Ulama Pemimpin, Kenapa Tidak?
Oleh Teuku Zulkhairi Salah satu kesan yang dirasakan masyarakat dari eksistensi politik konvensional sejauh ini adalah prak...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/07/ulama-pemimpin-kenapa-tidak.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Salah satu kesan
yang dirasakan masyarakat dari eksistensi politik konvensional sejauh ini
adalah praktek politik yang bukan saja jauh dari pro rakyat, namun juga lepas
dari nilai-nilai Islam. Politik yang tidak pro rakyat terlihat ketika
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan jarang memihak rakyat atau karena
sedikitnya kebijakan pro rakyat yang dibuat. Fenomena ini barangkali terjadi
oleh karena tidak disadarinya substansi sebuah amanah atau jabatan oleh yang
mengembannya.
Sementara itu, politik yang secara jelas lepas
atau dilepaskan dari ikatan Islam – sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia
– ditandai dengan hilangnya posisi Islam dalam diskursus rumusan model politik
sehingga kewajiban-kewajiban Islam yang (seharusnya) melekat pada diri seorang
pemimpin menjadi sesuatu yang terbaikan secara terus menerus.
Alhasil, politik cenderung dianggap sebagai
sesuatu yang kotor dan rusak. Realitasnya, terdapat kecenderungan cara pandang
atau mindseat berfikir masyarakat kita bahwa berbicara politik tidak perlu
membawa diskursus Islam di dalamnya. Intinya, ada sekulerisasi politik di sini
yang mungkin merupakan efek panjang keberhasilan penjajah dalam merusak pola
pikir kita. Efek dari sekulerisasi ini, kriteria pemimpin yang digariskan Islam
menjadi terpental dari agenda dan proses suksesi kepemimpinan, seperti
pemilihan para anggota legislatif dan eksekutif.
Padahal, berbicara tentang
pemimpin - bagi kita umat Islam - seharusnya adalah berbicara tentang siapa
yang paling menenuhi kriteria-kriteria kepemimpinan dalam Islam dan juga
bagaimana proses memilihnya. Yang terjadi justru sebaliknya, ulama justru
“dihilangkan” dari diskursus tentang kepemimpinan dengan provokasi-provokasi
pemikiran yang tidak mencerdaskan. Padahal, sosok ulama justru paling memenuhi
kriteria-kriteria kepemimpinan dalam Islam, meskipun kita tidak memungkiri juga
terdapat sebagian kalangan politisi lainnya yang memenuhi kriteria serupa.
Sejauh ini, di Aceh misalnya, kriteria mendasar
pemimpin yang digariskan Islam yang berhasil disusun dalam aturan yuridis hanya
pada “test baca Alqur’an”, yaitu bahwa seorang pemimpin atau wakil rakyat
dimestikan mampu membaca Alqur’an. Hingga sejauh ini, 14 tahun setelah syari’at
Islam diterapkan, kita belum beranjak menuju kriteria-kriteria kepemimpin Islam
selanjutnya, misalnya seperti kriteria kepemimpinan yang disusun oleh Imam
Mawardi dalam Ahkamussultaniyah, baik tata cara pemilihan pemimpin
maupun kriteria mendasar kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin.
Padahal, politik adalah salah satu bahasan yang
mendapat perhatian besar Islam yang dibuktikan dengan banyaknya bahasan ulama
soal ini, berdasarkan referensi Alqur’an dan hadis. Artinya, dalam perspektif
Islam, politik adalah suatu dimensi kehidupan yang harus “ditundukkan”, bukan
sesuatu yang kita harus lari darinya. Sebab, seperti kata Mantan Perdana
Menteri Turki, Prof. Najmuddin Erbakan “umat Islam yang tidak peduli politik,
maka akan dipimpin oleh politisi yang tidak pedulikan urusan muslim”. Dalam
Islam, politik digunakan untuk merealisasikan Maqashid Syari’ah, yaitu
untuk menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga
harta.
Sejujurnya, kalau kita beranjak pada
kriteria-kriteria kepemimpinan Islam lebih luas, kita akan menemukan bahwa
banyak kriteria kepemiminan dalam Islam yang dimiliki para ulama, meskipun tentu
saja kita juga tidak memungkiri terdapat pemimpin atau calon pemimpin selain
ulama yang juga memenuhi kriteria tersebut. Namun yang jelas, secara umum para
ulama adalah sosok yang memenuhi kriteria mendasar kepemimpinan dalam Islam.
Pada titik ini, terasa sekali bahwa kita membutuhkan lebih banyak lagi kajian
tentang Fiqh As-Siyasah (fiqih politik), baik di lembaga pendidikan
maupun di masyarakat akar rumput, sehingga diskursus tentang kepemimpinan akan
mengarah sesuai perspektif Islam, yaitu sesuai dengan kriteria-kriteria
kepemimpinan yang digambarkan Islam.
