Tantangan Memajukan Dayah
Oleh Teuku Zulkhairi TULISAN ini pada dasarnya terinspirasi oleh testimoni seorang pimpinan dayah kepada penulis. Ia menyebut bahwa dew...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/11/tantangan-memajukan-dayah.html
Oleh Teuku Zulkhairi
TULISAN ini pada dasarnya terinspirasi oleh testimoni seorang pimpinan dayah kepada penulis. Ia menyebut bahwa dewasa ini, sangat besar tantangan bagi dayah untuk mempertahankan orisinilitas sistem pendidikannya.
Dengan sedikit kecewa, pimpinan dayah ini memberikan contoh bagaimana perubahan luar biasa yang telah terjadi pada Dayah Mudi Mesra Samalanga Aceh karena Dayah ini dianggap telah keluar dari khittah-nya disebabkan telah membangun sekolah umum dalam komplek Dayah tersebut. Sekolah umum yang dimaksud adalah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziah yang saat ini telah berdiri megah di depan Dayah tersebut. Pada awalnya saya mengiyakan testimoninya itu, karena pada dasarnya tentu saja saya juga resisten jika perubahan yang terjadi pada dunia dayah adalah perubahan ke arah yang tidak baik.
Namun pada akhirnya, dari testimoni tersebut membuat saya sadar, bahwa tantangan dayah di satu sisi bukan hanya bagaimana mengokohkan orisinilitas dayah di hadapan hegemoni sistem pendidikan umum yang tidak mengakomodir nilai-nilai agama, tetapi juga bagaimana menyadarkan sekelompok komunitas dayah itu bahwa perubahan dayah ke arah yang lebih baik itu perlu, dan bahkan wajib di tengah tantangan dinamisasi dunia. Bayangkan saja, bagaimana perasaan kita jika hadirnya Sekolah Tinggi di Dayah Mudi Mesra Samalanga dianggap sebagai kemunduran dunia Dayah di Aceh.
Menyedihkan sekali bukan? Padahal, sejauh ini, Sekolah Tinggi tersebut sejauh ini juga baru membuka tiga Prodi saja, yaitu Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah, Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Pendidikan Agama Islam. Ini jurusan-jurusan yang sesungguhnya maha penting bagi Dayah di era kontemporer. Kenapa penting? Karena studi “Ahwal Al-Syakhsyiyyah” berkaitan dengan ilmu syariah yang banyak sekali dijabarkan dalam Alquran dan Hadis serta oleh para ulama. Begitu juga dengan studi Komunikasi dan Penyiaran Islam yang merupakan studi dakwah yang juga bagian dari ketentuan Islam yang mesti dipelajari oleh umatnya.
Memang pada sekolah ini dijanjikan ‘gelar’ bagi para mahasiswa atau santri yang telah menyelesaikan studinya, berbeda dengan dayah secara umum yang tidak menjanjikan gelar, tapi apakah salah memperoleh gelar yang padahal dengannya kita lebih mudah menyesuaikan diri dengan irama dunia yang dinamis? Bukankah orang-orang yang memahami agamanya dengan baik juga perlu terjun ke lapangan untuk menata dunia dalam semua dimensinya menuju ke arah yang lebih baik? Lagi pula, perubahan pada Dayah Mudi Mesra Samalanga ini juga bersifat inovatif, bukan destruktif.
Prinsip-prinsip ini ternyata dipegang teguh oleh Dayah Zawiyah Cot Kala sebagai lembaga pendidikan resmi dan tertua di Nusantara yang berdiri di era Kerajaan Islam Perlak. Dayah Cot Kala ini menurut Syahbuddin Razi (1988), setelah diteliti jurusan-jurusan yang ada dan ilmu-ilmu yang diajarkan di Baitul Hikmah Baghdad yang se-zaman dengan Cot Kala, dan direlevansikan dengan Dayah Jami’ah Baiturrahman Banda Aceh dan merekontruksikannya dengan masalah ilmiah yang dibutuhkan umat Islam di Perlak khususnya saat itu, juga diperlukan oleh masyarakat di kepulauan Nusantara saat itu, dan umumnya dari cerita mutawatir dari ulama setempat puluhan tahun yang silam, maka bentuk-bentuk ilmu dan cabang-cabang ilmu atau jurusan ilmiah yang diajarkan dan diadakan di Zawiyah Cot Kala adalah sebagai berikut. Misalnya ilmu-ilmu Naqliyah(Agama), seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Nahwu/Sharaf, Bahasa Arab/kesusteraannya dan sebagainya. Selain itu diajarkan pula ilmu logika seperti Mantiq, Ketuhanan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Ilmu Ukur, Ilmu Falak, Ilmu Hewan, Ilmu Pertanian, Ilmu Kedokteran, Ilmu Strategi Perang dan lain-lain.
