Posisi Intelektual dan Aktivis di Depan Penguasa
Posisi Intelektual dan Aktivis di Depan Penguasa Oleh Teuku Zulkhairi Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketua I Rabithah Thalib...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2020/07/posisi-intelektual-dan-aktivis-di-depan.html
Posisi
Intelektual dan Aktivis
di
Depan Penguasa
Oleh Teuku Zulkhairi
Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Ketua I Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
Saya teringat nasehat penting yanng disampaikan
Tu Sop Jeunieb suatu ketika. Kata beliau: "tugas kita adalah memperkuat
arus kebaikan di posisi apapun kita berada". Jika mengamalkan nasehat
ini, maka seseorang yang dekat dengan kekuasaan akan memanfaatkan kedekatannya
itu untuk memperkuat arus kebaikan, dalam hal ini yaitu menyuarakan aspirasi
rakyat.
Dia akan menjadi juru bicara rakyat di hadapan kekuasaan.
Visinya tetap sama antara saat dia jauh dengan kekuasaan atau saat sudah berada
di lingkaran kekuasaan atau sebagai pendukung sang penguasa. Dengan cara seperti ini, ia akan dapat membantu rakyat
sekaligus membantu sang penguasa.
Dan tentu
saja, juga membantu dirinya sendiri sehingga menjadi sebaik-baik manusia yang
bermanfaat untuk orang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw, bahwa
sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat utk orang lain. Jika menjadi juru
bicara rakyat di hadapan kekuasaan, maka ia disebut telah membantu rakyat karena
penguasa akan dapat mengetahui suara rakyat sehingga barangkali ia akan membuat
kebijakan yang memudahkan urusan rakyat banyak. Atau setidaknya tidak akan
menambah rakyat susah dengan kebijakannya.
Dan
disebut membantu penguasa, karena jika menjadi jubir rakyat, maka ia akan dapat
menolong sang penguasa dari tergelincir. Dari kebijakan yang tidak pro rakyat. Ia akan ikut
mendorong penguasa adil dan betul2 menjalanlan amanah jabatan di pundaknya
sehingga kelak ia akan mendapat naungan langsung dari Allah Swt pada hari yang
tidak ada perlindungan apapun kecuali perlindungan Allah Swt.
Dengan cara ini, maka sang penguasa akan disukai dan
dirindukan oleh rakyatnya. Yach, kita
bisa melihat, bahwa sejauh ini dunia terus menerus melahirkan para pemimpin yang
disukai rakyat karena kebijakannya yang pro rakyat. Pada saat yang sama, dunia juga tidak berhenti melahirkan
para pemimpin-pemimpin di dunia yang diktator, bengis, menyusahkan rakyat.
Sementara
disebut membantu diri sendiri, oleh sebab dia terhindar dari kecaman Rasulullah
Saw, bahwa siapa saja yang membenarkan kesalahan penguasa, maka dia akan
dikeluarkan oleh Rasulullah Saw dari barisan umatnya kelak. Jadi, tetap berada
di arus kebaikan ketika sedang berada di lingkaran kekuasaan itu sangat penting
dan bermanfaat utk semuanya.
Sebagaimana
sebaliknya, membenarkan apa yang salah niscaya akan menghancurkan semuanya.
Baik si pemimpin, rakyat dan juga dirinya sendiri. Intelektual dan aktivis dipanggil atau disebut begitu ya
karena dia kritis atas kekuasaan, sebagaimanan ditulis Prof. Refly Harun di
atas. Tentu kritis bukanlah kebencian.
Sepanjang
orang-orang yang mengkritisi memilik basis argumentasi yang kuat berdasarkan
data, maka kritikan itu adalah nutrisi penting untuk kekuasaan. Agar tetap
berada di jalan yang lurus. Jadi, intelektual dan aktivis
sama sekali dia tidak akan menyasar orang-orang yang kritis. Baik di luar
kekuasaan atau di dalam lingkaran kekuasaan, fokus mereka adalah memperkuat
arus kebaikan. Dan untuk itulah posisi
mereka menjadi dianggap penting. Berbelok dari garis itu, maka dengan cara
apapun posisi mereka tidak penting lagi. Tidak akan bisa dikenang sebagai
penguat arus kebaikan.
Sebab
tidak dapat memberi manfaat kepada siapapun. Baik untuk rakyat, penguasa dan jg
untuk kepentingannya di hari yang kekal abadi sebagai hari-hari yang sudah
pasti akan kita jalani. Di dunia mungkin dia akan mendapatkan secuil isi dunia,
namun dia akan kehilangan yang lebih pentinh dari itu, yaitu harga diri dan
kemuliaan. Semoga Allah Swt menolong orang-orang yang teguh di atas
kebenaran.
