Kunci Sukses Membangun Dayah

Oleh Teuku Zulkhairi, MA Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.  Wacana seputar   usaha pemban...



Oleh Teuku Zulkhairi, MA
Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. 

Wacana seputar  usaha pembangunan lembaga pendidikan dayah dan hubungannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (human resources) merupakan isu aktual dalam arus perbincangan dayah dewasa ini. Intensnya perbincangan mengenai diskursus tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas empirik keberadaan dayah di Aceh dewasa ini yang dinilai kurang mampu mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya. Padahal, lembaga pendidikan dayah sangat dominan secara kuantitas. Pada tahun 2011, jumlah dayah aktif yang berhasil direkap oleh Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) adalah sebanyak 855 dayah yang tersebar di berbagai kabupaten.
Sementara jumlah yang masuk kategori Balai Pengajian adalah sebanyak 1572 BP. Namun dengan jumlah sebanyak ini, dayah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tertinggal dari kategori kemajuan.
Secara umum, ada dua tantangan dalam memajukan pendidikan dayah. Pertama, tantangan dari internal dayah. Kedua, tantangan eksternal, yaitu stakeholder pembangunan dayah. Tantangan dari internal muncul dari ketidak siapan sebagian kalangan dayah untuk menerima ide-ide pembaharuan untuk pendidikan dayah sebagaimana yang saya tulis dalam opini “Tantangan Memajukan Dayah” (Serambi, 10/9/ 2011). Penolakan terhadap ide-ide pembaharuan muncul sebagai respon atas kekhawatiran atas realitas banyaknya perubahan yang terjadinya justru merusak ciri khas dayah yang unik. Sikap ini di satu sisi memberi keuntungan bagi lembaga pendidikan dayah karena lembaga pendidikan ini tetap menjadi benteng utama rakyat Aceh atas penetrasi budaya luar yang tidak Islami di tengah ketidakmampuan lembaga pendidikan umum lainnya untuk membentuk karakter peserta didik menjadi syakhshiyah islamiyah sebagai efek dari suksesnya penetrasi budaya asing di lembaga pendidikan umum kita.
Namun menjadi kerugian ketika penolakan terhadap terhadap upaya-upaya pembaharuan juga terjadi untuk id-ide yang kontsruktif bagi penguatan posisi dayah sebagai benteng utama untuk menghalau penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal dan etika Islami. Penolakan ini misalnya ditunjukkan oleh sebagian kalangan dayah yang menolak atau keberatan atas hadirnya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) di Dayah Mudi Mesra Samalanga yang merupakan salah satu dayah terbesar dan paling berpengaruh di Aceh. Begitu juga, saat ini banyak dayah di Aceh dalam penelusuran penulis tidak begitu menganggap penting mata pelajaran utama yang akan memperkuat posisi dayah secara kualitas keilmuan. Misalnya pelajaran Tahfiz al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadist, Thruqul Bahst (Metodologi Penelitian), Pelajaran Bahasa Arab aktif, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Syari’at), Tarikh Islami (Sejarah Islam) dan Fikih Dakwah sebagaimana banyak disinggung oleh banyak pengamat pendidikan dayah serta pengalaman penulis sendiri saat menetap di dayah. Pada tahun 2009 yang lalu beberapa guru dayah yang kesulitan menjawab soal-soal Ulum al-Hadits saat mengikuti seleksi program beasiswa pendidikan. Kasus di atas kita kecualikan untuk beberapa dayah besar yang menjadi pelopor dayah-dayah lainnya di Aceh seperti Dayah Mudi Mesra Samalanga
Idealnya dayah tidak bisa terus menjadi “benteng yang pasif”. Dayah harus menjadi “benteng yang aktif” yang tidak hanya menjadi “benteng pertahanan”, tapi juga menjadi benteng tempat menyusun strategi ekspansi nilai-nilai Islam yang ditanamkan di dayah ke luar bentengnya. Jika tetap mengandalkan strategi lama, tentu sulit bagi kalangan dayah untuk menjadi dosen-dosen di Perguruan Tinggi, menjadi kepala KUA dan sebagainya dimana di sana lahan dakwah terbuka begitu lebar yang artinya terbuka pula ruang bagi penetrasi nilai-nilai Islam yang ditanamkan di dayah ke dunia luar.
Namun, untuk menjadi benteng yang aktif, tentu tidak bisa dilakukan jika dayah hanya mengandalkan strategi lama, karena dunia terus berubah yang menyebabkan strategi “pertahanan dan penetrasi” nilai-nilai Islam sesungguhnya harus diformat ulang. Namun seiring waktu pandangan ini terus menjadi bahan diskusi kalangan dayah yang akhirnya membentuk persepsi mereka. Berbagai pengakuan ulama-ulama dayah membuktikan bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang ditolak kalangan dayah seperti yang diungkapkan oleh Tgk.H.Nuruzzahri (waled Nu) dalam seminar ‘Mendesain Dayah 2050” di Aula Mahkamah Syari’ah beberapa bulan yang lalu, jadi tidak seperti persepsi pandangan sebagian kaum akademisi kita yang menganggap dayah sebagai pendidikan “jumud”. Bahkan, dalam berbagai forum komunitas dayah, kini munculnya paradigma baru komunitas dayah untuk men-dayah-kan lembaga pendidikan umum/sekolah. Itu artinya bahwa komunitas dayah bukanlah kumpulan orang-orang yang anti perubahan. Perubahan-perubahan dayah akan muncul dan diterima setelah ide-ide perubahan tersebut diseleksi secara ketat agar perubahan yang terjadi tidak justru menghancurkan masa depan pendidikan dayah.
