Membangun Jiwa "Pemberontak"
Oleh Teuku Zulkhairi MENDAPATKAN layanan publik yang berkualitas dan jauh dari KKN adalah hak setiap warga negara. Begitu juga, ada...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/09/membangun-jiwa-pemberontak.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
MENDAPATKAN
layanan publik yang berkualitas dan jauh dari KKN adalah hak setiap warga
negara. Begitu juga, adalah hak setiap warga negara untuk hidup dalam kedamaian
dan terlindungi hak azasinya sebagai manusia. Karena alasan itulah kita warga
Negara bersedia mengakui keberadaan Negara.
Atas dasar itu pulalah kita sepakat
melalui konstitusi dasar Negara, bahwa tugas Negara salah satu yang terpenting
adalah “melindungi warga Negara, mensubsidi rakyatnya sendiri, memproteksi
pelayanan kebutuhan dasar sosial dan ekonomi”, (Mansur Faqih: 2003).
Jika
Negara kita tidak mampu menjalankan perannya tersebut, maka untuk apa Negara
ini dengan susah payah dibentuk oleh para pahlawan kita dan kemudian kita
lenggengkan?
Bagaimana
kita menjelaskan fungsi Civil Society dihadapan realitas banyaknya warga Negara
yang terzhalimi hak-haknya? Kasus “salah tembak” oleh Densus terhadap seorang
Muslim yang seringkali terulang, kemiskinan di tengah melimpah Sumber Daya Alam
(SDA), buruknya mutu layanan publik, budaya KKN oleh aparatur negara dan
segudang persoalan lainnya.
Oleh karena itu, sikap waspada, saling
mengingatkan, terus mengontrol peran Negara dalam rangka semakin meningkatnya
kesadaran kritis (critical consciousness ) menjadi sangat diperlukan.
Secara
pribadi, saya punya pengalaman menarik dalam melawan Negara untuk memperoleh
hak-hak saya dan masyarakat sebagai warga negara. Ada beberapa pengalaman yang
begitu saya kenang. Ya, sebuah pengalaman sukses yang lahir dan sukses karena
adanya keinginan untuk memberontak, adanya keinginan untuk tidak menerima
begitu saja apa yang terjadi.
Bagi sebagian orang akan mengindari sikap ini
karena penuh dengan “resiko”, tapi saya percaya bahwa kita perlu bergerak
secara radikal, santun dan kritis. Sikap ini akan memberi makna terhadap konsep
“Civil Society” yang selama ini banyak dibicarakan orang.
Pengalaman
pertama,
Pada tahun 2010, saya dan beberapa teman lainnya mengikuti testing beasiswa S2
di Komisi Beasiswa Aceh (KBA) yang anggarannya berasal dari APBA, ya itu uang
rakyat, dan saya adalah seorang rakyat.
Nilai TOAFL saya saat itu lumayan cukup
sebagai syarat untuk mendaftar seleksi beasiswa kuliah ke Timur Tengah. Begitu
juga beberapa teman saya lainnya. Kami telah menjalani seleksi dengan lancar.
Pada testing TOAFL terakhir, saat nilai kami diumumkan, saya masih memperoleh
nilai yang lumayan tinggi.
Saat
pengumuman peserta yang lulus seleksi untuk mendapatkan beasiswa, nama saya
tidak tercantum. Pertama saya tidak curiga dan pasrah saja. Tapi kemudian
terbongkar sebuah kasus. Bahwa 2 nama yang diluluskan tidak mengikuti seleksi
secara penuh. Selain itu, kuota untuk Timur Tengah hanya sepermpat dari kuota
calon penerima beasiswa ke Barat/Eropa.
Setelah bermusyawarah dengan beberapa
teman, kami sepakat memberontak melawan KBA. Jikapun kami tidak diluluskan,
maka seharusnya KBA harus adil. Tidak boleh pilih kasih, kuota ke Timur Tengah
harus ditambah.
Kami membawa persoalan ini ke DPRA, ke Kobar GB, melapor ke
Gerak, mengirim surat pembaca ke Media Massa, dipanggil ke Biro Isra Pemda Aceh
untuk dialog dengan pengurus KBA, dan terakhir saya mengancam ketua Komisi
Beasiswa untuk melaporkan hal ini ke Polda jika kasus tersebut tidak
diselsaikan.
Hasilnya,
pada suatu pagi hari ketua KBA sms saya minta memberi tahu teman-teman lain
semua yang merasa dirugikan untuk datang ke KBA. Ternyata, kami semua akan
diseleksi lagi. KBA menyediakan seorang Syaikh dari Mesir untuk menguji
kemampuan bahasa Arab kami. Alhamdulillah dari 24 yang ikut test, saya masuk
dalam kuota tambahan (8 orang) yang lulus. Selebihnya semuanya ditampung di
IAIN dan diberikan beasiswa pendidikan secara penuh hingga selesai S2.
