Riba Menghancurkan Peradaban (Perihal Kredit KFW)
Oleh Teuku Zulkhairi Tabloid Pikiran Merdeka, 18 Desember 2016 Terkejut dan sedih ketika membaca kabar di media massa...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/12/riba-menghancurkan-peradaban-perihal.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
Tabloid Pikiran Merdeka, 18 Desember 2016
Terkejut dan sedih ketika membaca kabar di media massa bahwa pihak legislatif
telah menyetujui kredit dari Bank Pemerintah Jerman, Kreditanstalt fur
Wiederaufbau (KFW) sebesar Rp 1.396.730.400.000 yang diajukan pihak
eksekutif. Partai-partai yang dikabarkan setuju atas pinjaman tersebut yaitu,
Partai Aceh, Golkar, Persatuan Pembangunan, PAN, Gerindra dan PKS. Sedangkan
Nasdem dan Demokrat tidak setuju,
harianaceh.co.id (24/10/2016).
Pinjaman dengan suku bunga (riba) yang mencapai 2,5 - 3,5% ini kemudian
mendapat kritikan yang sangat “pedas” dan mencerahkan dari Ahmad Humam
Hamid dalam opini Serambi Indonesia dengan judul “Menyoal Kredit KFW, (Senin,
31 Oktober 2016). Memang sangat aneh, di tengah banjirnya dana Otonomi khusus
(Otsus) dari Pemerintah Pusat, kenapa bisa muncul pikiran untuk berhutang dari
luar negeri, dan dengan jumlah bunga riba yang sangat besar?
Meminjam uang dari luar negeri meskipun dibolehkan namun seharusnya
memperhatikan berbagai sisi, khususnya pandangan Syari’at Islam serta nasib dan
masa depan Aceh. Sebagai umat Islam, fiqh halal dan haram sudah
semestinya terus mendapat perhatian kita dalam skala yang maksimal, karena dengan
cara demikian akan membedakan kita dengan non Islam. Dalam aspek ekonomi, Islam
melarang riba, sementara sistem kafir membolehkannya. Lalu kita pilih yang
mana?
Secara teologis, ketika umat Islam menggunakan sistem riba dalam praktek
ekonomi – perbankan, maka itulah tanda kehancuran dan kemunduran. Sebab, ukuran
pembangunan menuju kejayaan dari perspektif Islam adalah berdasarkan pandangan
Islam, yaitu halal dan haram. Halal adalah pembangunan yang dikehendaki Islam,
sementara riba yang haram adalah ditolak Islam karena muatannya yang menindas
dan meruntuhkan sebuah peradaban.
Apalagi, dalam kasus kredit dari KFW ini, jelas bahwa disana terdapat unsur
unsur ribawi yang mengancam keberlangsungan entitas Aceh. Secara ringkas dapat
kita katakan, di tengah kucuran dana Otsus dari pemerintah pusat, seharusnya
pemerintah Aceh tidak perlu menghutang uang untuk membangun Aceh. Sebab, secara
logika, jika saat punya uang (dana Otsus) saja kita menghutang, lalu bagaimana
kita akan membayarnya sementara dana otsus akan segera berakhir? Ini akan
menjadi beban besar bagi rakyat Aceh di masa depan. Apakah Gubernur dan pihak
legislatif (DPRA) sampai berfikir ke arah itu ?
Kredit pada bank Jerman tersebut, terdapat bunga yang bukan saja nilainya sangat
besar, namun juga statusnya bunga yang riba dalam ajaran Islam. Jadi bagaimana
membangun Aceh dengan cara yang haram, padahal Aceh juga sedang berjuang
menegakkan Syariat Islam secara kaffah? Sungguh ini sebuah hal yang sangat
ironis, memilukan sekaligus memalukan. Seharusnya jikapun tidak bisa membantu
menegakkan Syariat Islam secara kaffah di Aceh, minimal jangan menjadi pihak
yang merusak Syariat Islam.
Setidakanya terdapat dua pengkhianatan dari kredit pada KFW tersebut. Pertama,
pengkhianatan terhadap Syari’at Islam di Aceh. Kedua, pengkhianatan terhadap
masyarakat Aceh. Sebab, meskipun pinjaman riba tersebut berdalih untuk
pembangunan, namun ribanya adalah suatu penindasan. Dapat disimpulkan, bahwa
agenda pembangunan dengan uang riba yang “mencekik” leher sesungguhnya
merupakan “penindasan berlabel pembangunan”. Bahkan riba tersebut sebenarnya
bukan hanya penindasan, namun juga penghancur peradaban. Sungguh menyedihkan.
Bagaimana kita memaknai kredit riba
itu sebagai pembangunan padahal praktek riba adalah proses menuju kehancuran?
