki tampil aktif membela umat Islam di Libya, di Suriah hingga Azerbaijan.

Turki juga kian gencar menyeru kepada kesadaran sejarah tentang masa lalu mereka sebagai entitas muslim yang kuat melalui pendidikan dan budaya seperti film-film. Alhasil, eksistensi Turki dewasa ini kian diperhitungkan dunia. Pengaruhnya juga semakin meningkat di mata dunia. Turki berteman dengan Amerika Serikat dan China, tapi sama sekali tidak tunduk dan menjadi pembebek kepada mereka. Sebenarnya posisi seperti ini yang paling ideal bagi sebuah negeri muslim.

Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia semestinya bisa kembali ke posisi non blok sebagaimana gagasan funding fathers bangsa kita dahulu. Tentu, Soekarno dan para tokoh bangsa yang lain dahulu paham betul bahwa menjadi bangsa yang tidak mandiri akan membuat rusaknya kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa. Bagaimana kita menjadi negeri dengan laut terpanjang di dunia tapi sampai garam pun harus impor? Bagaimana mungkin kita menjadi negeri dengan 240 juta penduduk tapi sampai pekerja kasar pun harus diambil dari China?

Menjadi kekuatan non blok sejatinya selaras dengan keinginan para pendiri bangsa ini. Bahkan, sejatinya itulah posisi ideal untuk diemban oleh bangsa kita sebagai negeri muslim terebsar di dunia. Agaknya atas dasar semacam inilah sehingga Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB NU) kembali menyeru agar negara ini untuk bisa mandiri sebagaimana dilansir Harian Republika pada Senin 27 September kemarin. Dalam musyawarah nasional alim ulama yang tergabung dalam NU ini dibahas berbagai persoalan mulai pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Dalam bidang kesehatan, rekomendasi alim ulama yang tergabung dalam NU ini meminta kepada pemerintah “Agar tidak bergantung pada vaksin impor dari negara lain. Bahkan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj salam sambutan pembukaan Munas-Konbes juga mengatakan: "Saat ini, sekitar 94 persen alkes (alat kesehatan) yang beredar adalah produk impor. Dominasi alkes impor menandai rapuhnya sistem kesehatan nasional".

Jadi, nampak bahwa tuntutan menuju kemandirian bangsa semakin nyaring terdengar demi menjaga kedaulatan. Kita berharap suara semakin kuat terdengar dan sudah saatnya Indonesia mengambil posisi “non blok” di tengah pergulatan dua kekuatan dan peradaban dunia yang hegemonik saat ini. Jika dulu Soekarno yang menggagas Gerakan Non Blok, maka sudah saatnya para elit bangsa dan para ulama-ulama saat ini mengambil posisi serupa.. Sudah seharusnya kita belajar dari sejarah. Wallahu a’lam bishshswab.

 

Penulis adalah Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pengurus Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (kwpsi). Email: teuku.zulkhairi@ar-raniry.ac.id


https://aceh.tribunnews.com/2021/10/02/indonesia-di-antara-dua-peradaban-dunia


Related

Paradigma Islam 1587752369440345381

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item