Dari Ulama untuk Pembangunan Aceh (Catatan dari Mubes HUDA)
Oleh Teuku Zulkhairi Sejauh ini, bisa kita katakan hubungan ulama dan umara (baca: pemerintah) di Aceh belum terjalin secara mesra....
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/01/dari-ulama-untuk-pembangunan-aceh.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Faktanya, cukup banyak rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan para
ulama yang tidak direspon secara maksimal oleh pemerintah. Ini cukup
ironis, sebab Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sendiri padahal
mengamanahkan posisi ulama sebagai penasehat yang mesti didengar oleh
umara.
Sejauh ini, bisa kita katakan hubungan ulama dan umara
(baca: pemerintah) di Aceh belum terjalin secara mesra. Jikapun ada
kedekatan umara dengan beberapa ulama, maka kedekatan itu masih bersifat
personal atau kedekatan lembaga, tidak kedekatan yang kemudian membawa
ulama menduduki posisi penasehat yang mempengaruhi kebijakan umara.
Ulama dan Umara, Dua figur utamaDalam sejarah Islam
sendiri, fase kejayaan Islam dan ummatnya selalu ditandai dengan adanya
hubungan mesra antara ulama dan umara dimana umara selalu mendengar
nasehat ulama. Pada saat bersamaan, ulama pun selalu siap menasehati
umara dan memberi mereka keteladanan nyata dalam segala bidang.
Dalam
sejarahnya, kegemilangan kerajaan Aceh Darussalam tempo dulu dibangun
oleh relasi ideal ulama dan umara. Banyak pos-pos penting kerajaan Aceh
yang waktu itu dipercayakan dibimbing oleh para ulama. Dan raja Aceh
tunduk patuh pada keputusan-keputusan ulama sehingga Aceh menjadi makmur
dan sejahtera.
Terwujudnya relasi ideal antara ulama dan umara sesungguhnya
merupakan perintah dari hadist Rasulullah Saw, ”Tegaknya masyarakat
dunia dengan 4 perkara, ilmunya para ulama, adilnya pemerintah,
dermawannya orang-orang yang kaya dan do’anya orang-orang yang
fakir”(Dhurratun Naashihiin, Fadl-lul ilmi Majlis III).
Posisi ulama
dikatakan sebagai pelita dan pilar penting tegaknya dunia adalah karena
ilmunya para ulama dibutuhkan untuk menegakkan keadilan oleh pemimpin
(umara), ilmunya para ulama juga dibutuhkan untuk menyadarkan
orang-orang kaya agar senantiasa berderma dalam bentuk infak, sedekah,
zakat dan sebagainya.
Dengan ilmunya para ulama juga orang-orang miskin
bisa belajar berdo’a. Maka posisi ulama adalah pelita. Rasulullah juga
mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya).
Dalam sebuah tatatan masyarakat dan negara, ulama dan umara adalah
dua figur penting yang akan menentukan kemana arah perjalanan sebuah
bangsa. Ulama, betapapun besar dan banyaknya tugas-tugas mereka,
betapapun tinggi martabat keilmuan mereka, tetap saja mereka tidak boleh
terpisah dari unsur terpenting lainnya yakni umara.
Begitu juga
sebaliknya, para umara betapapun berat amanat dan tingginya kedudukan
mereka, keterkaitan mereka dengan para ulama sangatlah erat dan memliki
hubungan horizontal yang kokoh dalam menjalankan berbagai perannya.
Dalam konteks Aceh, tidak bisa dipungkiri bahwa ulama dan umara
adalah kunci suskesnya agenda pembangunan Aceh yang dicita-citakan saat
ini. Sebaliknya, ada resiko besar yang akan terjadi jika umara tidak mau
mendengar nasehat ulama, seperti ketidak adilan dan
ketimpangan-ketimbangan lainnya yang akan menghancurkan seluruh sendi
kehidupan masyarakat dan Negara, membudaya kasus-kasus Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme yang pada akhirnya akan membuat keberkahan Allah Swt
hilang dari negeri ini.
Harapan ulama kepada umara
Setelah terpilih sebagai ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
periode 2013-2018, Abu Hasanoel Basry (Abu Mudi) menyatakan harapan
beliau agar umara mau mendengar nasehat ulama dengan cara
mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ulama kepada
umara (Serambi Indonesia/2/12).
