Visi Politik Orang Dayah
Oleh Teuku Zulkhairi REALITAS kuatnya pengaruh dayah dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh memang telah lama menjadi perhatian ba...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/01/visi-politik-orang-dayah.html
Oleh Teuku Zulkhairi
REALITAS kuatnya pengaruh
dayah dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh memang telah lama
menjadi perhatian banyak kalangan. Tidak sedikit penelitian dilakukan
untuk membedah pengaruh dayah dalam kehidupan masyarakat. Analisa
terkini tentang dayah dan penetrasinya menuju kekuasaan terbaca dari
opini Tgk Hasanuddin Yusuf Adan (HYA) berjudul “Wajah Semraut Politik
Aceh” (Serambi, 8/1/2014).
Tulisan tersebut memberikan analisa
(analisis prediktif) bahwa elemen dayah diprediksi akan menjadi penguasa
Aceh masa depan. Analisa seperti ini sah-sah saja, apalagi melihat
dinamika kemajuan dayah selama ini, yang telah berhasil membangun dan
melakukan penetrasi ideologi ke berbagai formasi struktur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Tak dapat dipungkiri jika posisi
dayah di Aceh saat ini masih menjadi menjadi sub sistem yang mengakar
kuat dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh. Realitas ini adalah
lanjutan perjalanan sejarah yang telah berlangsung sekian lama, yaitu
sejak pembawa ajaran Islam tiba di Nusantara, di Peureulak dan Pasee
khususnya. Namun, tulisan Tgk HYA tersebut pentingnya kiranya direspons
dan dikritisi agar kebangkitan dunia dayah saat ini tidak menjadi
kekhawatiran oleh pihak manapun.
Santri dayah Thalibul HUDA menghafal Matan Sulam al-Munawraqi |
Tgk
HYA juga meyakini bahwa dayah sedang berusaha mendudukkan
kader-kadernya ke Dinas Syariat Islam, Kementerian Agama, dan Badan
Dayah. Realitas dan keyakinan ini nampaknya menjadi alasan kuat bagi Tgk
HYA atas analisa prediktifnya bahwa di tengah bentrokan politik mantan
kombatan GAM yang terpecah saat ini, maka dayah akan tampil sebagai
penguasa masa depan Aceh.
Kebangkitan dayah
Oleh sebab itu, penting kiranya kita melihat kiprah dayah dewasa ini secara filosofis, dan beranjak dari berbagai sudut pandang dan pemikiran. Pada akhirnya, harapan saya, kebangkitan dayah saat ini seharusnya mestilah dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang akan berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di Aceh. Jika pun dalam praktiknya terdapat beberapa kasus yang berseberangan dengan misi mulia Islam, maka tidak lantas kemudian wajah dayah dilihat dari kasus tersebut. Analisis tentang dayah harus beranjak dari berbagai sudut dan ruang pemikiran.
Oleh sebab itu, penting kiranya kita melihat kiprah dayah dewasa ini secara filosofis, dan beranjak dari berbagai sudut pandang dan pemikiran. Pada akhirnya, harapan saya, kebangkitan dayah saat ini seharusnya mestilah dianggap sebagai kebangkitan elemen penting yang akan berperan mewujudkan kebangkitan peradaban Islam di Aceh. Jika pun dalam praktiknya terdapat beberapa kasus yang berseberangan dengan misi mulia Islam, maka tidak lantas kemudian wajah dayah dilihat dari kasus tersebut. Analisis tentang dayah harus beranjak dari berbagai sudut dan ruang pemikiran.
Sebelum kita berbicara dayah secara politik, mau
tidak mau kita harus terlebih dahulu mengkaji dayah secara ideologi
(mabda’). Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah memegang teguh
ideologi Islam. Ideologi Islam yang dibangun di dayah dijiwai oleh
akidah Ahlusunnah waljama’ah yang dititik beratkan dalam proses
pembelajaran sehingga akidah ini sangat menjiwai pergerakan komunitas
dayah. Kemanapun jaringan dayah menyebar, maka pasti akidah ini akan
diperkuat. Maka tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?
Sementara
itu, secara fikih, dayah memang menitik beratkan proses pembelajaran
dan pengamalan pada mazhab Syafi’i. Hal itu semata-mata untuk tujuan
menjaga persatuan dan keragaman dalam beribdah, sesuatu yang tidak salah
tentunya mengingat kapasitas Imam Syafi’i sebagai salah satu ulama
mazhab yang diakui dunia Islam. Namun demikian, harus diakui bahwa dayah
sangat terbuka dengan mazhab di luar Syafi’i seperti Hanafi, Maliki dan
Hambali. Bagi dayah, mempelajari dan mengamalkan Fikih Syafi’i bukan
berarti anti terhadap Imam Mazhab yang lain.