Pengalaman
kedua,
Tahun 2011, seorang remaja warga kampung saya yang mengalami Kanker di Pinggul
yang sudah membusuk berobat ke sebuah RSU di Banda Aceh. Remaja ini berasal
dari keluarga miskin. Sebelum ke Banda Aceh dengan niat berobat di RSU
tersebut, ia telah mengantongi semua persyaratan dari RS di puskesmas dan RS di
daerahnya. Singkatnya, semua persyaratan telah dia penuhi. Hampir 1,5 bulan dia
di Banda Aceh dan bolak balek ke RSU tersebut, datang hari ini disuruh balek
besok, datang besoknya disuruh balek besok lagi. Hingga bekalnya hampir habis.
Dia
kemudian menelpon saya menceritakan sebagain dari ceritanya, hari pertama saya
tidak bisa datang. Dan Alhamdulillah hari kedua saya menenaminya ke RSU untuk
melacak apa sebab dia tidak dioperasi. Dan ternyata persoalannya terletak pada
si dokter yang mengatur jadwal operasi dia setalah kami berhasil masuk ke ruang
para dokter.
Kami berhasil memperoleh no Hp dokter ini. Sebelum keluat dari
ruang dokter saya meradang, mempertanyakan perasaan kemanusiaan mereka sembari
membuka baju remaja ini dan memperlihatkan ke muka meraka penyakit yang
diderita ana ini, betul-betul sekarat. Alhamdulillah saat itu semuanya diam. Di
luar ruangan, saya menelpon dokter ini mempertanyakan kenapa si anak ini belum
juga di operasi. Tidak diangkat.
Dan kemudian saya sms dengan sedikit mengancam
untuk mengadvokasikan masalah ini ke pengadilan dengan alasan RSU ini gagal
menjalankan tugasnya untuk melayani pasien yang emergency sesuai dengan amanah
Undang-undang. Saya juga mengancam untuk melapor hal ini ke wartawan. Sorenya
sebuah sms jawaban datang menyoal ancaman saya. Saya membalas sms itu dengan
nada yang lebih marah.
Besoknya,
anak ini dipanggil paginya. Sorenya langsung di operasi. Alhamdulillah!
Pengalaman
Ketiga,
Adik saya yang masih SMP mengalami kecelakaan tabarakan di jalan. Dalam keadaan
panik, keluarga membawanya ke sebuah RSU. Di RSU ini, awak RS ini ternyata
tidak mau melayani adik saya secara penuh(seperti Rontgen dan sebagainya)
dengan alasan tidak ada kartu Jamkesmas, kecuali hanya pertolongan pertama saja
oleh yang bukan dokter.
Ibu saya menangis dan keluarga lainnya panik. Bagaimana
mungkin seorang yang sedang emergency ditolak berobat dengan alasan belum ada
Jamkesmas? Padahal, Jamkesmas itu ada, setelah dicari-cari, hari itu kartu itu
tidak menampakkan dirinya. Pada saat yang bersamaa, adik saya butuh pertolongan
cepat. Saya tidak tinggal diam, dari tempat kerja langsung meluncur ke RS ini.
Bersama ibu, saya menuntuk hak adik saya untuk diberi tindakan cepat, atau kami
bawa pulang saja untuk ditangani di kampung.
Ternyata, tidak diizinkan sampai
kartu itu kami berikan kepada mereka dengan alasan pertolongan pertama yang
sudah diberikan tidak bisa diproses biayanya lewat Jamkesmas. Ibu saya kembali
meradang. Kami ngotot membawa adik saya pulang dengan paksa untuk dirawat di
rumah. Hasilnya, adik saya boleh pulang dan kami boleh balek lagi membawa kartu
Jamkesmas tersebut atau menggantikannya dengan sejumlah uang.
Pengalaman
ini begitu berharga bagi pribadi saya. Dan saya merasa puas setelah Negara
menjalankan kewajibannya. Tentu Negara harus menjalankan kewajibannya mengingat
saya selalu menunaikan pula kewajiban saya sebagai warga Negara. Pengalaman
saya di atas adalah beberapa contoh bahwa kita tidak akan memperoleh hak kita
sebagai warga Negara jika kita bersikap secara pasif.
Sebagai
warga Negara, kita harus bergerak saat melihat ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi oleh Negara kita. Kita harus aktif menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut. Tentunya, kita bergerak di atas garis. Bahwa “pemberontakan” kita
terhadap Negara memiliki dasar yang kuat. Dari pengalaman saya di atas, saya
tidak bisa disebut telah berjuang keras sebagaimana mestinya, tapi yang pasti
saya ingin menjadi pemberontak terhadap apapun ketimpangan yang dilakukan
Negara terhadap rakyatnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus