Wali Nanggroe dan Syari’at Islam
Teuku Zulkhairi Oleh Teuku Zulkhairi Kata-kata “mengembalikan peradaban Aceh” adalah bagian terpenting dari pidato Paduka yang M...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/01/wali-nanggroe-dan-syariat-islam.html
Teuku Zulkhairi |
Kata-kata “mengembalikan peradaban Aceh”
adalah bagian terpenting dari pidato Paduka yang Mulia Teungku Malek
Mahmud Al-Haytar saat pengukuhannya sebagai Wali Nanggroe di DPRA
beberapa waktu lalu.
Saya membaca dengan seksama seluruh isi
pidato tersebut yang dimuat di media massa sembari berharap bahwa
keseluruhan isi pidato itu adalah murni cita-cita dan agenda dari beliau
setelah resmi bertugas. Kalau kita berbicara tentang peradaban Aceh,
maka peradaban itu akan sangat erat kaitannya dengan syari’at Islam.
Mengapa? Karena sudah jelas bahwa
peradaban Aceh yang pernah jaya adalah yang berfondasikan syari’at Islam
sehingga tidak mungkin kita akan bisa membangkitkan kembali peradaban
Aceh jika sistem dan konsepsi Islam sebagai agama yang kita anut tidak
kita transformasikan dalam semua tatanan kehidupan.
Jika peradaban Aceh yang akan
dikembalikan adalah yang berfondasikan syari’at Islam, maka usaha ini
akan menempatkan posisi Aceh yang sejajar dalam deretan pergerakan dan
arus kebangkitan Islam global.
Sesungguhnya, mengembalikan peradaban
Aceh yang pernah jaya hanya bisa dilakukan dengan cara
mengimplementasikan seluruh sistem Islam dalam semua sendi kehidupan,
baik lewataksi-aksi lokal keAcehan maupun pada tataran yang lebih luas
lagi.
Jadi, semua agenda pembangunan masa depan yang dicanangkan oleh
Wali Nanggroe dengan lembaganya agar tetap merujuk pada konsepsi Islam, karena sebagai muslim kita yakin betul bahwa Islam adalah solusi menuju
kebangkitan.
Kita ingin konsepsi Islam semakin sering
dibicarakan oleh Lembaga Wali Nanggroe maupun juga oleh trias politika
dalam sistem demokrasi kita, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan pembangunan, kita
yakin lembaga WN akan mampu menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat
Aceh yang kita ketahui mayoritasnya memang muslim.
Dalam konteks lokal, hari ini kita
dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan dimana sangat jarang para
elit kita baik di Aceh maupun di pentas nasional yang bersedia
menjadikan Islam sebagai solusi, walaupun mereka mengaku Muslim.
Padahal, konsepsi Islam sebagai
satu-satunya sistem yang universal dan integral bukan hanya
diperuntukkan untuk mengatur pribadi kita dengan Tuhan saja atau
mengatur setiap pribadi kita menjadi paripurna, namun diperuntukkan
untuk mengatur sistem sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang terjadi selama ini, keindahan dan
kesempurnaan sistem Islam tertutupi oleh perilaku muslim sendiri. Maka
seharusnya, Jika hari ini segudang persoalan sedang menimpa kita dan
bangsa ini, jalur penyelesaian yang kita tempuh adalah dengan kembali
pada Islam.
Sementara dalam skala regional dan
internasional, realitas hari ini menunjukkan meskipun Islam merupakan
salah satu agama terbesar di dunia, namun umat Islam belum memiliki
negara yang kuat yang mampu memperkenalkan Islam sesuai dengan wajah
aslinya. Alhasil, peradaban Islam masih tercerai berai semenjak Khilafah
Islamiah di Turki ambruk pada tahun 1924 yang lalu.
Pada titik ini, kita berharap
kebangkitan peradaban Islam di dunia Melayu akan dimulai dari Aceh, dan
lembaga Wali Nanggroe bisa mengambil posisi penting dalammenjadikan
Islam sebagai fondasi perjuanga menyambut kebangkitan ini, yaitu dengan cara tadi.
Ini juga sesuai dengan misi para ulama Aceh yag tergabung dalam HUDA yang ingin mempersatukan ulama di dunia Melayu.
Juga
seperti keterangan Tgk Taqiyuddin Muhammad, Lc, seorang peneliti
kebudayaan Islam saat menyampaikan materi pengajian Islam yang diadakan
oleh Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi
Luwak Banda Aceh beberapa waktu lalu. Menurut beliau, Aceh berkesamapatan memimpin kembali kebangkitan peradaban Islam di Asia Tenggara, (Serambi Indonesia, 13/12).