Secara kasat mata, apabila kita membandingkan
antara politik ulama dengan politik konvensional, yaitu politik yang
menghilingkan diskursus Islam di dalamnya, maka sejatinya saat ini dan di masa
depan tidak diragukan lagi kita sangat membutuhkan model praktek politik ulama oleh
sebab terpancar darinya nilai-nilai Islam yang mulia. Ya, kita butuh model
politik yang santun di bawah bimbingan ulama. Apalagi, di zaman penuh fitnah
seperti saat ini, zaman penuh pembusukan politik yang bisa menerpa siapa saja,
maka saya yakin hanya nilai-nilai Islam diwakili ulama yang mampu menghadapinya
oleh karena praktik politik yang bersandar pada nilai-nilai Islam, tentu saja
para ulama tidak akan menghadapi lawan politik dengan cara-cara yang keluar
dari cara Islam. Begitu juga dalam hal menjalankan pemerintahan.
Adanya anggapan ulama tidak sanggup mengelola
pemerintahan sebenarnya tidak lain merupakan kelanjutan dari sekulerisasi
pemikiran. Lebih dari itu, anggapan semacam itu juga tidak bisa dibuktikan sama
sekali. Belum pernah ada bukti sejarah ulama tidak bisa mengelola pemerintaha.
Yang justru bisa kita saksikan adalah sebaliknya, bahwa pemimpin ulama begitu
dicintai rakyatnya. Kita telah secara nyata menyaksikan perjalanan sejarah yang
melahirkan sosok-sosok pemimpin hebat dari kalangan ulama, dimana mereka begitu
dekat dengan rakyat, jujur dan juga eksis tampil menyelesaikan problem
masyarakatnya. Realitas ini menandakan bahwa politik ulama cenderung menjadi
solusi atas realitas praktek “politik kotor” di negara kita sejauh ini.
Sementara itu, kesan dari politik yang selalu bisa kita tangkap dari eksistensi
politik ulama adalah sebuah cita-cita membawa rakyat ke pintu kebahagiaan dunia
dan akhirat, sesuatu yang menjadi nilai lebih kepemimpinan ulama.
Dengan keulamaannya, seorang pemimpin ulama akan diberikan
kemudahan dan kunci-kunci dalam mengelola pemerintahannya. Kunci tersebut
adalah takwa. Lihatlah bagaimana Allah Swt membeirkan kelebihan kepada
orang-orang yang: “Bertakwalah
pada Allah maka Allah akan mengajarimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 282). Ayat lain juga menegaskan, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar” [QS. Ath-Thalaq : 2]. Ayat berikutnya: “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [Ath-Thalaq
: 4).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana Allah
Swt sebagai akan membantu orang-orang yang bertakwa dalam menyelesaikan
urusan-urusannya. Sementara itu, kita yakin bahwa standar takwa paling dekat
telah dimiliki oleh para ulama. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
ulama tidak mampu menjadi pemimpin. Sebab, ketika seorang pemimpin bertakwa,
yang kita yakin kepemimpinan ulama salah satu yang memenuhi kriteria takwa.
Berikutnya, tidak diragukan lagi bahwa ia juga akan membuat rakyat yang
dipimpinnya beriman dan bertakwa. Lihatlah ayat ini bagaimana Allah akan
memberikan kita kemudahan dalam urusan dunia. “Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf:
96).
Secara eksplisit, kita bisa melihat keberhasilan
kepemimpinan ulama, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Nusa
Tenggara Barat (NTB) kita mengenal Tuan Guru Bajang (Zainul Majdi), seorang
ulama yang sukses sebagai pemimpin. Di bawah kepemimpinanya, NTB berhasil
meraiah capaian-capaian keberhasilan. Meraih penghargaan bidang pangan, dan
juga mencapai keberhasilan bidang perekonomian
dimana tahun 2015 tumbuh 21 persen, pertumbuhan yang tertinggi dibanding
seluruh provinsi di Indonesia, (detik.com, 9 Februari 2016).
Sementara itu, di luar negeri, kita juga
mengenal sosok Tuan Guru Nik Abdul Azis, seorang ulama yang menjadi pemimpin di
negara bagian Kelantan Malaysia. Banyak yang menulis sosok Nik Azis ini tentang
sosok beliau yang luar biasa, kesederhanaan dan juga kecintaan luar biasa
rakyat kepadanya.
Pada tahun 2008, Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK)
menganugerahkan beliau sebagai Menteri Besar (pejabat tinggi negara bagian di
Malaysia, sejajar gubernur di Indonesia) yang memiliki catatan paling bersih di
Malaysia. Penghargaan itu diberikan sebagai menghargai usaha beliau menentang
korupsi sepanjang mengatur Kelantan selama hampir 18 tahun. Pada tahun 2009,
beliau ditempatkan di antara 50 tokoh Islam berpengaruh didunia dan terdaftar
dalam buku berjudul “The 500 Most Influential Muslims” sebagaimana
dilansir dakwatuna.com yang mengutip The Malaysian Insider. Begitulah antara lain capaian-capaian keberhasilan kepemimpinan
ulama.
Jadi, ulama pemimpin di Aceh, kenapa tidak?
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda
Aceh.
Link: http://aceh.tribunnews.com/2016/07/28/ulama-pemimpin-mengapa-tidak
Link: http://aceh.tribunnews.com/2016/07/28/ulama-pemimpin-mengapa-tidak