Ulama Pemimpin, Kenapa Tidak?

Oleh Teuku Zulkhairi           Salah satu kesan yang dirasakan masyarakat dari eksistensi politik konvensional sejauh ini adalah prak...


Oleh Teuku Zulkhairi
          Salah satu kesan yang dirasakan masyarakat dari eksistensi politik konvensional sejauh ini adalah praktek politik yang bukan saja jauh dari pro rakyat, namun juga lepas dari nilai-nilai Islam. Politik yang tidak pro rakyat terlihat ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan jarang memihak rakyat atau karena sedikitnya kebijakan pro rakyat yang dibuat. Fenomena ini barangkali terjadi oleh karena tidak disadarinya substansi sebuah amanah atau jabatan oleh yang mengembannya.

Sementara itu, politik yang secara jelas lepas atau dilepaskan dari ikatan Islam – sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia – ditandai dengan hilangnya posisi Islam dalam diskursus rumusan model politik sehingga kewajiban-kewajiban Islam yang (seharusnya) melekat pada diri seorang pemimpin menjadi sesuatu yang terbaikan secara terus menerus.

Alhasil, politik cenderung dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan rusak. Realitasnya, terdapat kecenderungan cara pandang atau mindseat berfikir masyarakat kita bahwa berbicara politik tidak perlu membawa diskursus Islam di dalamnya. Intinya, ada sekulerisasi politik di sini yang mungkin merupakan efek panjang keberhasilan penjajah dalam merusak pola pikir kita. Efek dari sekulerisasi ini, kriteria pemimpin yang digariskan Islam menjadi terpental dari agenda dan proses suksesi kepemimpinan, seperti pemilihan para anggota legislatif dan eksekutif. 

Padahal, berbicara tentang pemimpin - bagi kita umat Islam - seharusnya adalah berbicara tentang siapa yang paling menenuhi kriteria-kriteria kepemimpinan dalam Islam dan juga bagaimana proses memilihnya. Yang terjadi justru sebaliknya, ulama justru “dihilangkan” dari diskursus tentang kepemimpinan dengan provokasi-provokasi pemikiran yang tidak mencerdaskan. Padahal, sosok ulama justru paling memenuhi kriteria-kriteria kepemimpinan dalam Islam, meskipun kita tidak memungkiri juga terdapat sebagian kalangan politisi lainnya yang memenuhi kriteria serupa.

Sejauh ini, di Aceh misalnya, kriteria mendasar pemimpin yang digariskan Islam yang berhasil disusun dalam aturan yuridis hanya pada “test baca Alqur’an”, yaitu bahwa seorang pemimpin atau wakil rakyat dimestikan mampu membaca Alqur’an. Hingga sejauh ini, 14 tahun setelah syari’at Islam diterapkan, kita belum beranjak menuju kriteria-kriteria kepemimpin Islam selanjutnya, misalnya seperti kriteria kepemimpinan yang disusun oleh Imam Mawardi dalam Ahkamussultaniyah, baik tata cara pemilihan pemimpin maupun kriteria mendasar kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin.

Padahal, politik adalah salah satu bahasan yang mendapat perhatian besar Islam yang dibuktikan dengan banyaknya bahasan ulama soal ini, berdasarkan referensi Alqur’an dan hadis. Artinya, dalam perspektif Islam, politik adalah suatu dimensi kehidupan yang harus “ditundukkan”, bukan sesuatu yang kita harus lari darinya. Sebab, seperti kata Mantan Perdana Menteri Turki, Prof. Najmuddin Erbakan “umat Islam yang tidak peduli politik, maka akan dipimpin oleh politisi yang tidak pedulikan urusan muslim”. Dalam Islam, politik digunakan untuk merealisasikan Maqashid Syari’ah, yaitu untuk menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga harta.

Sejujurnya, kalau kita beranjak pada kriteria-kriteria kepemimpinan Islam lebih luas, kita akan menemukan bahwa banyak kriteria kepemiminan dalam Islam yang dimiliki para ulama, meskipun tentu saja kita juga tidak memungkiri terdapat pemimpin atau calon pemimpin selain ulama yang juga memenuhi kriteria tersebut. Namun yang jelas, secara umum para ulama adalah sosok yang memenuhi kriteria mendasar kepemimpinan dalam Islam. Pada titik ini, terasa sekali bahwa kita membutuhkan lebih banyak lagi kajian tentang Fiqh As-Siyasah (fiqih politik), baik di lembaga pendidikan maupun di masyarakat akar rumput, sehingga diskursus tentang kepemimpinan akan mengarah sesuai perspektif Islam, yaitu sesuai dengan kriteria-kriteria kepemimpinan yang digambarkan Islam.

