Islam Nusantara vs ‘Islam Aceh’

Oleh Teuku Zulkhairi Gagasan Islam Nusantara (IN) yang dimunculkan akhir-akhir ini di Pulau Jawa terkesan menarik secara penampil...


Oleh Teuku Zulkhairi

Gagasan Islam Nusantara (IN) yang dimunculkan akhir-akhir ini di Pulau Jawa terkesan menarik secara penampilan. Khususnya, karena kemasan IN dikesanakan hendak membuat Islam menjadi ramah dan tidak marah. Pada awalnya, kemasan ini berpotensi menarik perhatian siapapun karena memang fitrah Islam itu sendiri adalah agama yang ramah. Pada saat yang sama, kondisi dunia Arab tempat Islam muncul sedang dilanda perang panjang di satu sisi, dan gerakan radikalisme hasil rekayasa Barat semacam ISIS di sisi lainnya. Kristalisasi dari gagasan ini, IN hendak dikesankan sebagai alternatif baru dalam beragama menggantikan model Arab yang dikesankan sebagai Islam yang “marah”.  

Itu sebab, kampanye gagasan IN diiringi juga dengan kampanye perlawanan dan kebencian terhadap sesuatu yang berbau Arab, tentu saja - tanpa mau tahu akar historis perang di dunia Arab yang berawal dari penjajahan-penjajahan Negara Barat.

Lalu dimana letak problem besar gagasan IN yang perlu kita kritisi? Pertama, gagasan IN berpotensi besar membuat blok besar di tengah-tengah umat Islam, antara blok umat Islam yang berpegang teguh pada referensi keilmuan Islam karya para ulama dunia Arab dengan kalangan umat Islam yang hendak digiring untuk keluar dari sesuatu yang berbau Arab. Pada titik ini, gagasan IN terasa sekali sangat ahistoris (tidak memiliki latar belakang sejarah) karena sejak pertama sekali masuk ke Nusantara via Aceh, ajaran Islam yang dikembangkan para ulama dari dunia Arab, India dan sebagainya sama sekali tidak mengenal embel apapun di belakang Islam.  

Kedua, gagasan IN berpotensi mereduksi ajaran Islam karena memaksa Islam menyesuaikan diri dengan tradisi nusantara (baca: Jawa) meskipun tidak sesuai, seperti kasus pembacaan ayat suci Alquran dengan langgam Jawa yang dipaksa perkenalkan sebagai ‘Langgam Nusantara’ beberapa waktu lalu. Kasus ini sendiri, merupakan contoh paling aktual dan nyata yang menandakan ada semangat kembali ke tradisi Jawa Kuno dalam gagasan Islam Nusantara ini.

Sementara itu, jika kita membaca peta para pengusung gagasan IN ini, maka kita akan menemukan bahwa  kelompok yang paling massif mengkampanyekan gagasan ini adalah komunitas Islam Liberal lewat berbagai medianya yang disana dengan mudah kita temukan upaya-upaya dekonstruksi ajaran Islam seperti upaya “menghalalkan” LGBT hingga upaya-upaya melawan ajaran yang prinsipil seperti status agama Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima disisi Allah Swt sampai provokasi kebencian kepada Arab (karena Islam berasal dari Arab?). Gagasan ini kemudian diperkuat oleh kader mereka atau oleh mereka yang memiliki kesamaan cara pandang.

Akar sejarah keislaman Jawa
Kalau kita mengkaji sejarah keislaman Jawa, seperti buku “Mengislamkan Jawa” yang ditulis M.C Ricklefs (2012), kita akan menemukan sejarah perlawanan kaum priyayi dan abangan terhadap Islam, meskipun pada saat yang sama, Islamisasi terus berlangsung di bawah dakwah atau gerakan kaum Santri.

M.C. Ricklefs yang telah meneliti keislaman Jawa dalam panjang jangka menulis: “ Di antara kaum priyayi ini, bahkan tumbuh sentiment anti Islam-bahwa peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu-Islam. Islam di pandang sebagai sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut”, (hal: 53). Selanjutnya, Ricklefs menulis, “Pada 1870-an, para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra Babad Kedhiri, Suluk Gotoholoco dan Serat Dermagandhul yang merendahkan dan mengolok-olok Islam”, (hal: 54).

Sampai disini, mau tidak mau saya harus sampai pada kesimpulan, bahwa antara kelompok Islam Liberal dan kaum priyayi dan abangan sejatinya masih memiliki pertalian sejarah secara kesamaan ide-ide dan pemikiran. Buktinya, elit-elit priyayi di masa lalu begitu membangga-banggakan kolonialis Belanda sebagai upaya untuk mengembangkan karir atau mendapatkan akses kedudukan dan kekuasaan dari penjajah tersebut, bahkan pada tahap tertentu seperti disinggung Ricklefs, “sebagian besar lebih memilih modernitas gaya Eropa daripada reformasi Islam”, (hal: 52). Sementara  komunitas Islam Liberal sendiri, lumrah dikenal umat Islam di Indonesia senantiasa mengadopsi secara mentah-mentah semua produk pemikiran dari para orientalis yang tidak lain merupakan kelanjutan dari kolonilisasi. Bahkan juga, komunitas ini cenderung merapat ke sistem Barat  setidaknya pada upaya mereka untuk menarik perhatian Barat agar mempoisisikan mereka sebagai kelas umat Islam yang modernis di tengah-tengah umat Islam Indonesia khususnya dan dunia Islam yang menurut mereka fundamentalis. Ketika misalnya Barat melegalkan LGBT, mereka tampil meyakinkan umat Islam Indonesia bahwa hal itu adalah benar.

