Ketika Santri Malas Menulis
Oleh Teuku Zulkhairi Menulis dalam Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti menyimpan apa yang ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/07/ketika-santri-malas-menulis.html
Oleh Teuku
Zulkhairi
Menulis dalam
Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis berarti
menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh
siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan.
Dengan tulisan, kita bisa berdakwah(menyebarkan
kebenaran), mengajari, menyebarkan ide dan pemikiran, melontarkan gagasan,
menyampaikan kritikan atau hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan
tulisan seseorang bisa juga menyebarkan kebatilan, merusak moral, mem-provokasi, menghina, menghasut,
memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya.
Dengan tulisan, seseorang bisa mencoba merancang dan
merumuskan bentuk peradaban dan masa depan impian atau kehidupan ideal yang
didambakan. Banyak bukti sejarah yang membenarkan asumsi ini. Misalnya;
bagaimana dahsyatnya kekuatan novel ”Ayat-ayat Cinta” dan ”Ketika Cinta
Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy sanggup membius ribuan remaja Muslim
Indonesia, putra dan putri dengan berbagai pesan Islamnya, sehingga banyak
sekali diantara mereka yang bermimpi dan berjuang menjadi jelmaan(reinkarnasi)
tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel
tersebut, seperti Fahri, Azam dan sebagainya.
Dalam novel tersebut mereka
digambarkan sebagai aktor yang benar-benar mengaktualisasikan nilai-nilai Islam
ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Pribadi mereka diungkapkan bak seorang
aulia yang memilki akhlak paripurna. Setelah membaca buku, dipastikan siapapun
akan mencoba mengikuti akhlak tokoh yang diceritakan dalam novel ini.
Hasan Al-Banna pendiri organsisasi ”Ikhwanul Muslimin” di
Mesir juga pernah menulis berbagai wasiatnya kepada umat Islam yang dirangkum
dalam buku ”Majmu’atur Rasail”. Tulisan-tulisan dalam buku ini kita ketahui sanggup
membangkitkan semangat dan gelora pergerakan Islam(Harakah Islamiah) diberbagai belahan penjuru dunia untuk bangkit
mengejar ketertinggalan dengan tanpa melepaskan nilai-nilai Islam sebagai
prinsip hidup yang konsepsional dan fundamental. Buku ini, mampu memberikan
inspirasi bagi umat Islam untuk melawan berbagai bentuk penjajahan fisik dan
pemikiran. Saat ini, hampir semua pergerakan Islam di dunia lahir karena
terinspirasi dari kekuatan perjuangan, teladan dan surat wasiat Hasan Al-Banna
tersebut.
Begitu juga buku-buku yang dikarang oleh penulis
berkaliber dunia lainnya, seperti; Yusuf Al-Qardhawy yang mengupas berbagai
persoalan kekinian umat Islam. Buku-buku beliau tersebut kita ketahui saat ini
telah dijadikan sebagai referensi(buku pegangan) wajib maupun sekedar buku
pendukung materi kuliah oleh para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi Islam
di hampir seluruh dunia.
Buku-buku tersebut memiliki kekuatan yang sangat
dahsyat dalam rangka merintis berbagai transformasi sosial dunia Islam ke arah
yang lebih maju. Pun demikian dengan tulisan atau opini-opini yang dimuat di
berbagai media lokal di Aceh yang diyakini juga memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam membawa umat ke arah perubahan menuju Aceh Darussalam yang
diimpikan.
Contoh lainnya adalah; Samuel P Huntington yang menulis buku
berjudul: "The Class of Civilization and The Remaking of World Order” yang
diterjemahkan dengan ”Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”,
suatu buku yang menganalisa dan menyajikan data-data tentang terjadinya benturan
antara peradaban Barat(Kristen, Yahudi dan sebagainya) dengan peradaban Dunia
Timur(Islam). Buku tersebut pada akhirnya kita ketahui menjadi rujukan Dunia
Barat dalam menilai dan menyikapi kebangkitan dunia Islam(as-shahwah Islamiah). Huntington meyakini dan menulis
angan-angannya bahwa setelah Amerika memenangkan Perang Dunia II, maka lawan
mereka berikutnya yang akan dan harus dihadapi adalah ”umat Islam”.
Efek besar dari tulisan Huntingtin tersebut kini menjadi
aksi nyata eksistensi dunia barat yang dirasa oleh hampir semua umat Islam
diseluruh bagian dunia. Hampir disemua lini dan segmentasi tatanan kehidupan
negara-negara Islam berada dibawah cengkeraman Amerika-Barat.
Bahkan, selain negera-negara Islam yang terjajah secara
pendidikan, ekonomi, akhlak-moral dan politik, teori dan pemikiran Huntington
tersebut juga terwujud nyata dalam penjajahan sungguhan negara Barat terhadap
dunia Islam. Misalnya; penjajahan Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak
dan sebagainya.
