Menuju 'Pilkada Islami'
Oleh Teuku Zulkhairi Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh, potensi hujat menghujat antar penduk...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/09/menuju-pilkada-islami.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) di Aceh, potensi hujat menghujat antar pendukung satu kandidat dengan
kandidat lainnya sepertinya menjadi sangat terbuka. Lebih dari itu,
praktek-praktek lainnya seperti suap, fitnah memfitnah, money politik,
penipuan, sogok menyogok, penyalahgunaan kekuasaan, kecuranganan, intimidasi
bahkan juga pembunuhan adalah hal yang sangat rentan terjadi.
Setidaknya jika kita melihat masa lalu sejauh
ini. Bahkan kita juga bisa membaca potensi seperti ini di sosial media dimana
secara mudah kita akan menemukan adanya “pertempuran” antar pendukung kandidat
yang tidak jarang terjebak dalam fitnah. Inilah sebenarnya praktek kerusakan di
atas permukaan bumi dalam dunia politik kita sejuah ini. Lalu, bagaimana kita
mempertanggungjawabkannya di hari akhirat?
Sesungguhnya hal-hal semacam ini adalah
berlawanan dengan semangat dan ajaran Islam sebagai agama indah, agama
yang Rahmatan lil ‘alamin. Bahkan, yang lebih parah dari itu,
dengan pelaksanaan Pilkada yang (jika) berlaku curang, maka kita telah menambah
catatan panjang kemunduran umat Islam dalam pentas peradaban dunia. Dunia lain
akan menilai kita bahwa antara Islam yang kita anut dengan nilai yang kita
implementasikan dalam kehidupan nyata adalah sesuatu paradoks dan bertentangan.
Maukah kita dinilai seperti itu? Semoga tidak.
Kekuasaan memang bisa digunakan untuk berbuat
kebaikan, berbuat untuk Islam dan kemaslahatan kaum muslimin. Namun hal itu
bukan berarti segala macam hal dalam meraih kekuasaan menjadi halal. Cita-cita
baik tentu saja mesti diraih dengan cara yang baik-baik. Politik memang keras,
penuh intrik dan menantang, namun di sinilah Islam mengajarkan kita tentang
kewajiban yang senantiasa melekat pada diri setiap pribadi muslim. Islam
mengajarkan kita, bahwa sebagai muslim kita tidak bisa melepaskan ikatan Islam
dan eksistensi politik kita, siapapun kita. Jangan sampai, keindahan Islam
tertutupi perilaku muslimnya, kita semua.
Pada akhirnya kita harus sadar, bahwa
kehidupan dunia hanyalah sementara. Dan akhirat lah tempat dimana kita akan
kekal abadi. Bagaimana nasib kita di akhirat, adalah tergantung bagaimana kita
memanfaatkan jatah hidup kita di dunia. Bagi kita sebagai muslim, hal yang
penting disadari, bahwa meskipun dunia diciptakan untuk kita, tapi kita
diciptakan untuk akhirat. Ya, kita diciptakan untuk akhirat sepenuhnya.
Sementara dunia bagi kita adalah ladang kita
menyiapkan bekal berupa amalan baik kita untuk kita bawa pulang ke negeri yang
kekal abadi, akhirat. Sekiranya amalan baik kita banyak, dengan rahmat dan
kasing sayang Allah Swt, insya Allah kita akan hidup bahagia di dalam syurga
sebagai sebaik-baik tempat tinggal.
Tapi jika sebaliknya, catatan amalan kita di
dunia dipenuhi oleh perilaku yang melanggar nilai-nilai Islam, maka lihatlah
bagaimana Allah menjelaskan sangat jelas tentang hal ini.: “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari
sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan
dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (QS. Al-Insyiqaaq: 7-9).
Bagai orang yang berbuat baik, maka menerima
buku amalnya dengan tangan kanan. Dan bagi yang berbuat kerusakan, maka
lihatlah lanjutan ayat ini: “Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari
belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku.” (QS. Al-Insyiqaaq: 10).
Sementara di surat Yaasin Allah menegaskan:
“Pada
hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin: 65). Begitulah sekilasbagaimana nasib kita di
akhirat, kemenangan bagi mereka yang konsisten berbuat baik, dan kecelakaan
bagi mereka yang berbuat buruk.
Oleh sebab itu, momentum Pilkada, hendaknya
tetap membuat kita mengingat kematian dan hari akhir. Karena dengan demikian,
kita akan terdorong untuk senantiasa berjalan di atas jalan Islam, yaitu sebuah
dorongan untuk tidak akan membuat kerusakan di atas muka bumi.