Oleh sebab itu, ketika kalangan Islam Liberal yang berbicara tentang gagasan IN, mereka sedang hendak meneguk dua keuntungan sekaligus. Pertama, mereka sebelumnya tentu gembira menyaksikan kedigdayaan Barat meluluhlantakkan negara-negara Islam. Kedua, mereka memanfaatkan kekacauan di dunia Arab untuk mengkampanyekan gagasan-gagasan liberalisasi Islam atas nama Islam Nusantara.

‘Islam Aceh’
Ketika Islam masuk ke Aceh sebelum kemudian menyebar ke kawasan Asia Tenggara, masyarakat Aceh dengan ikhlas menerima Islam sebagai sistem yang telah sempurna, seperti dijelaskan dalam Alquran (lihat surat al-Maidah: 3). Buktinya, kita tidak mengenal kelas-kelas umat Islam di Aceh sebagaimana kelas priyayi, abangan dan kaum santri di Pulau Jawa seperti diperkenalkan Clifford Greetz (1960), sesuatu yang membuktikan bahwa di luar kaum santri terdapat dua kelompok besar yang tidak ikhlas menerima Islam.

Bagi masyarakat Muslim Aceh sendiri, meskipun tidak bisa dipungkiri juga terdapat semacam kelas priyayi dan abangan dalam berislam, namun tidak ada catatan sejarah sebagaimana catatan perlawanan terhadap Islam yang ditunjukkan oleh kaum priyayi dan abangan di Pulau Jawa. Inilah yang saya maksud sebagai “Islam Aceh”, sebagai suatu sikap ikhlas menerima Islam. Lebih dari itu, kita tidak pernah mendengar ada upaya mengAcehkan Islam.

Adapun terjadinya proses asimilasi Islam dalam budaya Aceh, atau sebaliknya, hal itu semata-mata sesuai dengan paradigma yang diakui Islam sendiri sebagai suatu kekayaan ajaran Islam, seperti kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi: ‘al’Adatu Muhakkamat’, atau ‘Adat itu dihukumkan’. Pemahaman umat Islam di Aceh secara baik terhadap kaidah ini hingga saat ini membuat diskurus ‘adat dan Islam’ dalam pergulatan keislaman masyarakat Aceh selalu dalam prosedur yang dinamis serta tidak pernah menjadi problem besar. Tidak pernah berakhir pada kesimpulan “anti Arab” hanya karena ajaran Islam dalam berbagai hukumnya menentang tradisi masa lalu karena dipahami oleh masyarakat Aceh bahwa yang ditentang Islam adalah yang jika bertentangan dengan Islam, sesuai dengan penjelasan para ulama-ulama mazhab, khususnya mazhab Syafi’i, sementara ‘adat (tradisi-budaya) yang tidak bertentangan dengan Islam tentu tidak akan dipersoalkan. Dan ini pula yang dilakukan oleh para da’i-dai dari Aceh dan Wali Songo saat mereka berjuang mengislamkan Jawa.

Penjelasan model Islam tawasuth (moderat) yang dipedomani masyarakat Aceh ini, sekaligus juga menolak tawaran Affan Ramli tentang “Islam Nusantara Fansurian” (Serambi Indonesia, 31/7) karena terkesan mendudukkan posisi Nuruddin Ar-Raniry dalam posisi yang tidak terhormat. Padahal, perspektif Islam yang dipahami masyarakat Aceh mengambil sisi baik dari berbagai ulama dan metodenya, baik Hamzah Fansuri maupun Nuruddin ar-Raniry. Sebab, metode keduanya memiliki dasar dan referensi yang kuat dari sumber-sumber hukum Islam, baik Alquran, Hadis, Ijma’maupun Qiyas.  Itu sebab, kedua ulama ini memiliki posisi mulia dalam hati umat Islam di Aceh sampai saat ini meskipun mereka tahu adanya penentangan Ar-Raniry terhadap beberapa pemikiran dari Hamzah Fansuri dan kasus kelam yang mengiringinya. Kedua ulama ini bagi masyarakat Aceh adalah bagian dari dinamika sejarah Islam yang yang kaya. 

Penentangan Ar-Raniry terhadap konsep Hamzah Fansuri bukan alasan untuk mendeligitimasi salah satu dari keduanya dari kekayaan khazanah keilmuan Islam yang dimikiki peradaban Aceh masa lalu. Itu sebab, masyarakat Aceh disamping menempatkan posisi Hamzah Fansuri pada posisi terhormat dalam sejarahnya, juga pada saat yang sama menempatkan Nuruddin Ar-Raniry pada posisi yang sama juga. Inilah keindahan Islam yang dipedomani masyarakat Aceh yang saya sebut sebagai ‘Islam Aceh’ dengan tanda petik di atas. Tanda petik ini tentu saja bukan bermaksud untuk menambah embel-embel baru baru di belakang Islam. Melainkan untuk menyadarkan pengusung gagasan Islam Nusantara bahwa mereka harus melihat ke sejarah masa lalu darimana keislaman nusantara dimulai dan bagaimana Islam dipraktekkan. 

Teuku Zulkhairi, MA adalah Direktur Aceh Forum for Studi of Islamic Civilization (AFSIC). Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara dan Pascasarajana IAIN Ar-Raniry. Email abu.erbakan@gmail.com

Link: http://aceh.tribunnews.com/2015/08/07/islam-nusantara-vs-islam-aceh

Related

Paradigma Islam 3595377877913665561

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item