Sementara secara
politik, politik orang dayah sebenarnya sama saja seperti fenomena
santri di Jawa. Dalam hal pemikiran politik, orang dayah tidak terikat
oleh partai manapun, hatta parpol Islam sekalipun. Realitas ini
dibuktikan dengan begitu menyebarnya komunitas dayah dalam berbagai
partai, baik yang berideologi Islam maupun yang sekuler.
Namun yang
membedakan dengan komunitas dayah dengan santri (NU) di pulau jawa,
sejauh ini komunitas dayah masih komitmen dengan ideologi Islam, dan
tidak ikut-ikutan arus liberalisme dan sekulerisme. Ketika berhasil
melakukan penetrasi dalam kekuasaan, orang-orang yang dibesarkan di
dayah akan komit pada tujuan kebangsaan dan keislaman. Lihat misalnya
Bupati Aceh Timur saat ini yang pernah dibesarkan di dayah, beberapa
legislator dari dayah, dan juga ulama-ulama dari dayah yang hari ini
terpilih secara sah dan demokratis untuk berada di Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU).
Apa yang diperjuangkan oleh
komunitas dayah saat ini yang telah terjun ke berbagai sistem kehidupan,
sebenarnya tidak lain adalah perjuangan membawa cinta dan kasih sayang.
Orientasi mereka adalah memperjuangkan lima hal dasar yang harus
dilindungi berdasarkan teori dalam Ushul Fiqh yang disebut dharuriyat
al-khamsah, yaitu: Hifz al-din (penjagaan agama); Hifz al-nafs
(memelihara keselamatan fisik warga masyarakat); Hifz al-aqli
(pemeliharaan atas kecerdasan akal); Hifz al-nasl (memelihara
keselamatan keluarga dan keturunan); Hifz al-mal (memelihara keselamatan
hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran diluar
prosedur hukum). Selain itu juga untuk merealisasikan tujuan filosofis
(maqashid syari’iyah) aturan syariat lainnya.
Semakin terbuka
Penetrasi komunitas dayah dalam sistem kekuasaan dan pemerintahan dipengaruhi visi yang ditopang oleh teori Ushul Fiqh tersebut. Dan realitas membuktikan bahwa dayah dewasa ini sudah semakin terbuka. Komunitas dayah, kini tersebar di mana-mana dan bisa bergaul dengan siapa saja. Dengan realitas visi seperti ini, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kebangkitan komunitas dayah.
Penetrasi komunitas dayah dalam sistem kekuasaan dan pemerintahan dipengaruhi visi yang ditopang oleh teori Ushul Fiqh tersebut. Dan realitas membuktikan bahwa dayah dewasa ini sudah semakin terbuka. Komunitas dayah, kini tersebar di mana-mana dan bisa bergaul dengan siapa saja. Dengan realitas visi seperti ini, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kebangkitan komunitas dayah.
Bahkan,
seharusnya semua pihak bergandengan tangan dengan komunitas dayah dalam
merealisasikan agenda dharuriyat al-khamsah. Insya Allah komunitas dayah
tidak akan ekslusif. Saat komunitas dayah berada dalam lingkaran
kekuasaan, tidak akan ada yang akan disingkirkan. Keberadaan mereka di
sana, dengan segala kekurangan mereka semata-mata masih dalam konteks
keikutasertaan (partisipatif) dalam membangun bangsa dan agama.
Jika
pun suatu hari nanti kita akan melihat orang-orang dayah berada di di
Legislatif, Eksekutif, atau di instansi pemerintah seperti Dinas
Syari’at Islam, di Badan Dayah, di Kementerian Agama, atau di
instansi-instansi lainnya, maka yakinlah bahwa visi politik mereka di
sana semata-mata untuk tujuan yang mulia, memperjuangkan agar agenda
Islam menjadi agenda negara. Perlu dicatat, bahwa orang dayah saat ini
juga tidak duduk manis saja seperti disindir oleh Tgk HYA.
Eksistensi
dayah saat ini adalah bagian terpenting dari entitas pergerakan
bangkitnya peradaban Aceh karena dayah fokus dalam menyiapkan
perbendaharaan intelektual Islam masa depan, serta menyiapkan generasi
Islam yang peduli pada agama, kemanusiaan dan kebangsaan di tengah
gagalnya lembaga pendidikan umum merealisasikan tujuan ini.
Perjuangan
ini telah dilakukan dayah sejak lama, sejak Islam hadir di Aceh, dan
akan terus dilanjutkan. Insya Allah, dengan komunikasi-komunikasi yang
akan terus dibangun, visi mulia orang dayah seperti ini sejalan dengan
visi tiga kelompok lainnya yang disebutkan Tgk HYA. Wallahu a’lam
bishawab.
* Teuku Zulkhairi, MA, Alumnus Dayah
Babussalam Matangkuli, Aceh Utara, saat ini bekerja di Kanwil Kemenag
Aceh, dan Wasekjen Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email:
khairipanglima@gmail.com
sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/30/visi-politik-dayah