Wali Nanggroe dan Syari’at Islam

Teuku Zulkhairi Oleh Teuku Zulkhairi   Kata-kata “mengembalikan peradaban Aceh” adalah bagian terpenting dari pidato Paduka yang M...

Teuku Zulkhairi
Oleh Teuku Zulkhairi
 
Kata-kata “mengembalikan peradaban Aceh” adalah bagian terpenting dari pidato Paduka yang Mulia Teungku Malek Mahmud Al-Haytar saat pengukuhannya sebagai Wali Nanggroe di DPRA beberapa waktu lalu.

Saya membaca dengan seksama seluruh isi pidato tersebut yang dimuat di media massa sembari berharap bahwa keseluruhan isi pidato itu adalah murni cita-cita dan agenda dari beliau setelah resmi bertugas. Kalau kita berbicara tentang peradaban Aceh, maka peradaban itu akan sangat erat kaitannya dengan syari’at Islam.
Mengapa? Karena sudah jelas bahwa peradaban Aceh yang pernah jaya adalah yang berfondasikan syari’at Islam sehingga tidak mungkin kita akan bisa membangkitkan kembali peradaban Aceh jika sistem dan konsepsi Islam sebagai agama yang kita anut tidak kita transformasikan dalam semua tatanan kehidupan.

Jika peradaban Aceh yang akan dikembalikan adalah yang berfondasikan syari’at Islam, maka usaha ini akan menempatkan posisi Aceh yang sejajar dalam deretan pergerakan dan arus kebangkitan Islam global.

Sesungguhnya, mengembalikan peradaban Aceh yang pernah jaya hanya bisa dilakukan dengan cara mengimplementasikan seluruh sistem Islam dalam semua sendi kehidupan, baik lewataksi-aksi lokal keAcehan maupun pada tataran yang lebih luas lagi. 

Jadi, semua agenda pembangunan masa depan yang dicanangkan oleh Wali Nanggroe dengan lembaganya agar tetap merujuk pada konsepsi Islam, karena sebagai muslim kita yakin betul bahwa Islam adalah solusi menuju kebangkitan.

Kita ingin konsepsi Islam semakin sering dibicarakan oleh Lembaga Wali Nanggroe maupun juga oleh trias politika dalam sistem demokrasi kita, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan pembangunan, kita yakin lembaga WN akan mampu menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat Aceh yang kita ketahui mayoritasnya memang muslim.

Dalam konteks lokal, hari ini kita dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan dimana sangat jarang para elit kita baik di Aceh maupun di pentas nasional yang bersedia menjadikan Islam sebagai solusi, walaupun mereka mengaku Muslim.

Padahal, konsepsi Islam sebagai satu-satunya sistem yang universal dan integral bukan hanya diperuntukkan untuk mengatur pribadi kita dengan Tuhan saja atau mengatur setiap pribadi kita menjadi paripurna, namun diperuntukkan untuk mengatur sistem sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang terjadi selama ini, keindahan dan kesempurnaan sistem Islam tertutupi oleh perilaku muslim sendiri. Maka seharusnya, Jika hari ini segudang persoalan sedang menimpa kita dan bangsa ini, jalur penyelesaian yang kita tempuh adalah dengan kembali pada Islam.

Sementara dalam skala regional dan internasional, realitas hari ini menunjukkan meskipun Islam merupakan salah satu agama terbesar di dunia, namun umat Islam belum memiliki negara yang kuat yang mampu memperkenalkan Islam sesuai dengan wajah aslinya. Alhasil, peradaban Islam masih tercerai berai semenjak Khilafah Islamiah di Turki ambruk pada tahun 1924 yang lalu.

Pada titik ini, kita berharap kebangkitan peradaban Islam di dunia Melayu akan dimulai dari Aceh, dan lembaga Wali Nanggroe bisa mengambil posisi penting dalammenjadikan Islam sebagai fondasi perjuanga menyambut kebangkitan ini, yaitu dengan cara tadi.

 Ini juga sesuai dengan misi para ulama Aceh yag tergabung dalam HUDA yang ingin mempersatukan ulama di dunia Melayu.

Juga seperti keterangan Tgk Taqiyuddin Muhammad, Lc, seorang peneliti kebudayaan Islam saat menyampaikan materi pengajian Islam yang diadakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Banda Aceh beberapa waktu lalu. Menurut beliau, Aceh berkesamapatan memimpin kembali kebangkitan peradaban Islam di Asia Tenggara, (Serambi Indonesia, 13/12).

