Pemimpin Aceh Perlu Banyak Mendengar
Oleh Teuku Zulkhairi Perhatikan umumnya pemimpin kita, setelah memberi sambutan dalam suatu acara yang misalnya dibuat oleh mahasis...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/03/pemimpin-aceh-perlu-banyak-mendengar.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Perhatikan umumnya pemimpin kita, setelah memberi sambutan dalam suatu acara yang misalnya dibuat oleh mahasiswa atau suatu perkumpulan, tidak menunggu lama ia langsung meminta izin keluar dari acara dengan dalih ada kegiatan lain yang juga harus diikutinya. Besar kemungkinan di tempat yang akan ia datangi lagi juga akan berlaku hal serupa, selesai memberi sambutan lalu pamit.
Praktis, hanya “khutbah” dia yang bisa kita dengar, sementara suara atau gagasan-gagasan rakyat dan intelektual yang dijabarkan dalam suatu forum misalnya, tidaklah sempat didengar oleh sang pemimpin. Kita sudah sering melihat kejadian ini yang mengindikasikan bahwa para pemimpin hanya siap berbicara, tidak siap mendengar. Tentu saja, ini cara buruk dalam memimpin.
Dan lebih ironis lagi, jika pemimpin ini hanya mendengar bisikan dari kalangan pembisik dekatnya saja. Beruntung jika pembisik membisikkan gagasan-gagasan baik untuk pembangunan. Dengan realitas seperti ini, lalu kapan sang pemimpin akan bisa menyerap aspirasi masyarakat? Kapan narasi pembangunan mereka akan berkembang? Dan bagaimana mereka akan membangun negeri jika tidak paham persis bagaimana problem konkrit di lapangan? Bukankah pembangunan itu berlangsung di lapangan dan bahwa dari lapanganlah proses awal menjaring ide dimulai?
Jika demikian, tidak diragukan lagi, bahwa pemimpin yang hanya bila berbicara, tidak atau jarang mendengar, maka dipastikan ia akan gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Ia tidak akan memiliki narasi kepemimpinan, konon lagi narasi peradaban. Padahal, pemimpin yang baik, tentu saja bukan hanya pembicara yang baik, namun juga seorang pendengar yang baik.
Seorang pemimpin yang mau mendengar, pasti akan sangat dihormati dan dikagumi oleh bawahannya, atau masyarakat yang dipimpinnya oleh sebab kerendahan hati yang dimiliki dengan kesediaannya untuk menjadi pendengar yang baik.
Apalagi, kita diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut sebagai pertanda bahwa bahwa kita perlu mendengar dua kali lebih banyak sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didesain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Bahkan, semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: Kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain.
Perhatikan pemimpin-pemimpin populis di negara kita semacam Ridwan Kamil, walikota Bandung. Ridwan Kamil terbiasa berkomunikasi dengan masyarakat, misalnya dengan cara ia memanfaatkan media sosialnya. Juga terbiasa berkomunikasi langsung dengan komunitas-komunitas masyarakatnya. Komunikasi-komunikasi ini, tidak diragukan lagi akan memperkaya narasi kepemimpinan sang pemimpin.
Hasilnya, Ridwan Kamil meraih berbagai penghargaan atas keberhasilan pembangunannya di kota Bandung. Ketika Ridwan Kamil datang ke Banda Aceh bulan lalu, ia menyempatkan diri berdiskusi dan mendengar ide-ide dan gagasan dari komunitas IT di Banda Aceh. Ini tentu saja karena ia sudah terbiasa mendengar.
Pemimpin, seharusnya sesering mungkin menyempatkan diri untuk duduk beberapa jam untuk mendengar aspirasi masyarakat, atau dengan komunitas-komunitas masyarakatnya meskipun di luar kelompoknya. Dalam suatu seminar ilmiah misalnya pemimpin seharusnya meluangkan waktu beberapa jam untuk mendengar narasi dan gagasan pembangunan dari para intelektual, akademisi dan pemikir. Atau, alternatif yang lain, mereka harus membaca gagasan-gagasan para intelektual di media massa, dan lalu mengarahkan timnya untuk mengolah menjadi kebijakan pembangunan, setelah tentunya melewati seleksi akademis.
Sungguh, setiap hari begitu banyak ide-ide dan gagasan pembangunan bertebaran di media massa, di warung kopi, di media sosial, di mimbar-mimbar, di seminar-seminar, di lembaga-lembaga pendidikan, di pikiran para pakar dan intelektual, atau juga di jurnal-jurnal, di qanun-qanun, di buku-buku. Sesungguhnya, terdapat begitu banyak gagasan cemerlang di sana. Hanya butuh waktu bagi sang pemimpin untuk mendengar, membaca dan menyapa, lalu merenung dan kemudian membangun.
Humas pemerintah; Telinga Pemimpin
Jika dikatakan bahwa pemimpin memiliki kesibukan sebagai alasan untuk tidak mendengar dan membaca, maka alasan ini adalah kecelakaan besar dalam penyelenggaraan negara. Pemimpin atau pemerintah memang sibuk, tapi untuk apakah sibuk jika bukan kesibukan untuk menyerap aspirasi dari lapangan, dan lalu kemudian membangun atas dasar gagasan-gagasan dan problem yang ditemukan di lapangan?
Dalam konteks ini, peran Humas seharusnya bisa membantu menjadi telinga dan mata bagi pemimpin, bukan hanya berperan sebagai mulut pemimpin. Humas pemerintah seharunya menyerap aspirasi dan gagasan-gagasan brillian dari masyarakat, aktivis dan atau kaum intelektual, menghimpunnya dan menelaahnya, untuk kemudian disampaikan kepeda pemimpin, bahwa gagasan-gagasan dan aspirasi dari masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah. Tidak mesti menunggu didesak media massa dulu baru mulai “panas” dan sibuk. Media massa tentu saja memiliki keterbatasan untuk mengangkat setiap problem dalam pembangunan masyarakat.
Sekali lagi, Humas pemerintah seharusnya berfungsi dari dua arah, bukan hanya sebagai penyampai pesan-pesan pemimpin, namun juga penyerap gagasan-gagasan dan masukan di lapangan.
Teks pidato pemimpin
Selain kemampuan mendengar pemimpin yang sering bermasalah, kita juga memiliki persoalan kepemimpinan yang tidak memiliki narasi kepemimpinan dan pembangunan. Kita katakan tidak memiliki narasai jika sang pemimpin hanya bisa mengandalkan orang lain untuk berfikir dan merumuskan konsep dan gagasan pembangunan. Semua ide dari orang lain karena mereka tidak punya ide. Bukan masalah bahwa konsep pidato para pemimpin kita ditulis oleh timnya.
Para pemimpin dimana pun juga seperti itu, namun yang salah adalah jika bergantung sekali dengan konsep pidato ini, sesuatu yang menandakan pemimpin kita krisis narasi kepemimpinan. Bagaimana tidak, lihat saja saat pemimpin kita berpidato, apakah bisa berpidato tanpa teks/konsep?
Padahal, seharusnya pemimpin itu adalah seorang ideolog pembangunan, ia memahami tiap persoalan yang akan disampaikannya kepada masyarakat. Ia sedikit tidaknya memahami tiap persoalan dalam setiap dimensi kehidupan, sesuatu yang bisa diperoleh sekiranya ia rajin mendengar, membaca dan melihat dengan mata dan hati. Wallahu a’lam bishshawab.
Teuku Zulkhairi, Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekretaris Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin.
dimuat di harian serambi indonesia:
http://aceh.tribunnews.com/2016/02/03/pemimpin-perlu-mendengar