‘Selamat Tinggal Syariat Islam’
Oleh Teuku Zulkhairi UPAYA penghilangan kata ‘syariat’ secara sistematis sejak setahun terakhir sesungguhnya bukanlah persoalan kecil....
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/01/selamat-tinggal-syariat-islam.html
Oleh Teuku Zulkhairi
* Teuku Zulkhairi, MA Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Periode 2010-2011, dan Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: khairipanglima@gmail.com
sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/11/29/selamat-tinggal-syariat-islam
UPAYA penghilangan kata
‘syariat’ secara sistematis sejak setahun terakhir sesungguhnya bukanlah
persoalan kecil. Kalau kemudian ada
anggapan bahwa tidaklah penting mengurus sebuah istilah, maka tentu
saja anggapan ini tidak berlaku bagi para pihak yang menghendaki kata
tersebut dilenyapkan.
sumber: www.bamah.net |
Secara logika, kalau kata ‘syariat’ tidak penting,
lalu mengapa kata ini perlu dihilangkan dengan alasan-alasan yang sulit
diterima oleh logika sehat kita, seperti dengan alasan untuk
menghilangkan kesan keras atau radikal?
Jadi kalau Kepala Dinas
Syariat Islam (DSI) mengingatkan kita jangan terjebak mengurus istilah,
lalu mengapa DSI mempelopri penghilangan kata ‘syariat’ tersebut?
Tulisan ini bukanlah untuk menyoalkan sebuah kata-kata, melainkan hanya untuk mengingatkan pemimpin Aceh, bahwa ada yang salah dengan mental dan struktur logika orang-orang tertentu di lingkungan pemerintahan.
Bukan persoalan kecil
Polemik seputar penghilangan kata-kata Syariat Islam menjadi ‘Dinul Islam’ muncul ke permukaan saat setelah beberapa hari lalu Dinas Syariat Islam (DSI) melaksanakan kegiatan “Evaluasi 11 Tahun Penarapan Dinul Islam di Aceh” di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry (Serambi, 25/11).
Polemik seputar penghilangan kata-kata Syariat Islam menjadi ‘Dinul Islam’ muncul ke permukaan saat setelah beberapa hari lalu Dinas Syariat Islam (DSI) melaksanakan kegiatan “Evaluasi 11 Tahun Penarapan Dinul Islam di Aceh” di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry (Serambi, 25/11).
Secara tersirat, kegiatan ini menandakan
bahwa DSI sebagai pembantu pemerintah Aceh telah mengikhlaskan kata
`syariat’ dihilangkan. Dipelopori oleh DSI di bawah kepemimpinan Prof
Syahrizal Abbas, penghilangan kata syariat ini juga di-back up oleh
Abdullah Saleh dari DPRA, yang dari statemennyalah kita mengetahui salah
satu alasan kata ‘syariat’ dihilangkan, yaitu untuk menghilangkan kesan
radikal dan menakutkan.
Mencermati persoalan dihilangkannya kata
‘syariat’ ini, kita membayangkan kembali peristiwa paling pahit dalam
sejarah umat Islam di Indonesia
pada awal kemerdekaan ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta ditentang
oleh beberapa pihak dengan alasan bisa mengancam disintegrasi bangsa.
Ketujuh kita ini yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban
melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya”, pada akhirnya diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja.
Efek dari dihilangkan
kata-kata ini pun begitu besar, hingga saat ini perjuangan umat Islam
Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang berlandaskan pada sistem
syariah belum juga terwujud, dan negeri ini pun terus terpuruk dalam
semua tatanan kehidupan. Bahkan, kita umat Islam yang ingin menerapkan
sistem syariah menjadi semakin asing di negeri kita sendiri.
Padahal,
umat Islam di negeri ini adalah mayoritas dan syariat Islam pun hanya
diperuntukkan bagi umat Islam, tidak bagi nonmuslim.
Secara tidak
langsung, penghilangan kata ‘syariat’ agar Aceh tidak terkesan kejam di
dunia luar adalah bentuk nyata dari upaya mengkambinghitamkan syariat
Islam atas berbagai kehancuran yang menimpa Aceh hari ini. Kalau
pemerintah mau berfikir jujur, sesungguhnya kesalahan pemerintah
sendirilah, sehingga Aceh terus terpuruk.
Apa yang sudah
dilakukan pemerintah Aceh untuk penegakan syariat Islam, sehingga secara
tidak langsung kemudian menyalahkan syariat Islam? Bukankah anggaran
untuk syariat Islam yang diplot selalu minim setiap tahun?
Bukankah plot
anggaran yang maksimal untuk pendidikan dayah juga kerap ditolak?
Bukankah pemerintah juga masih terkesan ragu-ragu dalam melawan praktik
ribawi yang telah diharamkan oleh Allah? Lalu, apa keteladanan para
pemimpin Aceh dalam berislam yang bisa ditunjukkan kepada masyarakat?
Jadi,
yang menjadi masalah dalam penerapan syariat Islam selama ini,
sesungguhnya bukanlah ‘syariat’ sebagai sebuah aturan yang digariskan
Islam, melainkan karena tidak adanya keseriusan dan komitmen yang kuat
dari pengelola pemerintahan negeri ini.
