Kunci Sukses Membangun Dayah
Oleh Teuku Zulkhairi, MA Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Wacana seputar usaha pemban...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/09/kunci-sukses-membangun-dayah.html
Oleh Teuku
Zulkhairi, MA
Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Wacana
seputar usaha pembangunan lembaga
pendidikan dayah dan hubungannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(human resources) merupakan isu aktual dalam arus perbincangan dayah
dewasa ini. Intensnya perbincangan mengenai diskursus tersebut tidak bisa
dilepaskan dari realitas empirik keberadaan dayah di Aceh dewasa ini yang
dinilai kurang mampu mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya. Padahal,
lembaga pendidikan dayah sangat dominan secara kuantitas. Pada tahun 2011,
jumlah dayah aktif yang berhasil direkap oleh Badan Pembinaan Pendidikan Dayah
(BPPD) adalah sebanyak 855 dayah yang tersebar di berbagai kabupaten.
Sementara
jumlah yang masuk kategori Balai Pengajian adalah sebanyak 1572 BP. Namun
dengan jumlah sebanyak ini, dayah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan
yang tertinggal dari kategori kemajuan.
Secara
umum, ada dua tantangan dalam memajukan pendidikan dayah. Pertama, tantangan dari internal dayah. Kedua, tantangan eksternal, yaitu stakeholder pembangunan dayah.
Tantangan dari internal muncul dari ketidak siapan sebagian kalangan dayah
untuk menerima ide-ide pembaharuan untuk pendidikan dayah sebagaimana yang saya
tulis dalam opini “Tantangan Memajukan Dayah” (Serambi, 10/9/ 2011). Penolakan
terhadap ide-ide pembaharuan muncul sebagai respon atas kekhawatiran atas
realitas banyaknya perubahan yang terjadinya justru merusak ciri khas dayah
yang unik. Sikap ini di satu sisi memberi keuntungan bagi lembaga pendidikan
dayah karena lembaga pendidikan ini tetap menjadi benteng utama rakyat Aceh
atas penetrasi budaya luar yang tidak Islami di tengah ketidakmampuan lembaga
pendidikan umum lainnya untuk membentuk karakter peserta didik menjadi syakhshiyah islamiyah sebagai efek dari
suksesnya penetrasi budaya asing di lembaga pendidikan umum kita.
Namun
menjadi kerugian ketika penolakan terhadap terhadap upaya-upaya pembaharuan
juga terjadi untuk id-ide yang kontsruktif bagi penguatan posisi dayah sebagai
benteng utama untuk menghalau penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya lokal dan etika Islami. Penolakan ini misalnya ditunjukkan
oleh sebagian kalangan dayah yang menolak atau keberatan atas hadirnya Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) di Dayah Mudi Mesra Samalanga yang merupakan salah
satu dayah terbesar dan paling berpengaruh di Aceh. Begitu juga, saat ini banyak
dayah di Aceh dalam penelusuran penulis tidak begitu menganggap penting mata
pelajaran utama yang akan memperkuat posisi dayah secara kualitas keilmuan.
Misalnya pelajaran Tahfiz al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadist, Thruqul Bahst (Metodologi Penelitian), Pelajaran Bahasa Arab aktif,
Tarikh Tasyri’ (Sejarah Syari’at), Tarikh Islami (Sejarah Islam) dan Fikih
Dakwah sebagaimana banyak disinggung oleh banyak pengamat pendidikan dayah
serta pengalaman penulis sendiri saat menetap di dayah. Pada tahun 2009 yang
lalu beberapa guru dayah yang kesulitan menjawab soal-soal Ulum al-Hadits saat mengikuti seleksi program beasiswa pendidikan. Kasus
di atas kita kecualikan untuk beberapa dayah besar yang menjadi pelopor
dayah-dayah lainnya di Aceh seperti Dayah Mudi Mesra Samalanga
Idealnya
dayah tidak bisa terus menjadi “benteng yang pasif”. Dayah harus menjadi
“benteng yang aktif” yang tidak hanya menjadi “benteng pertahanan”, tapi juga
menjadi benteng tempat menyusun strategi ekspansi nilai-nilai Islam yang ditanamkan
di dayah ke luar bentengnya. Jika tetap mengandalkan strategi lama, tentu sulit
bagi kalangan dayah untuk menjadi dosen-dosen di Perguruan Tinggi, menjadi
kepala KUA dan sebagainya dimana di sana lahan dakwah terbuka begitu lebar yang
artinya terbuka pula ruang bagi penetrasi nilai-nilai Islam yang ditanamkan di
dayah ke dunia luar.
Namun,
untuk menjadi benteng yang aktif, tentu tidak bisa dilakukan jika dayah hanya
mengandalkan strategi lama, karena dunia terus berubah yang menyebabkan strategi
“pertahanan dan penetrasi” nilai-nilai Islam sesungguhnya harus diformat ulang.
Namun seiring waktu pandangan ini terus menjadi bahan diskusi kalangan dayah
yang akhirnya membentuk persepsi mereka. Berbagai pengakuan ulama-ulama dayah
membuktikan bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang ditolak kalangan dayah
seperti yang diungkapkan oleh Tgk.H.Nuruzzahri (waled Nu) dalam seminar
‘Mendesain Dayah 2050” di Aula Mahkamah Syari’ah beberapa bulan yang lalu, jadi
tidak seperti persepsi pandangan sebagian kaum akademisi kita yang menganggap
dayah sebagai pendidikan “jumud”. Bahkan, dalam berbagai forum komunitas dayah,
kini munculnya paradigma baru komunitas dayah untuk men-dayah-kan lembaga
pendidikan umum/sekolah. Itu artinya bahwa komunitas dayah bukanlah kumpulan
orang-orang yang anti perubahan. Perubahan-perubahan dayah akan muncul dan
diterima setelah ide-ide perubahan tersebut diseleksi secara ketat agar
perubahan yang terjadi tidak justru menghancurkan masa depan pendidikan dayah.
