"Inilah Kita, Para Pendukung Kudeta"
Pemuda Turki menolak kudeta. Foto: afp/detik Oleh Teuku Zulkhairi Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak umat Islam atau kelompok uma...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/08/inilah-kita-para-pendukung-kudeta_14.html
Pemuda Turki menolak kudeta. Foto: afp/detik |
Oleh Teuku Zulkhairi
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak umat Islam atau kelompok umat Islam yang berjuang untuk kebangkitan Islam. Di antara mereka ada yang berjuang lewat jalur politik, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Sebenarnya aneka perjuangan itu adalah semacam tauzi’ul amal, yakni saling mengisi dan berbagi peran, seperti susunan batu bata yang mengokohkan sebuah bangunan. Maka sejatinya tidak sepatutnya kita pertentangkan amal mereka, karena yang mesti terus kita pertanyakan adalah peran dan kontribusi kita.
Adanya sejumlah umat Islam yang berjuang lewat politik sebenarnya membuktikan universalitas ajaran Islam. Seperti kata Tgk.H. Muhammad Yusuf A.Wahab (Tusop), “Jika agama tidak diperkuat oleh politik, maka politik akan menjadi fitnah besar bagi agama”.
Di hadapan realitas tauzi’ul amal seperti ini, yang disedihkan adalah saat sebuah musibah menimpa sekelompok umat Islam yang sedang berjuang lewat politik, misalnya di Mesir, lalu kemudian saat mereka berkuasa segera dikudeta oleh khawarij yang didukung Israel dan barat.
Dan kita, lalu berdiri pada posisi mendukung kudeta tersebut dengan jubah agama dan khutbah-khutbah moral. Padahal kita tahu harga darah umat Islam di hadapan Allah Swt. Padahal, kita paham untuk siapa agenda kudeta di Mesir itu dijalankan. Kita paham bahwa setelah kudeta di Mesir terjadi, segera Israel memberi gelar “pahlawan” untuk As-Sisi.
Dunia juga paham perbedaan kondisi Palestina di era Mursi dan pasca kudeta. Tapi kita bukan saja gagal menunjukkan simpati dan empati terhadap umat Islam di sana, kita justru lebih fokus pada upaya kita meyakinkan siapa saja bahwa kudeta itu tidak masalah, bahwa seolah kezaliman yang dirasakan umat Islam disana hanyalah Hoax. Begitulah dunia telah menipu orang-orang yang bisa ditipu.
Dan lagi-lagi kita hanya fokus pada upaya membangun kebencian terhadap mereka yang anti kudeta. Ya, meskipun jumlah orang-orang semacam ini sejatinya bisa dihitung jari, dan yang terlihat sejauh ini yang punya pemikiran semacam itu adalah orang-orang yang itu saja. Mereka nampak banyak karena giat bersuara.
Lalu, tentang Turki, kita paham bahwa saat kudeta Turki terbaru, Barat dan agen-agennya berharap-harap cemas agar kudeta itu berhasil yang bukti tentang ini bisa disimak dari manuver dan lisan tokoh-tokoh mereka.
Tapi sekali lagi, kita justru terus mencari alasan untuk tidak memahami persolan yang menimpa umat semacam ini, sembari terus melukai hati saudara-saudara kita yang tersakiti oleh kudeta tersebut dengan kalimat-kalimat sindiran dan ejekan. Seolah saudara-saudara kita yang kita sakiti tersebut adalah musuh besar Islam.
Kita pura-pura tidak paham mengapa mereka bersikap menentang kudeta, padahal kita tahu kudeta tersebut adalah upaya untuk memberangus gerakan kebangkitan Islam. Demikianlah, tanpa kita sadari memang politik “devide et ampera” modern telah begitu kuat menancap dan mempengaruhi sebagian umat Islam, padahal kita tahu apa tujuan politik devide et ampera itu dijalankan di tengah umat Islam.
Kita paham bahwa sejak satu dekade silam, umat Islam di Turki telah bisa merasakan hak-haknya sebagai warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya, sesuatu yang diberangus di era sebelumnya. Dan kita, tidak mau paham soal ini, kita hanya berfikir bagaimana meyakinkan diri kita dan orang lain, bahwa para pelaku kudeta itu adalah orang-orang benar. Penyakit kronis apakah ini?