Aktivis
itu membela rakyat, bukan penguasa
Jika
intelektual sejati adalah mereka yang dapat memanfaatkan ilmunya untuk
mengawasi jalannya kekuasaan, maka aktivis sejati adalah mereka mengawasi
jalannya kekuasaan dengan nalar kritisnya baik saat mereka di luar panggung
kekuasaan atau tatkala berada di lingkar kekuasaan. Kritis pada kekuasaan
adalah ciri khas seorang aktivis.
Tanpa
sikap kritis, mereka sama sekali tidak akan dikenal sebagai aktivis. Dan begitu juga, ketika seseorang telah berada
di lingkaran kekuasaan dan tidak lagi membela rakyat, membela kekuasaan untuk
sejumlah kepentingan, mereka tidak akan dikenal lagi sebagai aktifis. Profil
sebagai aktivis akan menjadi masa lalu. Sebab,
kini telah menjadi juru bicara penguasa di hadapan rakyat. Sesuatu yang
berbanding terbalik dengan dunia aktivisme.
Bagaimana mungkin menjadi aktivis yang identik dengan aktivitas
membela rakyat jika pada saat yang sama justru hanya menjadi juru bicara
penguasa di depan rakyat, menjadi juru bicara kekuasaan yang melenceng di depan
rakyat yang merindukan keadilan, merindukan kepemimpinan yang amanah dan
bertanggungjawab, kepemimpinan yang menjalankan tugas-tugas berat di pundaknya?
Bagi rakyat, kehadiran aktivis akan menjadi juru bicara mereka
di depan kekuasaan adalah sebuah impian dan harapan. Aktivis yang membela
kepentingan rakyat, yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan. Mengawasi
agar penguasa berjalan di atas jalan yang lurus dan mampu memproteksi kebutuhan
rakyatnya. Agar penguasa senantiasa memihak kaum marginal, bukan malah memihak
kaum kapitalis dan kooprorasi global yang menindas.
Menjadi aktivis atau juru bicara rakyat tentu bukan berarti
harus selalu berseberangan dengan kekuasaan. Karena kekuasaan adakalanya
berjalan di jalan yang benar, meskipun potensi melenceng adalah lebih besar.
Sebab, sejauh ini, di dunia ini hanya sedikit penguasa yang mampu mencapai
derajat kepemimpinan level Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Azis. Membela
rakyat adakalanya dengan masuk ke gelanggang kekuasaan.
Dan memang disitulah
ujian pembuktian tentang keseriusan membela rakyat. Dan untuk tujuan seperti
ini, banyak aktivis yang masuk ke lingkaran kekuasaan dengan tetap membawa
idealismenya, bahwa kepentingan rakyat banyak adalah di atas segalanya,
meskipun harus berseberangan dengan kekuasaan. Di luar panggung kekuasaan atau
di dalamnya, mereka tetap berdiri pada posisi membela rakyat. Membela yang
benar, bukan membela yang bayar.
Dan dalam konteks seperti inilah aktivis menemukan ikatannya
dengan harapan Islam. Bahwa Islam mengharapkan agar seorang muslim senantiasa
bermanfaat untuk orang banyak. Bahwa Islam melarang seorang muslim menjilat
penguasa yang tidak amanah. Bahwa Islam meminta kepada seorang muslim untuk
tetap mengatakan yang haq walaupun pahit. JIka ada aktivis seperti ini, maka
dipastikan nama besar mereka tidak akan lekang di makan "rayap"
zaman.
Mereka akan terus dikenang sebagai pejuang yang memperjuangkan nasib
rakyat. Sementara itu, bagi para penguasa sendiri, kehaidran para aktivis pada
hakikatnya adalah kebutuhan dan keniscayaan. Aktivis yang senantiasa
mengkritisi dan mengingatkan penguasa akan senantiasa dibutuhkan oleh para
penguasa yang ingin sukses dalam kepemimpinannya.
Sebab, godaan bagi penguasa untuk melenceng sangatlah besar.
Nikmat di kursi kekuasaan tidak jarang melenakan. Maka Islam sendiri
mewanti-wanti dengan sangat tegas, bahwa penguasa yang tidak menjalankan amanah
kepemimpinan maka mereka tidak akan mencium bau syurga. Bau saja tidak bisa
dicium. Penguasa yang baik dan sejatinya penguasa tidaklah takut dengan
kritikan siapapun. Dan tidak membutuhkan jilatan siapapun, apalagi dari aktivis
yang seharusnya mengkriktisi. Sebab, dari kritikan itu, mereka dapat
mengevaluasi jalannya kekuasaannya agar di akhir kekuasaan ia dapat disebut
sebagai pemimpin yang sukses yang dengan itu ia akan berbahagia hidup di dunia
dan di akhirat. Wallahu a’lam bishshawab.