Secara historistik, bahwa peradaban yang
tadinya tenggelam akan selalu memungkinkan untuk bangkit kembali jika
nilai-nilainya peradaban yang telah tenggelam tersebut digali kembali,
didiskusikan dan direvitalisasi kembali oleh generasi yang hidup saat
itu.
Disisi lain, secara teologis ini
merupakan janji Allah bahwa dunia ini akan diwariskan kepada
hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shalih sebagaimana janji Allah
dalam Alquran surat An- Nur: ayat 55.
Menyelesaikan persoalan kecil
Menuju agenda besar mengembalikan
peradaban Aceh yang Islami ini, pada saat yang bersamaan kita harus
mampu menyelesaikan persoalan-persoalan “kecil” yang hari ini melilit
kita sebelum kemudian Aceh memainkan perannya dalam skala regional.
Lalu bagaimana cara konkritnya? Tentu
saja dengan menggali kembali rumus-rumus, konsepsi dan solusi yang
diberikan Islam agar kita lepas total dari segudang persoalan Aceh hari
ini.
Saya yakin, Islam akan mampu menjadi
pemersatu dan stimulus pembangunan Aceh jika pemerintah berkomitmen kuat
merujuk pada Alqur’an dan Hadits atas apapun persoalan yang mendera
Aceh hari ini.
Dengan kesediaan Aceh hari ini untuk
merujuk total kepada sistem Islam dengan berbagai konsepsi
pembangunannya, maka kita yakin posisi sentral Aceh akan bisa temukan
kembali.
Dalam konteks usaha perbaikan individu
dan struktur sosial masyarakat Aceh, Islam telah memperkenalkan kepada
kita nilai-nilai persaudaraan dan persatuan seperti Muhajirin dan Ansar,
toleransi dalam menyikapi urusan khilafiyah fikh seperti yang
ditunjukkan oleh para ulama mazhab, peduli kepada yang terzhalimi,
saling menghargai, amanah, sederhana, jujur, berani mengatakan yang
benar walau resikonya pahit, twadhu’, qana’ah, tidak ta’sshub, muhasabah
atau intorspeksi diri, husnudhan/baik sangka, budaya tabayyun, budaya
saling mengingatkan, saling ta’arruf sebagaimana yang dikatakan Abu
Panton dalam bukunya sebagai upaya resolusi konflik (2008).
Selain itu, kita juga perlu
mempopulerkan konsepsi lain bagi pemerintah dan masyarakat seperti
‘ubudiyah(totalitas dalam penghambaan diri kepada Allah),
mas’uliyah(pertanggungjawaban bukan hanya kepada manusia (pemerintah)
tetapi juga kepada Allah Swt, serta rumus dan konsepsi lainnya yang
terkandung luas dalam Alquran dan Hadits seperti konsepsi ekonomi Islam
yang anti ribawi, pendidikan dan sebagainya untuk kita jadikan sebagai
pedoman hidup dan referensi pembangunan Aceh hari ini.
Konsepsi Islam tersebut harus terus kita
kaji, kita sosialisasikan dan kita bumikan di Aceh agar kita terus
membangun menuju kejayaan bersama Islam serta menyelesaikan segudang
persoalan Aceh pada saat yang bersamaan.
Tanpa mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan Aceh hari ini, maka mustahil Aceh mampu berbicara
pada tataran regional serta mengkampanyekan keindahan Islam dan
kesempurnaan sistemnya.
Bagaimana Aceh akan tampil sebagai
pemain penting dalam isu-isu regional jika Aceh sendiri tidak mampu
keluar dari kungkungan persoalan-persoalan kecil-lokal? Sampai disini,
harapan kita agar apapun persoalan Aceh hari ini besar maupun kecil
mestilah kita merujuk pada konsepsi Islam dalam penyelesaiannya.
Dan kita berharap, Paduka yang Mulia Tgk
Malek Mahmud Alhaytar serius akan hal ini. Setelah itu, kita berharap
pada saat yang bersamaan posisi Aceh semakin kuat sehingga Aceh bisa
memainkan perannya dalam skala regional menyambut arus kebangkitan
peradaban Islam secara global.
Wallahu a’lam bishshawab.
sumber: http://www.antaraaceh.com/2014/01/wali-nanggroe-dan-syariat-islam.html