Mengingat kubur
Kematian adalah sesuatu yang pasti. Allah Swt
berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian kan kembali
kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8).
Dan kuburan adalah awal dari segalanya, bukan
akhir. Maka patut kita pertanyakan, apa yang telah kita perbuat sebelum kita
mati, kebaikan kah atau justru kejahatan berupa berbuat kerusakan di atas muka
bumi seperti contoh-contoh yang disebutkan di paragraf awal tulisan ini. Sungguh, kita tidak memiliki apapun di dunia
ini.
Dunia dan seisinya tidak akan bisa membantu kita
di alam kubur, kecuali hanya amalan kita, berupa ilmu yang bermanfaat untuk
orang lain, sedekah dan anak yang shalih yang kita tinggalkan. Bagi orang baik,
kuburan akan menjadi salah satu taman syurga baginya. Subhanallah.
Sementara bagi mereka yang gemar berbuat kerusakan di dunia, maka kuburan akan
menjadi salah satu jurang neraka. Na’uzubillahiminzalik.
Maka dalam konteks kaitan antara Islam dan Pilkada di Aceh, maka
mengingat mati dan membayangkan kondisi alam kubur sebagaimana yang ditekankan
ajaran Islam niscaya akan membuat kita senantiasa berfikir ulang untuk berbuat
kerusakan di atas muka bumi, seperti sogok menyogok, memfitnah, menghujat,
menyalahgunakan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme dan seterusnya.
Mari membayangkan sekiranya kita dipanggil Allah Swt ketika kita
melakukan kerusakan-kerusakan tersebut. Apa yang akan kita jawab nanti di
akhirat? Rasulullah Saw mengingatkan kita, Perbanyaklah mengingat penghancur
kelezatan, yaitu: Kematian’ (HR
At-Tirmidzi dan yang lainnya).
Harus jadi contoh
Lebih dari itu, sekiranya kita mampu menjaga etika Islam dalam
berpolitik, maka dengan sendirinya kita telah menyumbangkan peran besar dalam
geliat kebangkitan Islam. Sesungguhnya, kebangkitan Islam membutuhkan sekecil
apapun upaya kebaikan yang ditunjukkan oleh setiap muslim, kapan saja dan
dimana saja.
Maka jika semakin banyak kebaikan yang kita lakukan, semakin
konsisten dan semakin menyeluruh arena kebaikan yang kita pentaskan, maka
kebangkitan Islam barangkali menjadi sesuatu yang semakin cepat datangnya. Jika
selama ini ada sebutan “Islam mahjub bil muslimin”, yaitu Islam tertutupi oleh
orang muslim, maka dengan konsistensi kita berbuat baik, termasuk dalam
Pilkada, maka kita akan menepis sebutan tersebut sehingga menjadi “Al Islam
maksyuf bil muslimin”, yaitub ahwa keindahan Islam bisa terlihat pada perilaku
muslim,
Bayangkan, kalau kita melalui Pilkada di Aceh sesuai dengan
semangat Islam, tidak ada intimidasi, tidak ada fitnah, tidak ada money
politic, tidak ada kecurangan, penipuan, sogok, KKN dan kejahatan lainnya,
dan apalagi jika kelak kita juga menggunakan metode pemilihan pemimpin yang
sesuai dengan tuntunan Islam, maka kita telah memberikan sumbangsih bukan hanya
untuk Aceh, namun juga untuk Indonesia, bahkan juga untuk peradaban
dunia.
Kalau kita bisa menampilkan akhlak Islam dalam berpolitik, maka
kita akan menjadi kiblat peradaban dunia Islam. Tidak kah kita tertaik?
Sungguh, Islam hanya akan bangkit lewat kaum muslimin dengan
perilaku-perilakunya, begitu juga sebaliknya. Apalagi dalam kondisi dunia
saat ini dimana-mana terjadi konflik politik baik yang terjadi karena rekyasa
musuh-musuh Islam, atau terjadi karena perilaku tamak para elitnya, sungguh
dunia butuh keteladanan. Lebih dari itu, mengedepankan akhlak dalam politik
juga akan membantu kita untuk selamat hidup dunia dan akhirat. Insya Allah. Wallahu
a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa
Program Doktor Pascasarajana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekjend Badan
Koordinasi Mubaligh Indonesia (PW Bakomubin) Prov. Aceh. Email abu.erbakan@gmail.comDimuat di Harian Serambi Indonesia, Jum'at 23 September 2016.