Maka pemerintah dengan segenap
SKPA-nyalah yang harus dievaluasi tentang sejauh mana kerja mereka dalam
penerapan syariat Islamnya, bukan syariat Islam itu sendiri yang tidak
berjalan maksimal karena memang tidak adanya usaha maksimal dari para
stakeholder dan pemegang kekuasaan untuk menyukseskan penerapannya.
Kalau
memang dunia luar memandang syariat Islam di Aceh kejam sehingga
investor enggan masuk ke Aceh lalu kata ‘syariat’ dihapus atau
dihilangkan, lalu mengapa pemerintah Aceh tidak berupaya menjelaskan
kepada dunia luar bahwa syariat Islam di Aceh tidak seperti yang mereka
bayangkan?
Padahal, dewasa ini kita sedang menyaksikan sebuah fakta
sejarah yang sangat menakjubkan bahwa semua elemen masyarakat Aceh, dari
akademisi, pengusaha hingga wartawan semakin siap menjelaskan kepada
dunia luar bahwa syariat Islam tidak seperti yang mereka bayangkan.
Syariat Islam di Aceh tidak seburuk yang ditulis oleh jurnalis yang anti syariat Islam seperti berita di The Jakarta
Globe, beberapa waktu lalu, yang menggiring opini publik bahwa Kepala
Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Aceh yang ditangkap adalah
kepala polisi syariah, sehingga menimbulkan kesan bahwa syariah itu
buruk sekali.
Dan jika pun benar dunia luar memandang syariat
Islam di Aceh kejam dan radikal, lalu mengapa kita menurut saja pada
cara pandang mereka? Mengapa mental kita ini lemah dan rendah sekali?
Mengapa mental kita ini menjadi penakut sehingga menurut saja pada
kemauan dan kritikan-kritikan pihak luar? Kalau benar kita hanya takut
kepada Allah, apakah kita akan risau jika investor enggan datang ke Aceh
karena kita menerapkan syariat Islam? Apakah kita akan lapar jika pun
‘syariat’ menjadi penghalang investor masuk?
Lalu, lupakah kita,
bahwa Allah Swt telah berjanji dalam Alquran (Surah Al-A’raf: 99) bahwa
pintu keberkahan dari langit dan dari bumi hanya akan terbuka ketika
kita beriman dan bertakwa?
Tidakkah kita yakin bahwa kita umat Islam
hanya akan maju bersama Islam dan bukan dengan meninggalkannya? Dan,
tidak siapkah kita dihadapan celaan orang-orang yang suka mencela
sebagaimana digambarkan dalam Alquran (Surah Al-Maidah: 54) tentang
ciri-ciri generasi Islam yang dicintai Allah Swt, dan Allah mencintai
mereka?
Ulah para pembisik
Setelah penulis mengkaji secara seksama, proses penghilangan kata syariat terjadi oleh ulah para pembisik. Para pembisik inilah yang telah meracuni pemikiran pemerintah untuk menghilangkan kata ‘syariat’.
Setelah penulis mengkaji secara seksama, proses penghilangan kata syariat terjadi oleh ulah para pembisik. Para pembisik inilah yang telah meracuni pemikiran pemerintah untuk menghilangkan kata ‘syariat’.
Sebab, sesungguhnya kita
yakin dan tahu betul bahwa para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang hari ini menguasai Aceh dalam wadah Partai Aceh (PA),
bukanlah kumpulan orang-orang sekuler yang phobia dengan syariat Islam
dan upaya penerapannya di Aceh. Mereka adalah orang-orang yang dekat
dengan para ulama.
Masih segar dalam ingatan kita pada 1998
ketika tokoh-tokoh GAM berpidato dari satu gampong ke gampong lainnya,
menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang dengan tujuan melawan
ketidakadilan dan menerapkan syariat Islam.
Gubernur dan Wakil Gubernur
yang menduduki tampuk pemerintahan Aceh sekarang, adalah sosok yang
dekat dengan para ulama. Di masa konflik, mereka begitu dekat dengan
dayah. Dan, di era damai, banyak tokoh PA yang mengambil ijazah dayah
untuk tembus ke lembaga legislatif dan eksekutif. Jadi, penulis sangat
yakin penghilangan kata ‘syariat’ ini bukanlah agenda dari pemerintah
yang sedang berkuasa.
Semoga, tulisan ini menjadi catatan bagi PA
khususnya, agar menstrerilkan lingkaran kekuasaan pemerintah Aceh dari
pemikiran dan pengaruh orang-orang sekuler yang masih takut kepada
manusia, bukan kepada Allah Swt.
Jika orang-orang yang hanya takut
kepada manusia ini tidak disterilkan, maka tidak mustahil di masa yang
akan datang akan banyak lagi istilah-istilah Islam juga akan diminta
untuk diubah, tergantung bagaimana dunia luar menghendakinya. Jika
begini, maka kita kita hanya bisa melambaikan tangan sambil mengucapkan:
“Selamat Tinggal Syariat Islam” di Aceh.
* Teuku Zulkhairi, MA Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Periode 2010-2011, dan Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: khairipanglima@gmail.com
sumber: http://aceh.tribunnews.com/2013/11/29/selamat-tinggal-syariat-islam