Secara kasat mata, apabila kita membandingkan antara politik ulama dengan politik konvensional, yaitu politik yang menghilingkan diskursus Islam di dalamnya, maka sejatinya saat ini dan di masa depan tidak diragukan lagi kita sangat membutuhkan model praktek politik ulama oleh sebab terpancar darinya nilai-nilai Islam yang mulia. Ya, kita butuh model politik yang santun di bawah bimbingan ulama. Apalagi, di zaman penuh fitnah seperti saat ini, zaman penuh pembusukan politik yang bisa menerpa siapa saja, maka saya yakin hanya nilai-nilai Islam diwakili ulama yang mampu menghadapinya oleh karena praktik politik yang bersandar pada nilai-nilai Islam, tentu saja para ulama tidak akan menghadapi lawan politik dengan cara-cara yang keluar dari cara Islam. Begitu juga dalam hal menjalankan pemerintahan.

Adanya anggapan ulama tidak sanggup mengelola pemerintahan sebenarnya tidak lain merupakan kelanjutan dari sekulerisasi pemikiran. Lebih dari itu, anggapan semacam itu juga tidak bisa dibuktikan sama sekali. Belum pernah ada bukti sejarah ulama tidak bisa mengelola pemerintaha. Yang justru bisa kita saksikan adalah sebaliknya, bahwa pemimpin ulama begitu dicintai rakyatnya. Kita telah secara nyata menyaksikan perjalanan sejarah yang melahirkan sosok-sosok pemimpin hebat dari kalangan ulama, dimana mereka begitu dekat dengan rakyat, jujur dan juga eksis tampil menyelesaikan problem masyarakatnya. Realitas ini menandakan bahwa politik ulama cenderung menjadi solusi atas realitas praktek “politik kotor” di negara kita sejauh ini. Sementara itu, kesan dari politik yang selalu bisa kita tangkap dari eksistensi politik ulama adalah sebuah cita-cita membawa rakyat ke pintu kebahagiaan dunia dan akhirat, sesuatu yang menjadi nilai lebih kepemimpinan ulama.

Dengan keulamaannya, seorang pemimpin ulama akan diberikan kemudahan dan kunci-kunci dalam mengelola pemerintahannya. Kunci tersebut adalah takwa. Lihatlah bagaimana Allah Swt membeirkan kelebihan kepada orang-orang yang: “Bertakwalah pada Allah maka Allah akan mengajarimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 282). Ayat lain juga menegaskan, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar” [QS. Ath-Thalaq : 2]. Ayat berikutnya: “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [Ath-Thalaq : 4).

Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana Allah Swt sebagai akan membantu orang-orang yang bertakwa dalam menyelesaikan urusan-urusannya. Sementara itu, kita yakin bahwa standar takwa paling dekat telah dimiliki oleh para ulama. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ulama tidak mampu menjadi pemimpin. Sebab, ketika seorang pemimpin bertakwa, yang kita yakin kepemimpinan ulama salah satu yang memenuhi kriteria takwa. Berikutnya, tidak diragukan lagi bahwa ia juga akan membuat rakyat yang dipimpinnya beriman dan bertakwa. Lihatlah ayat ini bagaimana Allah akan memberikan kita kemudahan dalam urusan dunia. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf: 96).

Secara eksplisit, kita bisa melihat keberhasilan kepemimpinan ulama, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) kita mengenal Tuan Guru Bajang (Zainul Majdi), seorang ulama yang sukses sebagai pemimpin. Di bawah kepemimpinanya, NTB berhasil meraiah capaian-capaian keberhasilan. Meraih penghargaan bidang pangan, dan juga mencapai keberhasilan bidang perekonomian dimana tahun 2015 tumbuh 21 persen, pertumbuhan yang tertinggi dibanding seluruh provinsi di Indonesia, (detik.com, 9 Februari 2016).

Sementara itu, di luar negeri, kita juga mengenal sosok Tuan Guru Nik Abdul Azis, seorang ulama yang menjadi pemimpin di negara bagian Kelantan Malaysia. Banyak yang menulis sosok Nik Azis ini tentang sosok beliau yang luar biasa, kesederhanaan dan juga kecintaan luar biasa rakyat kepadanya. 

Pada tahun 2008, Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) menganugerahkan beliau sebagai Menteri Besar (pejabat tinggi negara bagian di Malaysia, sejajar gubernur di Indonesia) yang memiliki catatan paling bersih di Malaysia. Penghargaan itu diberikan sebagai menghargai usaha beliau menentang korupsi sepanjang mengatur Kelantan selama hampir 18 tahun. Pada tahun 2009, beliau ditempatkan di antara 50 tokoh Islam berpengaruh didunia dan terdaftar dalam buku berjudul “The 500 Most Influential Muslims” sebagaimana dilansir dakwatuna.com yang mengutip The Malaysian Insider. Begitulah antara lain capaian-capaian keberhasilan kepemimpinan ulama. 

Jadi, ulama pemimpin di Aceh, kenapa tidak?


Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Link: http://aceh.tribunnews.com/2016/07/28/ulama-pemimpin-mengapa-tidak

Related

Syari'at Islam di Aceh 644334326275369170

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item