Kita juga tahu bahwa di tengah kondisi Turki yang terkepung dari segala penjuru, oleh Iran, PKK, ISIS, Israel, Barat dll, adalah hal sulit bagi Turki untuk berjuang sendirian melawan cengkeraman Barat-Israel atas Palestina. Turki lalu jalankan politik pragmatis dengan membuka kembali hubungan dengan Israel, dimana sebenarnya tujuan Turki tidak lain adalah untuk membantu Gaza yang sudah begitu menderita di blokade Israel dengan bantuan Mesir.
Dan umat Islam di Gaza ternyata juga sambut positif kebijakan Turki ini, karena mereka tahu bahwa Turki dibawah Erdogan tidak pernah melupakan Palestina, dan selalu menjadi perhatian utama mereka.
Tapi, sekali lagi, kita tentu tidak mau tahu. Yang kita lakukan adalah mencari alasan lain untuk tetap memandang buruk perjuangan mereka, sembari membenarkan para pelaku kudeta yang mencoba merubah Turki menjadi zona konflik dan perang saudara. Begitulah kondisi dunia saat ini.
Tapi tidak sampai di sini, kita lalu membandingkan antara Gulen dan Erdogan, sembari meyakinkan diri kita dan beberapa orang lain bahwa Gulen adalah pengikut Said Nursi, yang arah dan tujuannya adalah bahwa kudeta itu layak. Padahal kita tahu bahwa jika dulu Said Nursi pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengajari tauhid bangsa Turki, dengan resiko dikejar rezim sekuler Turki saat itu sehingga beliau mengalami siksaan tak terperi, juga pernah ditahan dan Rusia, sementara Gulen sudah 20 tahun hidup nyaman di Amerika dan berada dalam pangkuannya.
Tapi kita tetap membenci dan mendukung upaya kudeta terhadap Erdogan dengan khutbah-khutbah agama, padahal kita tahu bahwa Erdogan hidup di Turki dan bersama rakyatnya membangun negeri itu untuk semua kelompok, sehingga Turki kini menjadi negara yang maju dan dermawan. Erdogan memimpin di tengah badai kudeta yang ditiupkan kalangan Sekuler dan Kemalis yang bertujuan menghadang kebangkitan Islam.
Berkali-kali percobaan kudeta terhadap pemerintahannya oleh karena upayanya membawa Islam kembali dalam kehidupan bangsa Turki. Dan terakhir pemerintahannya kembalii coba dikudeta lagi oleh gank khawarij binaan CIA Amerika. Tapi oleh para munafiq dan media barat dibolak balek, seolah Erdogan lah yang melakukan kudeta, dan kita percaya saja scenario penggiringan opini semacam itu. Inilah kita, para pendukung kudeta, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Lucunya Kita…
Lucunya, kita hanya bisa bertanya, kenapa Mursi tidak menyerbu Israel dalam satu tahun kepemimpinan sah mereka? Kita lupa bertanya, apakah setelah kudeta Mesir lalu nasib rakyat Palestina menjadi semakin baik? Realitasnya justru semakin menderita, dan bahkan bertambah-tambah penderitaan mereka.
Jika rezim-rezim Mesir yang lahir sebelum Arab Spring lahir berada di bawah dikte kolonialis, atau dengan kata lain adalah boneka mereka, maka rezim pasca kudeta, yaitu As-Sisi, adalah boneka Barat berikutnya dalam agenda mereka menguasai kawasan. Cukup banyak fakta yang menunjukkan Israel dan Barat berada di balik kudeta di Mesir. Setelah kudeta di Mesir, PM Israel Benyamin Netanyahu mengatakan, “Sikap Mursi jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran”.
Dan kita, seperti biasa, supaya terlihat cerdas, tidak peduli akan fakta ini. Kita hanya fokus pada kebencian yang mungkin akan bawa sampai kita mati?
