Membangun Jiwa "Pemberontak"

Oleh Teuku Zulkhairi MENDAPATKAN layanan publik yang berkualitas dan jauh dari KKN adalah hak setiap warga negara. Begitu juga, ada...

Oleh Teuku Zulkhairi

MENDAPATKAN layanan publik yang berkualitas dan jauh dari KKN adalah hak setiap warga negara. Begitu juga, adalah hak setiap warga negara untuk hidup dalam kedamaian dan terlindungi hak azasinya sebagai manusia. Karena alasan itulah kita warga Negara bersedia mengakui keberadaan Negara. 

Atas dasar itu pulalah kita sepakat melalui konstitusi dasar Negara, bahwa tugas Negara salah satu yang terpenting adalah “melindungi warga Negara, mensubsidi rakyatnya sendiri, memproteksi pelayanan kebutuhan dasar sosial dan ekonomi”, (Mansur Faqih: 2003). 
Jika Negara kita tidak mampu menjalankan perannya tersebut, maka untuk apa Negara ini dengan susah payah dibentuk oleh para pahlawan kita dan kemudian kita lenggengkan?

Bagaimana kita menjelaskan fungsi Civil Society dihadapan realitas banyaknya warga Negara yang terzhalimi hak-haknya? Kasus “salah tembak” oleh Densus terhadap seorang Muslim yang seringkali terulang, kemiskinan di tengah melimpah Sumber Daya Alam (SDA), buruknya mutu layanan publik, budaya KKN oleh aparatur negara dan segudang persoalan lainnya. 

Oleh karena itu, sikap waspada, saling mengingatkan, terus mengontrol peran Negara dalam rangka semakin meningkatnya kesadaran kritis (critical consciousness ) menjadi sangat diperlukan.

Secara pribadi, saya punya pengalaman menarik dalam melawan Negara untuk memperoleh hak-hak saya dan masyarakat sebagai warga negara. Ada beberapa pengalaman yang begitu saya kenang. Ya, sebuah pengalaman sukses yang lahir dan sukses karena adanya keinginan untuk memberontak, adanya keinginan untuk tidak menerima begitu saja apa yang terjadi. 

Bagi sebagian orang akan mengindari sikap ini karena penuh dengan “resiko”, tapi saya percaya bahwa kita perlu bergerak secara radikal, santun dan kritis. Sikap ini akan memberi makna terhadap konsep “Civil Society” yang selama ini banyak dibicarakan orang.

Pengalaman pertama, Pada tahun 2010, saya dan beberapa teman lainnya mengikuti testing beasiswa S2 di Komisi Beasiswa Aceh (KBA) yang anggarannya berasal dari APBA, ya itu uang rakyat, dan saya adalah seorang rakyat. 

Nilai TOAFL saya saat itu lumayan cukup sebagai syarat untuk mendaftar seleksi beasiswa kuliah ke Timur Tengah. Begitu juga beberapa teman saya lainnya. Kami telah menjalani seleksi dengan lancar. Pada testing TOAFL terakhir, saat nilai kami diumumkan, saya masih memperoleh nilai yang lumayan tinggi.

Saat pengumuman peserta yang lulus seleksi untuk mendapatkan beasiswa, nama saya tidak tercantum. Pertama saya tidak curiga dan pasrah saja. Tapi kemudian terbongkar sebuah kasus. Bahwa 2 nama yang diluluskan tidak mengikuti seleksi secara penuh. Selain itu, kuota untuk Timur Tengah hanya sepermpat dari kuota calon penerima beasiswa ke Barat/Eropa. 

Setelah bermusyawarah dengan beberapa teman, kami sepakat memberontak melawan KBA. Jikapun kami tidak diluluskan, maka seharusnya KBA harus adil. Tidak boleh pilih kasih, kuota ke Timur Tengah harus ditambah. 

Kami membawa persoalan ini ke DPRA, ke Kobar GB, melapor ke Gerak, mengirim surat pembaca ke Media Massa, dipanggil ke Biro Isra Pemda Aceh untuk dialog dengan pengurus KBA, dan terakhir saya mengancam ketua Komisi Beasiswa untuk melaporkan hal ini ke Polda jika kasus tersebut tidak diselsaikan.

Hasilnya, pada suatu pagi hari ketua KBA sms saya minta memberi tahu teman-teman lain semua yang merasa dirugikan untuk datang ke KBA. Ternyata, kami semua akan diseleksi lagi. KBA menyediakan seorang Syaikh dari Mesir untuk menguji kemampuan bahasa Arab kami. Alhamdulillah dari 24 yang ikut test, saya masuk dalam kuota tambahan (8 orang) yang lulus. Selebihnya semuanya ditampung di IAIN dan diberikan beasiswa pendidikan secara penuh hingga selesai S2.

