Akhlak Mulia, Fondasi Peradaban Aceh
Oleh Teuku Zulkhairi Alumnus Program Studi Kependidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Perbaikan akhlak manusia ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/09/akhlak-mulia-fondasi-peradaban-aceh.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
Alumnus Program Studi Kependidikan Islam
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Perbaikan akhlak manusia adalah tujuan terbesar Muhammad
diangkat oleh sebagai Nabi dan Rasul. Akhlak juga merupakan komponen yang
fundamental dalam Islam di samping Syari’ah dan Akidah. Agama tanpa akhlak
adalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Allah Swt mengumpamakan Islam itu
sebagai sebuah pohon, yaitu akidah sebagai akarnya, syariah sebagai pohon dan
rantingnya, sedangkan akhlak sebagai buah dari pohon tersebut di dalam
firman-Nya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit; Pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat; Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak
dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. Ibrahim ayat 24-26).
Akhlak
pemerintah
Pentingnya pembangunan berbasis
akhlak adalah hal yang mendesak apabila kita melihat kondisi terakhir bangsa
ini yang sedang dihimpit oleh berbagai kenestapaan yang mendera karena
hancurnya akhlak para aparatur negara. Para elit negeri ini terus saja
menampilkan budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara. Praktek korupsi
yang menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus membudaya sehingga tidak
heran jika sebuah lembaga nirlaba international, 'The Fund for Peace' dalam
situs resminya meletakan Indonesia di urutan ke 63 dari 178 negara sebagai
negara gagal. Survei “The Fund for Peace” menggunakan
indikator hukum, politik, ekonomi, sosial, dan HAM. Hasilnya, Indonesia bukan
hanya akan gagal. Tetapi juga bisa hilang dari peta dunia.
Di level Aceh, Gerakan
Antikorupsi (GeRAK) Aceh merilis sebanyak Rp 1,7 triliun dana publik selama
tahun 2011 terindikasi korupsi (Serambi Indonesia, Jumat, 9 Desember 2011). Kasus-kasus merugikan
masyarakat dan negara yang diperankan oleh aparatur negara seakan menjadi hal
yang biasa. Beberapa kepala daerah dan kepala dinas di Aceh terindikasi
korupsi, beberapa diantaranya sudah mendekam dibalik jeruji besi. Di sisi lain,
pembahasan RAPBA oleh legislatif setiap tahun selalu terlambat sehingga setiap
tahun pula anggaran APBA selalu harus masuk SILPA. Kondisi ini konon kabarnya
merupakan ekses dari adanya kepentingan besar para wakil rakyat di legislatif
terhadap APBA. Talik ulur yang terjadi adalah karena kepentingan mereka
sendiri. Bukan kepentingan rakyat. Ini merupakan salah satu akhlak yang tercela
yang diperankan oleh legislatif Aceh.
Kerusakan lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan pemerintah juga terlihat jelas misalnya kerusakan lingkungan
yang diakibatkan oleh ulah tangan manusi sebagai akibat ketika akhlak telah
rusak, seperti penebangan hutan secara illegal (illegal loging),
penambangan yang tidak mengindahkan prosedur, dan pembuangan sampah sembarangan
yang mengakibatkan kerusakan besar yang sifatnya mikro yaitu timbulnya bencana,
seperti banjir, dan tanah longsor, atau yang sifatnya makro yaitu pemanasan
global. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan cuaca dan iklim. Kerusakan
akhlak yang dipernakan oleh pemerintah yang seharusnya bisa diminimalisir oleh
pemerintah ini telah menyebabkan masyarakat kita hidup dalam penderitaan.
Akhlak masyarakat
Selain kerusakan di level
pemerintah, kerusakan juga terjadi di level masyarakat. Tindakan kekerasan yang
semakin sering terjadi, tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota
masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi
berita-berita tentang pembunuhan, perampokan, pergaulan bebas, pencabulan,
aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. Karena terlalu
sering hal ini kita dengar sampai-sampai kita terbiasa dan kita seakan
menganggapnya legal dan sesuai dengan norma kesusilaan. Padahal kita hidup
dalam negara yang diklaim sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar
sedunia. Juga diklaim sebagai negara hukum, negara bermoral, negara dengan
masyarakatnya yang religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila
didengar sangat menjukkan hati.
Namun demikian, banyaknya kerusakan akhlak yang terjadi
sesungguhnya bukan karena kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral,
melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya
dalam kehidupan sosial. Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal
yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka,
yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal
(yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan
inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tentram,
tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat(Imam Mustafa, 2008). Maka
disinilah fungsi akhkal dalam mewujudkan indahnya Islam.
Jalur pendidikan
Kalau kita kaji secara mendalam, pada dasarnya kehancuran
akhlak bangsa ini ini merupakan ekses panjang pasca penjajahan Belanda yang
berhasil melakukan sekulerisasi pendidikan di nusantara, pendidikan agama di
satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain. Akibat dikotomi ini sehingga Islam
dipahami hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan spriritual. Agama
sebagai sumber moralitas menjadi terpinggirkan dari realitas kehidupan dan
sistem pendidikan. Maka jalan terbaik untuk memperbaiki akhlak adalah jalur
pendidikan.
Kita mungkin berfikir sulit untuk mengubah mental generasi
tua saat ini menuju akhlak yang dicita-citakan Rasulullah, tapi kita punya
kesempatan besar untuk bisa membentuk akhlak generasi muda Aceh sesuai dengan
akhlak Islam. Dan jalurnya adalah lewat pendidikan Islam yang mengintegrasi
nilai-nilai Islam dalam semua aspek pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran di
sekolah harus di format ulang agar sesuai dengan konteks lokal Aceh yang mendambakan
syari’at Islam mengatur semua sendir kehidupan kita. Sudah saatnya pula kita
memproduksi sendiri buku-buku mata pelajaran di sekolah yang di desain khusus
agar terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.
Sementara di sisi lain, dalam mengubah akhlak aparatur
negara, pemimpin baru Aceh harus mengawalinya dari diri sendiri, keluarga dan
kelompok kita. Karena Rasulullah mengajarkan kita bahwa jika kita ingin
mengubah orang maka kita harus terlebih dahulu merubah diri hal-hal yang paling
dekat dengan kita. Pemimpin baru Aceh harus lebih banyak mendengar dan bekerja
daripada berbicara. Dengarlah pendapat rakyat saat ada kesempatan berbicara
dengan mereka. Ikuti semua petunjuk Ulama. Hiduplah secara sederhana selagi
kita memiliki kekuasaan karena hal itu akan menjadi teladan mulia bagi
masyarakat kita. Semarakkan pengajian-pengajian dan hidupkan shalat berjamaah
di setiap instansi pemerintah hingga ke level gampong. Wallahu a’lam bishshawab.