Harapan seperti ini sangat logis, dalam kondisi Aceh seperti ini,
dibutuhkan kesadaran yang kuat dari umara untuk berbenah diri dalam
membangun Aceh. Begitu banyak ajaran Islam yang belum termanifestasikan
dalam kehidupan masyarakat dan pemimpin di Aceh, dalam semua sistem dan
tatanan kehidupan. Padahal sudah jelas, bahwa kita umat Islam hanya akan
jaya bersama Islam, tidak dengan meninggalkannya.
Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari Mubes HUDA yang lalu,
misalnya, Pemerintah Aceh harus menghilangkan segala jenis praktik riba
dalam transaksi di perbankan dan perekonomian secara umum.
Selain itu,
juga memberdayakan perekonomian masyarakat di kalangan bawah dengan
memberikan modal usaha tanpa agunan dengan tidak bernuansa riba.
Selanjutnya, mengatur harga pasar hasil bumi di Aceh, serta mengontrol
kestabilan harga sembilan bahan pokok (sembako) masyarakat dan
menyediakan tempat penampungan pasar hasil bumi rakyat.
Dalam bidang pendidikan, rekomendasi yang diterbitkan meminta agar
setiap siswa/siswi yang melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya
harus mendapat rekomendasi dari pimpinan dayah atau pimpinan balai
pengajian. Mendesak pemerintah untuk mewajibkan bagi siswa yang
melanjutkan pendidikan SD harus mampu membaca Alquran. Bagi yang
melanjutkan pendidikan SMP harus mampu membaca Arab Jawi.
Selanjutnya,
menambah jam pelajaran agama (terutama yang bernuansa kitab kuning dan
Jawi) di setiap jenjang pendidikan formal . Begitu juga, para ulama juga
mendesak agar agar menyamakan alokasi dana dayah dengan pendidikan
formal lainnya. Kemudian, proses pendidikan di lembaga pendidikan umum
harus mengintegrasikan ajaran Islam dalam proses pembelajaran setiap
mata pelajaran.
Rekomendasi di bidang pelaksanaan syariat Islam di
antaranya mendesak Pemerintah Aceh menetapkan istilah syariat Islam
sebagai istilah yang baku dalam Qanun Pemerintahan Aceh agar tidak
digantikan dengan Istilah Dinul Islam.
Pemerintah Aceh diminta agar
dengan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya dalam penerapan syariat
Islam sesuai Perda Nomor 5 Tahun 2000. Pemda Aceh agar mengalokasikan
dana dan sumberdaya lainnya untuk pelaksanaan syariat Islam (Pasal 127
ayat (3) UU Nomor 11/2006).
Dalam bidang pemerintahan, mendesak
eksekutif dan legislatif untuk segera menyelesaikan dan membuat
qanun-qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam dan hukum
acara. Mendesak DPRA segera mensahkan Qanun Jinayah dan Hukum Acara
Jinayah dan mendesak Gubernur Aceh untuk segera menandatangani Qanun
Jinayah dan Acara Jinayah.
Kita yakin dan tahu, Pemerintah, tentu saja
memiliki power untuk mewujudkan setiap rekomendasi ulama serta
harapan-harapan masyarakat dan Ormas Islam agar penerapan syari’at Islam
tidak sebatas simbol tanpa substansi.
Dengan rekomendasi-rekomendasi ini, tanggungjawab para ulama di Aceh
tehadap pembangunan Aceh yang Islami sesungguhnya sudah selesai pada
satu tahap, tinggal selanjutnya menanti sikap umara. Para ulama, kelak
jita ditanyai oleh Malaikat, mereka bisa menjawab bahwa mereka telah
mengingatkan pemerintah Aceh.
Sementara pemerintah Aceh, Gubernur, wakil
Gubernur, DPRA, pada kepala SKPA, saat kelak ditanyai oleh Malaikat
tentang sejauh mana upaya mereka dalam mengimplementasikan ajaran Islam
dalam semua tatanan kehidupan, tentang sudahkah kalian mengikuti Alquran
dan Hadist berdasarkan bimbingan para ulama, apa yang akan kalian
jawab?
Akhirnya, kita berharap agar relasi pemerintah Aceh dengan para ulama
bisa semakin erat dan saling mengisi. Bangunlah Aceh berdasarkan
wasiat-wasiat ulama yang telah wafat dan nasehat ulama yang masih hidup.
Ketahuilah, bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Wallahu a’lam
bishshawab.
Penulis adalah Kordinator Panitia Mubes HUDA ke-II Bidang Media dan Publikasi. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli, Aceh Utara.
http://www.antaraaceh.com/2013/12/opini-saatnya-pemerintah-aceh-mendengar-ulama.html