Pengalaman kedua, Tahun 2011, seorang remaja warga kampung saya yang mengalami Kanker di Pinggul yang sudah membusuk berobat ke sebuah RSU di Banda Aceh. Remaja ini berasal dari keluarga miskin. Sebelum ke Banda Aceh dengan niat berobat di RSU tersebut, ia telah mengantongi semua persyaratan dari RS di puskesmas dan RS di daerahnya. Singkatnya, semua persyaratan telah dia penuhi. Hampir 1,5 bulan dia di Banda Aceh dan bolak balek ke RSU tersebut, datang hari ini disuruh balek besok, datang besoknya disuruh balek besok lagi. Hingga bekalnya hampir habis.

Dia kemudian menelpon saya menceritakan sebagain dari ceritanya, hari pertama saya tidak bisa datang. Dan Alhamdulillah hari kedua saya menenaminya ke RSU untuk melacak apa sebab dia tidak dioperasi. Dan ternyata persoalannya terletak pada si dokter yang mengatur jadwal operasi dia setalah kami berhasil masuk ke ruang para dokter. 

Kami berhasil memperoleh no Hp dokter ini. Sebelum keluat dari ruang dokter saya meradang, mempertanyakan perasaan kemanusiaan mereka sembari membuka baju remaja ini dan memperlihatkan ke muka meraka penyakit yang diderita ana ini, betul-betul sekarat. Alhamdulillah saat itu semuanya diam. Di luar ruangan, saya menelpon dokter ini mempertanyakan kenapa si anak ini belum juga di operasi. Tidak diangkat. 

Dan kemudian saya sms dengan sedikit mengancam untuk mengadvokasikan masalah ini ke pengadilan dengan alasan RSU ini gagal menjalankan tugasnya untuk melayani pasien yang emergency sesuai dengan amanah Undang-undang. Saya juga mengancam untuk melapor hal ini ke wartawan. Sorenya sebuah sms jawaban datang menyoal ancaman saya. Saya membalas sms itu dengan nada yang lebih marah.

Besoknya, anak ini dipanggil paginya. Sorenya langsung di operasi. Alhamdulillah!
Pengalaman Ketiga, Adik saya yang masih SMP mengalami kecelakaan tabarakan di jalan. Dalam keadaan panik, keluarga membawanya ke sebuah RSU. Di RSU ini, awak RS ini ternyata tidak mau melayani adik saya secara penuh(seperti Rontgen dan sebagainya) dengan alasan tidak ada kartu Jamkesmas, kecuali hanya pertolongan pertama saja oleh yang bukan dokter. 

Ibu saya menangis dan keluarga lainnya panik. Bagaimana mungkin seorang yang sedang emergency ditolak berobat dengan alasan belum ada Jamkesmas? Padahal, Jamkesmas itu ada, setelah dicari-cari, hari itu kartu itu tidak menampakkan dirinya. Pada saat yang bersamaa, adik saya butuh pertolongan cepat. Saya tidak tinggal diam, dari tempat kerja langsung meluncur ke RS ini. Bersama ibu, saya menuntuk hak adik saya untuk diberi tindakan cepat, atau kami bawa pulang saja untuk ditangani di kampung. 

Ternyata, tidak diizinkan sampai kartu itu kami berikan kepada mereka dengan alasan pertolongan pertama yang sudah diberikan tidak bisa diproses biayanya lewat Jamkesmas. Ibu saya kembali meradang. Kami ngotot membawa adik saya pulang dengan paksa untuk dirawat di rumah. Hasilnya, adik saya boleh pulang dan kami boleh balek lagi membawa kartu Jamkesmas tersebut atau menggantikannya dengan sejumlah uang.

Pengalaman ini begitu berharga bagi pribadi saya. Dan saya merasa puas setelah Negara menjalankan kewajibannya. Tentu Negara harus menjalankan kewajibannya mengingat saya selalu menunaikan pula kewajiban saya sebagai warga Negara. Pengalaman saya di atas adalah beberapa contoh bahwa kita tidak akan memperoleh hak kita sebagai warga Negara jika kita bersikap secara pasif.

Sebagai warga Negara, kita harus bergerak saat melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi oleh Negara kita. Kita harus aktif menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Tentunya, kita bergerak di atas garis. Bahwa “pemberontakan” kita terhadap Negara memiliki dasar yang kuat. Dari pengalaman saya di atas, saya tidak bisa disebut telah berjuang keras sebagaimana mestinya, tapi yang pasti saya ingin menjadi pemberontak terhadap apapun ketimpangan yang dilakukan Negara terhadap rakyatnya.

Related

Sosial dan Budaya 1238572665015475041

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item