Dengan berbagai disiplin keilmuan tersebut, menurut Prof Ali Hasjmy (1977), Zawiyah Cot Kala pada saat itu telah mencetak ulama-ulama dalam semua bidang, di samping untuk pembangunan kerajaan Islam Perlak, juga untuk mendakwahkan dan menyiarkan agama Islam ke segenap penjuru Nusantara serta mengambil tempat yang terdepan dalam pembangunan bangsa.
Ternyata, jika memperhatikan sejarah dayah di masa lalu, sesungguhnya dayah di Aceh dan Nusantara saat kini ternyata bukanlah wajah asli dari model dayah masa lampau. Dayah di Aceh dan Nusantara pada misi kini cenderung hanya menghasilkan ahli fikih saja, ilmu fikih itupun jika kita telaah lebih lanjut, sebagian dari materi pembelajarannya juga tidak relevan dengan kebutuhan dunia masa kini. Sebagai contoh, fikih-fikih di dayah belum mampu memberikan pemahaman kepada para santri tentang bagaimana wujud ekonomi Islam, bagaimana konsep perbankan Islam, konsep baitul Qiradh dan sebagainya.
Selain itu, meski kenyataan ini terasa pahit diungkapkan, namun mestilah ditulis apa adanya demi pencerahan dan pembangunan Dayah ke depan.
TULISAN ini pada dasarnya terinspirasi oleh testimoni seorang pimpinan dayah kepada penulis. Ia menyebut bahwa dewasa ini, sangat besar tantangan bagi dayah untuk mempertahankan orisinilitas sistem pendidikannya.
Dengan sedikit kecewa, pimpinan dayah ini memberikan contoh bagaimana perubahan luar biasa yang telah terjadi pada Dayah Mudi Mesra Samalanga Aceh karena Dayah ini dianggap telah keluar dari khittah-nya disebabkan telah membangun sekolah umum dalam komplek Dayah tersebut. Sekolah umum yang dimaksud adalah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziah yang saat ini telah berdiri megah di depan Dayah tersebut. Pada awalnya saya mengiyakan testimoninya itu, karena pada dasarnya tentu saja saya juga resisten jika perubahan yang terjadi pada dunia dayah adalah perubahan ke arah yang tidak baik.
Namun pada akhirnya, dari testimoni tersebut membuat saya sadar, bahwa tantangan dayah di satu sisi bukan hanya bagaimana mengokohkan orisinilitas dayah di hadapan hegemoni sistem pendidikan umum yang tidak mengakomodir nilai-nilai agama, tetapi juga bagaimana menyadarkan sekelompok komunitas dayah itu bahwa perubahan dayah ke arah yang lebih baik itu perlu, dan bahkan wajib di tengah tantangan dinamisasi dunia. Bayangkan saja, bagaimana perasaan kita jika hadirnya Sekolah Tinggi di Dayah Mudi Mesra Samalanga dianggap sebagai kemunduran dunia Dayah di Aceh.
Menyedihkan sekali bukan? Padahal, sejauh ini, Sekolah Tinggi tersebut sejauh ini juga baru membuka tiga Prodi saja, yaitu Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah, Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Pendidikan Agama Islam. Ini jurusan-jurusan yang sesungguhnya maha penting bagi Dayah di era kontemporer. Kenapa penting? Karena studi “Ahwal Al-Syakhsyiyyah” berkaitan dengan ilmu syariah yang banyak sekali dijabarkan dalam Alquran dan Hadis serta oleh para ulama. Begitu juga dengan studi Komunikasi dan Penyiaran Islam yang merupakan studi dakwah yang juga bagian dari ketentuan Islam yang mesti dipelajari oleh umatnya.
Memang pada sekolah ini dijanjikan ‘gelar’ bagi para mahasiswa atau santri yang telah menyelesaikan studinya, berbeda dengan dayah secara umum yang tidak menjanjikan gelar, tapi apakah salah memperoleh gelar yang padahal dengannya kita lebih mudah menyesuaikan diri dengan irama dunia yang dinamis? Bukankah orang-orang yang memahami agamanya dengan baik juga perlu terjun ke lapangan untuk menata dunia dalam semua dimensinya menuju ke arah yang lebih baik? Lagi pula, perubahan pada Dayah Mudi Mesra Samalanga ini juga bersifat inovatif, bukan destruktif.
Prinsip-prinsip ini ternyata dipegang teguh oleh Dayah Zawiyah Cot Kala sebagai lembaga pendidikan resmi dan tertua di Nusantara yang berdiri di era Kerajaan Islam Perlak. Dayah Cot Kala ini menurut Syahbuddin Razi (1988), setelah diteliti jurusan-jurusan yang ada dan ilmu-ilmu yang diajarkan di Baitul Hikmah Baghdad yang se-zaman dengan Cot Kala, dan direlevansikan dengan Dayah Jami’ah Baiturrahman Banda Aceh dan merekontruksikannya dengan masalah ilmiah yang dibutuhkan umat Islam di Perlak khususnya saat itu, juga diperlukan oleh masyarakat di kepulauan Nusantara saat itu, dan umumnya dari cerita mutawatir dari ulama setempat puluhan tahun yang silam, maka bentuk-bentuk ilmu dan cabang-cabang ilmu atau jurusan ilmiah yang diajarkan dan diadakan di Zawiyah Cot Kala adalah sebagai berikut. Misalnya ilmu-ilmu Naqliyah(Agama), seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Nahwu/Sharaf, Bahasa Arab/kesusteraannya dan sebagainya. Selain itu diajarkan pula ilmu logika seperti Mantiq, Ketuhanan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Ilmu Ukur, Ilmu Falak, Ilmu Hewan, Ilmu Pertanian, Ilmu Kedokteran, Ilmu Strategi Perang dan lain-lain.
Dengan berbagai disiplin keilmuan tersebut, menurut Prof Ali Hasjmy (1977), Zawiyah Cot Kala pada saat itu telah mencetak ulama-ulama dalam semua bidang, di samping untuk pembangunan kerajaan Islam Perlak, juga untuk mendakwahkan dan menyiarkan agama Islam ke segenap penjuru Nusantara serta mengambil tempat yang terdepan dalam pembangunan bangsa.
Ternyata, jika memperhatikan sejarah dayah di masa lalu, sesungguhnya dayah di Aceh dan Nusantara saat kini ternyata bukanlah wajah asli dari model dayah masa lampau. Dayah di Aceh dan Nusantara pada misi kini cenderung hanya menghasilkan ahli fikih saja, ilmu fikih itupun jika kita telaah lebih lanjut, sebagian dari materi pembelajarannya juga tidak relevan dengan kebutuhan dunia masa kini. Sebagai contoh, fikih-fikih di dayah belum mampu memberikan pemahaman kepada para santri tentang bagaimana wujud ekonomi Islam, bagaimana konsep perbankan Islam, konsep baitul Qiradh dan sebagainya.
Selain itu, meski kenyataan ini terasa pahit diungkapkan, namun mestilah ditulis apa adanya demi pencerahan dan pembangunan Dayah ke depan.
Ternyata, semua ini terkait dengan cara
pandang para pimpinan Dayah. Fanatisme ternyata terasa begitu kental
berlaku di dayah, baik para pimpinan dayah maupun para santrinya. Ini
menjadi sebab terbesar dalam upaya pembangunan dayah. Efek dari sikap
fanatisme ini kemudian mereka sangat sulit menerima masukan dari luar.
Jika pun diterima, implementasi di lapangan masih sangat kurang dan
tidak sepenuh hati.
Fanatisme ini ternyata buah dari kesadaran kuno yang
keliru, karena merasa bahwa dayah masih maju dan tetap maju meski tanpa
menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan. Kesadaran kuno ini
biasanya dengan mengulang-ulang sejarah kejayaan umat Islam di masa
silam. Mereka tidak melihat masa kini ketika santri-santri dayah sulit
sekali menyesuaikan dirinya dengan perubahan zaman. Jika pun ada, itu
masih satu dua. Itu pun santri-santri yang telah tersentuh oleh irama
pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan lain.
Akhirnya, dayah harus menyahut keinginan lembaga pendidikan umum saat ini yang ingin men-dayah-kan sekolah atau kampus. Jika ini berhasil mereka laksanakan, maka mereka akan maju dua langkah. Sedang dayah, jika bisa melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaranya, maka dayah juga akan maju dua langkah. Mau tidak mau, dayah di nusantara harus mengikuti gerak dunia yang dinamis dengan mendinamisasi kurikulum pendidikannya, dayah tidak lagi hanya berbicara tentang fikih, tasawuf, tapi juga sudah semestinya secara kolektif untuk tampil ke panggung perubahan dunia dalam semua dimensinya sebagaimana yang telah ditampilkan oleh Dayah Zawiyah Cot Kala.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Akhirnya, dayah harus menyahut keinginan lembaga pendidikan umum saat ini yang ingin men-dayah-kan sekolah atau kampus. Jika ini berhasil mereka laksanakan, maka mereka akan maju dua langkah. Sedang dayah, jika bisa melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaranya, maka dayah juga akan maju dua langkah. Mau tidak mau, dayah di nusantara harus mengikuti gerak dunia yang dinamis dengan mendinamisasi kurikulum pendidikannya, dayah tidak lagi hanya berbicara tentang fikih, tasawuf, tapi juga sudah semestinya secara kolektif untuk tampil ke panggung perubahan dunia dalam semua dimensinya sebagaimana yang telah ditampilkan oleh Dayah Zawiyah Cot Kala.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Dimuat di Harian Serambi Indonesia Tahun 2011, Link: http://aceh.tribunnews.com/2011/09/10/tantangan-memajukan-dayah