Dalam perspektif Islam, umat Islam akan mundur kalau meninggalkan ajaran Islam,
sebab sejarah menunjukkan dengan ajaran Islam pula lah yang telah membawa
mereka ke puncak kejayaannya. Melakukan praktek riba apalagi sebesar riba dalam
kasus kredit pada KFW ini, jelas-jelas akan membawa kepada kehancuran. Sama
sekali bukan pembangunan.
Ketika menjelaskan faktor-faktor yang bisa menyebabkan hancurnya sebuah
peradaban, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa praktek riba adalah sebagai salah satu
faktor hancurnya sebuah peradaban (Lihat Mukaddimah, terj. Masturi Ilham,
2011). Ibnu Khaldun (hal: 667) mengatakan: “Karena itu pada diri mereka
terdapat banyak kefasikan, keburukan, perilaku hina dan rekayasa dalam mata
pencaharian, baik dengan cara yang seharusnya maupun tidak. Seseorang beralih
memikirkan, mendalami dan menghimpun taktik untuk melakukannya. Akhirnya, Anda
lihat orang-orang tega berbohong, suka bertaruh, menipu, membujuk, mencuri,
menyimpang dari keimanan dan riba dalam jual beli”.
Bahkan, teori kehancuran peradaban akibat praktek kedurhakaan kepada Allah Swt
ini juga sangat jelas mendapat justifikasi dari Alqur’an. Simaklah ayat Allah
Swt berikut ini: “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup di negeri itu (supaya mentaati
Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (QS. Al Isra,: 16).
Teori riba sebagai salah satu penyebab hancurnya sebuah peradaban juga mendapat
banyak sekali pembenaran dalam sejarah Islam, bahkan juga sejarah bangsa-bangsa
di era modern. Sebagai contoh, jika kita melihat faktor-faktor penyebab
runtuhnya Khilafah Usmaniyah, maka kita akan menemukan fakta-fakta bahwa salah
satu faktornya yaitu disebabkan sistem ekonomi Islam telah diganti menjadi
sistem ekonomi ribawi yang saat ini berwujud nyata pada eksistensi Bank Konvensional.
Pada awalnya, terdapatnya keluarga Khilafah Usmaniyah yang menyimpan
pundi-pundi harta membuat mereka terjebak dalam sistem ribawi yang dipelopori
oleh kalangan Yahudi dan dengan kalangan mereka sebagai bankirnya.
Perlahan-lahan Kekhalifahan Islam Usmaniyah melemah karena terjebak hutang riba
kepada para bankir.
Berkata Abdalqadar Al-Sufi,
“Kejatuhan Khalifah karena hutang riba yang secara matematis tidak dapat
dipenuhi dan dilampaui, yang pembayaran bunganya saja mencegah bisa terlepas
dari jumlah utang pokoknya. Pinjaman-pinjaman untuk membayar bunga atas
utang-utang – ini saja sudah cukup untuk menghancurkan peradaban manusia
terbesar - dan penipuan yang tidak dapat dielakkan: bahwa proyek – teknik
mengikat dan menghubungkan kepada mekanisme utang-berbunga dan lembaga-lembaga
yang membuat dua fenomena ini tampak menjadi satu”.. (lihat: Kembalinya
Khilafah, 2016: 69).
Jadi, keruntuhan khilafah Usmaniyah
yang telah memimpin peradaban melebihi lima abad adalah akibat keserakahan
kalangan internal kekhalifahan yang kemudian membuat mereka terjebak dengan
praktek ribawi yang dengan sengaja dijalankan kalangan Yahudi untuk memperteguh
hegemoni dan eksistensi mereka atas berbagai bangsa saat itu. Padahal, riba
sama sekali bertentangan dengan Syarî`at Islam. Dengan kata lain, ketika
Syarî`at Islam (dalam bentuk keharaman riba) telah dilanggar, maka ini menjadi
faktor runtuhnya Khalifahan Islam Usmaniyah.
Di dunia modern, salah satu negara
yang ambruk oleh sistem riba yang merupakan ideologi kapitalisme ini adalah
Yunani. Sementara negara-negara Eropa lainnya perlahan namun pasti akan
mengalami nasib serupa. Maka ketika Islam melarang praktek riba, sebagai ajaran
yang bersumber dari langit, tentu saja terdapat hikmat yang sangat besar.
Apakah kita berfikir? Pemerintah Aceh dan legislatif harus sadar sebelum
terlambat. Takutlah kepada Allah swt yang telah mengharamkan riba. Wallahu
a’lam bishshawab.
Penulis adalah Sekjend Pengurus Wilayah Badan Koordinasi
Mubaligh Indonesia (PW Bakomuibin) Prov. Aceh. Mahasiswa Program Doktoral UIN
Ar-Raniry, Banda Aceh dan Peneliti di AFSIC. Email abu.erbakan@gmail.com.