Kunci pembangunan dayah
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa tantangan pembangunan dayah yang muncul dari internal
dayah sendiri niscaya akan terus mengecil. Dan sekarang tantangan berikutnya
yang harus diselesaikan adalah tantangan kedua yang datang dari eksternal dayah.
Tantangan ini terletak pada stakeholder pembangunan dayah, yaitu Badan
pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) yang lahir lewat Qanun no 5 tahun 2008. Di
samping Seksi Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), BPPD akan
menentukan suksesnya pembangunan dayah yang sedang dirancang. Menyelesaikan
tantangan ini adalah kunci sukses pembangunan dayah oleh pemerintah. Secara
umum, tujuan pemerintah dan para ulama mendirikan BPPD adalah untuk pemberdayaan dayah secara maksimal, dari aspek
administrasi, kualitas, manajemen maupun dana. Jika demikian, seharusnya dengan
adanya BPPD maka dayah-dayah di
Aceh akan semakin kuat bidang dana, administrasi, manajemen maupun secara
kualitas. Lalu kenyataan sekarang bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan ini
secara tuntas memang harus dilakukan penelitian secara mendalam, dan insya
Allah kami akan melakukannya.
Namun
dari berbagai diskusi yang kami adakan serta dari amatan penulis sendiri, BPPD
memiliki catatan krusial yang harus segera dibenahi. Pertama, BPPD belum melayani dayah dengan ikhlas tanpa pamrih. Saya
pernah mendengar banyak keluhan pihak dayah yang bantuan untuk dayah disunat
oleh personil-personil di BPPD. Misalnya seperti bantuan untuk dayah dari dana
aspirasi anggota dewan. Kedua, BPPD
belum dibentuk di setiap kabupaten. Ini akan menyulitkan kalangan dayah karena
tentu akan sangat merepotkan kalangan dayah jika semua urusan dayah harus
dibawa ke Banda Aceh. Ketiga, pegawai
BPPD masih kurang kapasitasnya. Dalam catatan kami, banyak tenaga survey yang
memferifikasi dayah dari BPPD tidak memahami tentang dayah. Begitu juga,
pegawai-pegawai di BPPD yang banyak diantaranya adalah pegawai pindahan dari
dinas/instansi lain tanpa target yang jelas untuk berfikir bagi kemajuan dayah.
Mereka membawa semangat lama di tempat bekerja sebelumnya. Ini menyebabkan
ide-ide pembangunan dayah sulit diterima kalangan dayah. Idealnya
pegawai-pegawai di BPPD adalah tenaga-tenaga pilihan yang memahami dayah dan
memiliki konsep pembangunan dayah. Mereka harus menjemput data-data dayah ke
lokasi, seperti data-data dayah dan balai pengajian yang aktif untuk diberikan
bantuan. Jangan justru menunggu proposal di kantor. Pegawai BPPD juga harus
Islami, seperti pegawai perempuan, harus menjaga etika dan kesopanan dalam
berbusana karena yang mereka layani adalah ulama-ulama dan teungku-teungku yang
tidak lain adalah panutan masyarakat di daerahnya.
Keempat, tidak ada
staff ahli yang menjadi thinktank
pembangunan dayah. Efeknya, menurut pengakuan salah satu anggota Bappeda dalam
suatu acara diskusi penysunan RPJM Aceh 2012-2017 di Bappeda bulan lalu,
Renstra BPPD hanya copypaste dari
Rentsra Dinas Pendidikan Aceh. Ini tentu sesuatu yang sangat memalukan dan
merugikan dayah-dayah di Aceh. Kelima,
BPPD belum mampu menjalain relasi dan kerjasama yang baik dengan Ormas-ormas
berbasis santri dalam upaya memajukan kualitas santri dayah. Padahal, kerjasama
ini akan memperkuat posisi BPPD dalam meningkatkan kapasitas santri dayah dalam
berbagai aspek keilmuan kontemporer, karena tentu saja BPPD tidak bisa meng-heandle semua agenda pembangunan dayah.
Semua
catatan-catatan di atas tidak terlepas dari visi dan misi seorang pimpinan.
Maka, jika memang pemerintah Aceh serius ingin membangun lembaga pendidikan
dayah menuju kejayaannya, membenahi BPPD adalah hal yang mutlak dan mendesak.
Dan yang pertama harus dilakukan adalah memilih Kepala BPPD yang memiliki
kapasitas, memahami tentang dayah dan memiliki konsep pembangunannya. Kepala
BPPD tidak boleh seorang birokrat murni yang menjadikan program pembangunan
dayah sekedar sebagai proyek-proyek rutinitas untuk menghabiskan anggaran
tahunan saja, tapi juga seorang pemikir, konseptor. Jika catatan-catatan di
atas tidak segera dibenahi, kami khawatir suatu saat image dayah akan
tercoreng. Dengan alasan berbagai bantuan sudah diberikan pemerintah untuk
dayah, sebagian orang pasti akan berfikir kenapa dayah tidak juga maju. Maka
membenahi BPPD adalah kunci suksesnya pembangunan dayah. Wallahu
a’lam bishshawab.