Tekad Aceh Menyatukan Mesjid se-Dunia
(Catatan dari Kuala Lumpur) Teuku Zulkhairi Beberapa waktu lalu, Forum Silaturrahmi Mesjid se-Rantau (Forsimas) cabang Mala...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/03/tekad-aceh-menyatukan-mesjid-se-dunia.html
(Catatan dari Kuala Lumpur)
Teuku Zulkhairi
Beberapa waktu lalu, Forum Silaturrahmi Mesjid se-Rantau (Forsimas) cabang Malaysia bekerja sama dengan beberapa lembaga lokal dan didukung Perdana Menteri Malaysia menyelenggarakan Festival Mesjid se-Asean (Asean Mosque Festival) yang dilangsungkan di Putra Jaya Covention Center, Kuala Lumpur selama tiga hari, 6 s/d 8 Desember 2015. Tokoh Islam dan pengurus mesjid dari berbagai negara meramaikan acara ini. Baik dari Kamboja, Maladewa, Fillipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Australia dan negara-negara lainnya.
Saat itu saya dihubungi Bapak Drs. M.Hasan Basry, MA, Sekjend Forsimas yang merupakan mantan dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini bersama puluhan peserta lainnya dari Aceh, termasuk Dr A. Rani Usman (Dekan Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry), Dr Abizal Muhammad Yati, para pengurus sekretariat Forsimas seperti Teuku Farhan dan puluhan pengurus mesjid di Banda Aceh.
Setelah mengikuti acara ini, saya menyimpulkan bahwa jika negara-negara dunia dunia memiliki Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan Ban Ki Moon sebagai Sekretaris Jenderal-nya, maka ternyata mesjid-mesjid se-rantau ini menjadikan tokoh Aceh sebagai Sekjend-nya. Ialah Bapak M. Hasan Basry, sang sekjend yang telah meirntis kelahiran Forsimas dimana hari ini kian mendapatkan sambutan dari berbagai negara di kawasan. Pak M. Hasan Basry juga seorang yang begitu dihormati dalam kegiatan ini, oleh peserta dari berbagai negara, baik pejabatnya maupun para pengurus mesjid. Hal ini tentu membahagiakan para peserta lainnya dari Aceh, bahwa kita memiliki tokoh besar yang bisa memberi ide-ide, pengaruh dan gagasan untuk skala Asean yang luas. Lalu, perihal apa sehingga tokoh Aceh yang tinggal di Darussalam ini begitu dihormati?
dr. Muhammad Nawar Arifin, seorang aktivis Islam dan pemuda cermerlang Malaysia yang bertanggung jawab untuk kegiatan ini mengatakan saat mengawali sesi awal pembukaan, kita berkumpul di sini dalam rangka silaturrahmi dimana dengan ini insya Allah kita akan dapatkan ide-ide besar untuk kebaikan dan perubahan. "Dan visi Forsimas ini, sesungguhnya telah sejak lama dirancang oleh Pak M. Hasan Basry”, kata dr. Muhammad Nawar sembari mengucapkan berterimakasihnya kepada Pak Hasan Basry dan disaksikan sejumlah Menteri Malaysia.
Tidak sampai di situ, besoknya, Prof Jimly Assiddiqy dihadapan ribuan undangan juga memberikan apresiasi serupa kepada Bapak Hasan Basry yang ia sebut sebagai “Shahibul Hajat” atau pemilik hajat even besar ini. Prof Jimly mengakui telah kenal dekat dengan Bapak Hasan Basry sejak ia masih muda 30 tahun lalu dimana sejak itu pula Prof Jimly mengenal Pak Hasan Basry sebagai sosok yang gigih berjuang untuk menggerakkan dan mempersatukan mesjid-mesjid se-rentau.
Itu sebab, Pak Hasan Basry yang kini usianya kini sudah uzur (85 tahun) mendapat tempat terhormat dan diperlakukan secara sangat baik dalam acara ini, namanya pun diulang berkali-kali dan iapun didapuk untuk duduk sederet dengan perdana Menteri Malaysia. Bagaimana tidak, berkat jasanya ini, kini para pengurus mesjid antar negara, dari kawasan Melayu hingga ke Afrika Selatan, telah terkoneksi dalam sebuah gerakan besar untuk merevitalisasi mesjid sebagai sentral kebangkitan peradaban Islam. Jadi, kita bersyukur bahwa gagasan tokoh Aceh untuk persatuan mesjid se-rantau, Alhamdulillah kini dikembangkan dan berkembang di luar.
Begitulah respon dan pengakuan orang luar terhadap Pak M.Hasan Basry, saat dimana pemerintah Aceh sendiri nampaknya tidak begitu peduli terhadap kerja-kerja besar skala peradaban seperti ini. Pak Hasan Basry, meski sudah uzur - namun begitu lancar dan fasih berbicara serta masih begitu bersemangat untuk visinya ini. Saat memberi sambutan penutupan, Pak Hasan Basry berbicara ringkas dan padat.