Dan sekarang, anehnya kita kembali mengajukan pertanyaan lucu, kenapa Erdogan-Turki tidak menyerbu Israel? Kita tidak mau tahu apa saja yang sudah dilakukan Turki untuk Palestina. Dan kita juga pura-pura tidak tahu, bahwa setelah Mesir jatuh dalam “pelukan Israel”, Turki hampir sendiri dalam upaya membantu Palestina, plus Qatar. Beruntung, Syaikh-Syaikh Turki dan politisinya konsisten pada isu pembebasan Palestina. Sementara Mesir, perbatasannya dengan Gaza saja perlu linangan air mata umat Islam baru mau membukanya. Padahal rezim kudeta di Mesir tahu bahwa Gaza sedang di blokade Israel. Sungguh tidak berperikemanusiaan. Dan kita, pura-pura tidak tahu fakta ini. Kita, justru semakin mencintai rezim kudeta.
Akan halnya ikhwan dan perannya dalam perlawanan terhadap Israel, kiprah mereka telah terbukti dalam sejarah saat perang Arab-Israel tahun 1948. Meski mereka bukan sebuah negara, melainkan sebuah organisasi, keikutsertaan Ikhwanul Muslimun dalam perang tersebut menjadi salah satu contoh terbaik bagi bangsa Arab dan umat Islam saat itu yang mencoba menjaga ‘izzah umat Islam dan setiap jengkal tanah peradaban mereka, saat dimana negara-negara Arab berada dalam kekuasaan kaum kapitalis. Para pengikut gerakan ini dari berbagai negara saat itu berbondong-bondong datang membela Palestina.
Namun, oleh karena mereka bukan sebuah negara, atas tekanan bangsa kolonial, yaitu Inggris, pemuda-pemuda ikhwan lalu ditarik dari medan perang, agar skenario berdirinya Israel terlaksana.
Kita konsisten pada kebencian terhadap ikhwan, padahal kita tahu, bahwa atas tekanan mereka kepada Gamal Abdel Nasser, Mesir lalu mendukung kemerdekaan Indonesia. Tapi kita, seperti biasa, tidak mau tahu fakta sejarah semacam ini, kita lebih asyik pada kebencian yang terus kita semai.
Dan saat Ikhwan dipilih umat Islam di Mesir pasca revolusi, perdana menteri Mesir, Hisham Qandil menginjakkan kakinya di Gaza, sesuatu yang mengindikasikan proyek pembebasan Palestina akan segera dimulai.
Namun, sekali lagi, kebangkitan Islam kembali dibendung, Mursi segera dikudeta, darah umat Islam ditumpahkan hingga di dalam mesjid, di kampus dan dimana saja. Dan kita, yang mengaku berilmu dari para Syaikh, terus berkhutbah mendukung khawarij pelaku kudeta serta menghina pemerintahan sah pilihan mayoritas umat Islam di Mesir. Apakah mayoritas umat Islam di Mesir adalah orang-orang bodoh sehingga mereka memilih Mursi, apakah mereka orang-orang yang akidahnya sesat?
Lalu, kita bandingkan dengan rezim pasca kudeta. Beberapa waktu lalu, Sameh Syukri menginjakkan kaki di Israel untuk menonton final piala Eropa. Atraksi pelayanan sempurna rezim kudeta Mesir terhadap Israel.
Dan kita, seperti biasa, kita diam atas fakta ini, bahwa rezim kudeta sedang melayani kaum imperialis-musuh Islam. Dan kita terus menerus berkhutbah membela pelaku kudeta dengan mengenakan jubah kelompok kita, sembari melantunkan ayat-ayat “kullu hizbim bima ladihim farihuun”. Kita bukan saja gagal menunjukkan secuil simpati, tapi justru mencari ayat-ayat untuk menegaskan kita layak untuk tidak bersimpati.
Tidak sampai di situ, untuk membenarkan sikap dan kebencian kita, yang entah diajarkan oleh siapa, kita lalu mencari dukungan umat Islam atas kebencian kita itu, agar orang lain juga tidak bersimpati kepada mereka yang dibantai rezim kudeta, dengan alasan eksistensi kelompok yang kita caci dan benci ini berbahaya bagi eksistensi fondasi Al-Azhar, padahal kita paham juga banyak syaikh di Al-Azhar atau alumnusnya yang mendukung Ikhwan, dan bahwa jelas posisi ikhwan yang senantiasa mendukung independensi Al-Azhar. Tapi, itulah kita, segelintir kecil pendukung kudeta Mesir dan Turki. Semoga, kebencian ini tidak kita bahwa sampai mati. Amiin