Kekuatan sebuah tulisan kadangkala juga bisa bernada
fitnah atau propokasi sehingga bisa mengajak kepada pertumpahan darah dan
kehancuran. Misalnya; ”Ayat-Ayat Setan” karya Salman Rushdi, seorang penulis
keturunan Pakistan yang bermukim di Inggris. Tulisannya pernah memancing
kemarahan umat Islam di seluruh dunia, penyebabnya adalah karena dalam bukunya
tersebut ia menghina Muhammad Saw sang Rasul umat Islam.
Begitu juga Freddy S,
seorang novelis yang menulis berbagai novel seksual dan vulgar di nusantara
yang banyak mengumbar nafsu syaithani.
Novel-novelnya tersebut sangat ampuh untuk menghancurkan moral dan akhlak
generasi Islam dan putra putri bangsa Indonesia secara umum.
Inilah sekilas gambaran singkat dahsyatnya kekuatan
sebuah tulisan. Ia bisa membawa kepada kebangkitan sebuah peradaban, atau
sebaliknya kepada kehancuran moral dan semua tatanan kehidupan umat manusia
lainnya. Ketika tulisan-tulisan yang mengajak kepada kebenaran menjadi minim
maka tulisan-tulisan kehancuran akan bertaburan dan menghancurkan.
Kekuatan
”Menulis” dalam Sejarah Islam
Menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah
kejayaan umat Islam beberapa abad silam.
Semua ulama yang menjadi arsitek peradaban
dan kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan
berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat
Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Barat yang kemajuannya
hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada
kemajuan umat Islam masa silam.
Dalam sejarah Islam, akan kita dapati pakar-pakar
keilmauan mayoritas adalah para ulama. Kedokteran, geografi, oftik, kartografi,
farmasi, kimia, astronomi, matematika, dan yang lainnya. Patut untuk di
banggakan, ketika Eropa di abad pertengahan hanya memiliki seorang jenius
bernama Leonardo da Vinci yang mumpuni dalam beberapa bidang keilmuan, ternyata
umat Islam memiliki puluhan tokoh yang memiliki multiple intelligence.
Sebagai contoh, kejeniusan Ibnu Sina
dibidang kedokteran menghasilkan karya menumental Al-Qanun Fi Ath-Thibbi, Asy-Syifa dan yang lainnya. Ibnu Rusyd yang
faham dengan sangat baik filsafat Yunani, sehingga mampu memberikan koreksi dan
catatan kaki atas kekeliruan yang ada didalam buku mereka ternyata juga seorang
faqih yang dari tangannya lahir Bidayah-Al-Mujtahid, sebuah rujukan
perbandingan madzhab dalam ilmu fiqih yang sampai sekarang tetap
diperhitungkan. Belum lagi Al-Khawarizmi pencipta Al-Jabar (ilmu ukur/Matematika) yang fenomenal, Al-Haitsam Bapak
”optik” sekaligus penemu Kamera Analog. Al-Idrisi bapak kartografi dari pulau
Sisilia. Al-Biruni, Ibnu Khaldun, dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Galileo yang terkenal dengan teleskopnya ternyata kalah
awal oleh ulama-ulama di Baghdad yang telah lebih dahulu menciptakan
observatorium untuk mengamati pergerakan dan fenomena bintang- bintang. Al-kohol, al-kalin, sinus, kosinus, tangent,
azimuth, natir dan istilah-istilah lain dalam berbagai disiplin ilmu lahir dari rahim keilmuan kaum muslimin. Begitu pula dibidang Fiqih,
Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam, dan
sebagainya. Semua itu hadir karena mereka memegang teguh tradisi
keilmuan, yaitu menulis disamping tradisi membaca pada sisi yang lain.
Dan berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa
dipastikan karena tradisi menulis setelah membaca yang pernah dipopulerkan oleh
para ulama masa lalu telah ditinggalkan. Umat Islam malas ”membaca dan menulis”.
Melalui tulisan diyakini peradaban impian akan bisa diraih. Melalui tulisan
fakta mengatakan sebuah kemajuan akan bisa dicapai. Melalui tulisan jelas
kebenaran akan mudah tersampaikan.
Sampai disini, kita bisa membayangkan bagaimana
dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan. Ia bisa menjadi senjata melawan kezaliman
ketika meriam telah dihancurkan, ketika senapan dan mesiu telah tenggelam dalam
lautan. Maka, adalah wajar jika di era ”Orde Baru” Soeharto yang mantan
presiden kita itu begitu gencar memberangus dan mengejar-ngejar para penulis.
Sebab, Soeharto meyakini kekuatan pena lebih dahsyat daripada senapan, lebih
tajam daripada ujung pedang. Maka, ketika santri ”malas menulis” yang akan
terjadi adalah berbagai ketimpangan dan bahkan penjajahan. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Pembina Ikatan Penulis Santri Aceh [IPSA].