“Saya bahagia Alhamdulillah kini Forsimas telah menjadi aset bagi Asean. Dan dengan mesjid ini, kita harus memakmurkannnya sehingga memudahkannya jalan kita menuju syurga,“ ujar Pak Hasan yang disambut tepuk tangan bergermuruh dari ribuan peserta.
Mesjid sebagai sentral peradaban Islam
Kendati pun demikian, orasi ilmiah Prof Jimly Assiddiqy dalam festival ini nampaknya perlu mendapat respon dari pemerintah Aceh, para pengurus mesjid dan kita semua lapisan masyarakat Aceh. Beban besar kita, karena kita telah memiliki tokoh yang mampu memberi inspirasi bagi dunia luar, sehingga gagasan ini sudah seharusnya lebih dahulu mendapat sambutan dan kita terjemahkan di Aceh sehingga kelak kita akan melihat kembalinya posisi Aceh sebagai pemain penting dalam kawasan Melayu, suatu harapan yang nampaknya tidak terlalu sulit mengingat landasan historis yang kita miliki.
Prof Jimly dalam orasinya merinci, terdapat empat elemen yang saling berhubungan dengan mesjid yang mesti mendapat konsolidasi secara maksimal dalam mengembalikan fungsi mesjid sebagai basis atau sentral peradaban Islam. Mesjid sebagai pusat peradaban Islam ditandai dengan proses pengelolaannya yang sesuai dengan tuntuan zaman dan kebutuhan ummat.
Pertama, mesjid dan istana. Menurut Prof Jimly, mesjid seharusnya mampu menguasai istana, bukan sebaliknya mesjid dikuasai untuk kepentingan penguasa. Maksudnya mampu mempengaruhi kebijakan penguasa agar kebijaknnya terintegrasi di dalamnya nilai-nilai Islam. Hal ini sangat wajar mengingat sebuah istana kekuasaan sangat identik dengan hawa nafsu. Maka di sinilah letak pentingnya fungsi mesjid untuk member ruh ke dalam istana. Oleh sebab itu, menurut Prof Jimly, pengelolaan mesjid harus memiliki derajat independensi agar bisa memberikan sinar dan cahaya bagi kekuasaan. Inilah pola hubungan mesjid-istana yang diharapkan.
Kedua, mesjid dan pasar. Sebuah hadis Nabi menjelaskan, bahwa sebaik-baik tempat di muka bumi adalah mesjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar. Itu karena pasar identik dengan kerusakan, setidaknya begitulah rekaman sejarah dalam perkembangan umat manusia sehingga lama kelamaan terjadi semacam upaya penjauhan mesjid dengan pasar. Oleh sebab itu, dalam konteks peradaban Islam, sesungguhnya pasar mestilah disinari oleh cahaya mesjid. Saat dunia dipegang oleh tatanan sistem ekonomi Neoliberal yang menghancurkan dan menindas, maka mesjid diharapkan kembali memberikan pengaruhnya bagi dinamika pasar dan untuk melawan dominasi ekonomi neolib tersebut.
Ketiga, mesjid dan kampus. Prof Jimyl menjelaskan, pemikiran ilmiah dana akademis di kampus sudah seharusnya lebih dekat dengan ajaran Islam dan tidak leluar dare frame dasar-dasar Islam. Dinamika di Indonesia dalam hal ini dewasa ini dirasa cukup mencerahkan dengan terjadinya proses integrasi mesjid dan kampus. Bahkan sejak awal, dinamika ini telah melahirkan gerakan intelektual Islam besar semacam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Keempat, mesjid dan pemukiman keluarga. Hubungan mesjid dan pemukiman masyarakat niscaya harus mendapatkan perhatian maksimal dari semua kalangan, bagaimana agar ruh mesjid tersinari dalam pemukiman warga. Mesjid harus menjadi sentral peradaban Islam yang diawali dari pembinaan mesjid terhadap warga secara menyeluruh, suatu harapan yang nampaknya tidak muluk-muluk sekali sekiranya fungsi mesjid bisa direvitalisasi ulang, sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw di masa hidupnya dengan menjadikan mesjid sebagai basis pergerakan membangun peradaban Islam. Hubungan mesjid-pemukiman warga tidak diragukan lagi harus semakin efektif mengingat karena dari keluarga lah Islam bisa membentuk akhlak bangsa.
Lebih dari itu, revitalisais fungsi mesjid di kawasan dunia Melayu nampakanya cukup penting di jalankan, utamanya saat konflik sekterian terus terjadi di Timur Tengah yang menandakan bahwa kawasan dunia Melayu berkesempatan mengambil momentum untuk untuk jadikan Melayu Islam sebagai model Islam untuk dunia. Berbagai negara dan kawasan telah pernah berperan dalam tulang punggung peradaban Islam, hanya Melayu yang belum. Kinilah saatnya. Dan semoga, kebangkitan peradaban Islam yang ditopang oleh Melayu Islam akan berpusat di Aceh. Tugas besar bagi kita semua. Insya Allah akan kita wujudkan. Amiin.