Kunci pembangunan dayah
        Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tantangan pembangunan dayah yang muncul dari internal dayah sendiri niscaya akan terus mengecil. Dan sekarang tantangan berikutnya yang harus diselesaikan adalah tantangan kedua yang datang dari eksternal dayah. Tantangan ini terletak pada stakeholder pembangunan dayah, yaitu Badan pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) yang lahir lewat Qanun no 5 tahun 2008. Di samping Seksi Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), BPPD akan menentukan suksesnya pembangunan dayah yang sedang dirancang. Menyelesaikan tantangan ini adalah kunci sukses pembangunan dayah oleh pemerintah. Secara umum, tujuan pemerintah dan para ulama mendirikan BPPD adalah untuk pemberdayaan dayah secara maksimal, dari aspek administrasi, kualitas, manajemen maupun dana. Jika demikian, seharusnya dengan adanya BPPD maka dayah-dayah di Aceh akan semakin kuat bidang dana, administrasi, manajemen maupun secara kualitas. Lalu kenyataan sekarang bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan ini secara tuntas memang harus dilakukan penelitian secara mendalam, dan insya Allah kami akan melakukannya.
Namun dari berbagai diskusi yang kami adakan serta dari amatan penulis sendiri, BPPD memiliki catatan krusial yang harus segera dibenahi. Pertama, BPPD belum melayani dayah dengan ikhlas tanpa pamrih. Saya pernah mendengar banyak keluhan pihak dayah yang bantuan untuk dayah disunat oleh personil-personil di BPPD. Misalnya seperti bantuan untuk dayah dari dana aspirasi anggota dewan. Kedua, BPPD belum dibentuk di setiap kabupaten. Ini akan menyulitkan kalangan dayah karena tentu akan sangat merepotkan kalangan dayah jika semua urusan dayah harus dibawa ke Banda Aceh. Ketiga, pegawai BPPD masih kurang kapasitasnya. Dalam catatan kami, banyak tenaga survey yang memferifikasi dayah dari BPPD tidak memahami tentang dayah. Begitu juga, pegawai-pegawai di BPPD yang banyak diantaranya adalah pegawai pindahan dari dinas/instansi lain tanpa target yang jelas untuk berfikir bagi kemajuan dayah. Mereka membawa semangat lama di tempat bekerja sebelumnya. Ini menyebabkan ide-ide pembangunan dayah sulit diterima kalangan dayah. Idealnya pegawai-pegawai di BPPD adalah tenaga-tenaga pilihan yang memahami dayah dan memiliki konsep pembangunan dayah. Mereka harus menjemput data-data dayah ke lokasi, seperti data-data dayah dan balai pengajian yang aktif untuk diberikan bantuan. Jangan justru menunggu proposal di kantor. Pegawai BPPD juga harus Islami, seperti pegawai perempuan, harus menjaga etika dan kesopanan dalam berbusana karena yang mereka layani adalah ulama-ulama dan teungku-teungku yang tidak lain adalah panutan masyarakat di daerahnya.
Keempat, tidak ada staff ahli yang menjadi thinktank pembangunan dayah. Efeknya, menurut pengakuan salah satu anggota Bappeda dalam suatu acara diskusi penysunan RPJM Aceh 2012-2017 di Bappeda bulan lalu, Renstra BPPD hanya copypaste dari Rentsra Dinas Pendidikan Aceh. Ini tentu sesuatu yang sangat memalukan dan merugikan dayah-dayah di Aceh. Kelima, BPPD belum mampu menjalain relasi dan kerjasama yang baik dengan Ormas-ormas berbasis santri dalam upaya memajukan kualitas santri dayah. Padahal, kerjasama ini akan memperkuat posisi BPPD dalam meningkatkan kapasitas santri dayah dalam berbagai aspek keilmuan kontemporer, karena tentu saja BPPD tidak bisa meng-heandle semua agenda pembangunan dayah.
Semua catatan-catatan di atas tidak terlepas dari visi dan misi seorang pimpinan. Maka, jika memang pemerintah Aceh serius ingin membangun lembaga pendidikan dayah menuju kejayaannya, membenahi BPPD adalah hal yang mutlak dan mendesak. Dan yang pertama harus dilakukan adalah memilih Kepala BPPD yang memiliki kapasitas, memahami tentang dayah dan memiliki konsep pembangunannya. Kepala BPPD tidak boleh seorang birokrat murni yang menjadikan program pembangunan dayah sekedar sebagai proyek-proyek rutinitas untuk menghabiskan anggaran tahunan saja, tapi juga seorang pemikir, konseptor. Jika catatan-catatan di atas tidak segera dibenahi, kami khawatir suatu saat image dayah akan tercoreng. Dengan alasan berbagai bantuan sudah diberikan pemerintah untuk dayah, sebagian orang pasti akan berfikir kenapa dayah tidak juga maju. Maka membenahi BPPD adalah kunci suksesnya pembangunan dayah.  Wallahu a’lam bishshawab.

Related

Pembangunan Dayah 6737861031641446600

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item