Secara historistik, bahwa peradaban yang tadinya tenggelam akan selalu memungkinkan untuk bangkit kembali jika nilai-nilainya peradaban yang telah tenggelam tersebut digali kembali, didiskusikan dan direvitalisasi kembali oleh generasi yang hidup saat itu.

Disisi lain, secara teologis ini merupakan janji Allah bahwa dunia ini akan diwariskan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shalih sebagaimana janji Allah dalam Alquran surat An- Nur: ayat 55.

Menyelesaikan persoalan kecil
Menuju agenda besar mengembalikan peradaban Aceh yang Islami ini, pada saat yang bersamaan kita harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan “kecil” yang hari ini melilit kita sebelum kemudian Aceh memainkan perannya dalam skala regional.

Lalu bagaimana cara konkritnya? Tentu saja dengan menggali kembali rumus-rumus, konsepsi dan solusi yang diberikan Islam agar kita lepas total dari segudang persoalan Aceh hari ini.
Saya yakin, Islam akan mampu menjadi pemersatu dan stimulus pembangunan Aceh jika pemerintah berkomitmen kuat merujuk pada Alqur’an dan Hadits atas apapun persoalan yang mendera Aceh hari ini.
Dengan kesediaan Aceh hari ini untuk merujuk total kepada sistem Islam dengan berbagai konsepsi pembangunannya, maka kita yakin posisi sentral Aceh akan bisa temukan kembali.

Dalam konteks usaha perbaikan individu dan struktur sosial masyarakat Aceh, Islam telah memperkenalkan kepada kita nilai-nilai persaudaraan dan persatuan seperti Muhajirin dan Ansar, toleransi dalam menyikapi urusan khilafiyah fikh seperti yang ditunjukkan oleh para ulama mazhab, peduli kepada yang terzhalimi, saling menghargai, amanah, sederhana, jujur, berani mengatakan yang benar walau resikonya pahit, twadhu’, qana’ah, tidak ta’sshub, muhasabah atau intorspeksi diri, husnudhan/baik sangka, budaya tabayyun, budaya saling mengingatkan, saling ta’arruf sebagaimana yang dikatakan Abu Panton dalam bukunya sebagai upaya resolusi konflik (2008).

Selain itu, kita juga perlu mempopulerkan konsepsi lain bagi pemerintah dan masyarakat seperti ‘ubudiyah(totalitas dalam penghambaan diri kepada Allah), mas’uliyah(pertanggungjawaban bukan hanya kepada manusia (pemerintah) tetapi juga kepada Allah Swt, serta rumus dan konsepsi lainnya yang terkandung luas dalam Alquran dan Hadits seperti konsepsi ekonomi Islam yang anti ribawi, pendidikan dan sebagainya untuk kita jadikan sebagai pedoman hidup dan referensi pembangunan Aceh hari ini.

Konsepsi Islam tersebut harus terus kita kaji, kita sosialisasikan dan kita bumikan di Aceh agar kita terus membangun menuju kejayaan bersama Islam serta menyelesaikan segudang persoalan Aceh pada saat yang bersamaan.

Tanpa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Aceh hari ini, maka mustahil Aceh mampu berbicara pada tataran regional serta mengkampanyekan keindahan Islam dan kesempurnaan sistemnya.

Bagaimana Aceh akan tampil sebagai pemain penting dalam isu-isu regional jika Aceh sendiri tidak mampu keluar dari kungkungan persoalan-persoalan kecil-lokal? Sampai disini, harapan kita agar apapun persoalan Aceh hari ini besar maupun kecil mestilah kita merujuk pada konsepsi Islam dalam penyelesaiannya.

Dan kita berharap, Paduka yang Mulia Tgk Malek Mahmud Alhaytar serius akan hal ini. Setelah itu, kita berharap pada saat yang bersamaan posisi Aceh semakin kuat sehingga Aceh bisa memainkan perannya dalam skala regional menyambut arus kebangkitan peradaban Islam secara global.
Wallahu a’lam bishshawab.

 sumber: http://www.antaraaceh.com/2014/01/wali-nanggroe-dan-syariat-islam.html

Related

Paradigma Islam 196661367620968195

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item