Gampong Lancok Mengajari Dunia Tentang Kemanusiaan
Lancok Mengajari Dunia Tentang Kemanusiaan Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email teuku.zulkhai...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2020/07/gampong-lancok-mengajari-dunia-tentang.html
Lancok Mengajari Dunia
Tentang Kemanusiaan
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA
Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Bayangkan jika anak-anak kecil Rohingya di perahu yang malang itu adalah anak-anak kita. Dan kaum perempuan yang lemah disitu adalah istri kita, ibu kita, atau saudara-saudara kita. Sudah pasti mereka merasakan kedinginan dan kelaparan. Perahu malang yang mereka tumpangi itu berlayar tanpa tujuan. Terkatung-katung di atas samudera luas. Dan kita tidak tahu mungkin seberapa banyak perahu-perahu malang semacam itu justru terhempas di tengah samudera. Yang jelas, tidak mungkin mereka dengan penuh sukarela memilih berada di perahu malang itu. Dari yang masih kecil sampai orang tua renta. Kita semua tahu bahwa mereka terusir dari tanah air mereka oleh tindakan genosida rezim militer Myanmar. Kondisi umat Islam di akhir zaman memang begitu memprihatinkan. Mereka seperti anak-anak yang tanpa ayah dan ibu.
Dan orang Aceh - seperti yang kali ini ditunjukkan warga Lancok - memahami betul kepedihan semacam itu. Bukan saja karena alam mengajarkan kita untuk berkasih sayang dengan sesama, karena berbagai malapetaka pernah mendidik kita untuk saling tolong menolong, namun yang paling mendasar lagi adalah dorongan iman dan Islam di dada warga desa Lancok, sebuah desa di Kecamatan Syamtalira Baru Aceh Utara. Keyakinan Islam yang ditanamkan para endatu bangsa Aceh dari masa ke masa, nampaknya telah mendorong sikap mereka untuk memahami bahwa menolong sesama tidak perlu terikat oleh sekat-sekat teritorial. Kekuatan mereka adalah karena kepercayaan bahwa ada Allah Swt yang akan memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya.
Dalam video yang dibagikan BBC, ketika para wartawan menanyakan kepada warga Desa Lancok, jika diturunkan ke darat, apakah warga sanggup memberi makan imigran Rohingya ini. “Mampu, insya Allah mampu, “ jawab Aples Kuari, salah satu warga Lancok. Kalimat “Insya Alah” ini menandakan bahwa warga Lancok, dan juga masyarakat Aceh lainnya, memiliki sandaran yang sangat kuat, yaitu Allah. Artinya, mereka menghubungkan tekad mereka membantu Rohingya dengan Allah Sang Pemilik Alam Semesta. Inilah kekuatan yang mendorong aksi kemanusiaan mereka.
Kalau kita menyimak orang-orang tua kita di kampung, mereka memang selalu menyandarkan segala sesuatu kepada Allah Swt, yang nampaknya ini sebagai suatu warisan peradaban Islam yang terus dilestarikan. Mereka misalnya mengatakan: “Allah yang bi rizki ke makhluk”. ‘Hana pue yo mandum kalheuh neu ato le Allah” dan kalimat-kalimat lain yang menunjukkan bahwa masyarakat Aceh senantiasa menghubungkan eksistensinya di dunia ini dengan sang Pemilik Alam Semester. Inilah yang menjadi kekuatan mereka.
Sebelumnya warga Lancok mengatakan, “Kamo akan tagun bu meu lhe mok sapo meunyo hana dibantu le pemerintah”. Jawaban ini adalah “pukulan telak” orang desa kepada para elit, kepada para penguasa. Dunia yang semakin individualis seringkali melihat bahwa membantu orang lain akan membuat kita susah. Ini adalah pandangan yang versus dengan ajaran Islam dimana Rasulullah Saw memberikan garansi bahwa siapa yang membantu meringankan kesulitan saudaranya di dunia, maka Allah Swt akan membantu menyelesaikan kesulitannya di dunia dan di akhirat. Tekad warga Lancok ini disebabkan karena pada awalnya terdengar kabar bahwa keputusan pemerintah dimana imigran Rohingya ini tidak akan dibawa ke darat. Perahu itu pada awalnya akan didorong kembali ke laut dan pergi menjauh dari perairan Indonesia.
Mendengar sikap pemerintah seperti ini, warga Lancok tidak tinggal diam. Di video yang dibagikan BBC, ibu-ibu histeris mendesak imigran Rohingya ditarik ke darat. Seolah, yang di perahu itu adalah sanak family mereka yang sudah lama berpisah. Lalu warga pun bergerak ke laut untuk menarik perahu malang tersebut.
Aksi warga Lancok membantu Rohingya ini betul-betul menjadi buah bibir masyarakat dunia. Dunia yang tak sanggup menghentikan berbagai kezaliman yang terus berlangsung di Myanmar dan berbagai belahan dunia lainnya, serentak memuji Aceh. Banyak media menulis kemuliaan orang Aceh ini. Elliot Fox menulis di Twitter, “Aceh Today: Humanity” (Aceh Hari ini: Kemanusiaan), dalam postingan foto pelukan hangat warga Aceh kepada salah satu lansia Rohingya yang difoto oleh Chaedeer Mahyeddin dari AFP. Di tingkat nasional tidak ketinggalan sejumlah elit memuji aksi kemanusiaan orang Aceh.
Aksi mulia warga Lancok ini mengajari dunia tentang kemanusiaan. Tentang makna kemanusiaan yang melewati batas-batas sekat teritorial. Mereka mengajari arti kemanusiaan kepada para penentu kebijakan dunia yang semakin individualis. Pada faktanya, muslim Rohingya bertahun-tahun mengalami penderitaan yang mengerikan. Sudah tak terhitung perahu-perahu berisi penuh dengan manusia-manusia Rohingya yang lemah terdampar di berbagai tempat. Di tolak mendarat di berbagai negara. Dan sudah tidak terhitung jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh dan belahan dunia lainnya.
Dan aksi itu terus terjadi dan seakan sangat sulit dihentikan. Ada pembiaran para pengambil kebijakan dunia terhadap realitas terusirnya etnis minoritas muslim Rohingya dari tanah air mereka, Rakhine, sebuah Provinsi di Myanmar. Dunia Islam pun seperti tak sanggup berbuat apapun menghentikan kekejaman rezim militer Myanmar yang disupport negara China, sebuah sebagai negara pemegang hak veto di PBB. Laporan AFP seperti yang dikutip detik.com tahun 2017 lalu menyebut, otoritas China menyatakan mendukung operasi militer Myanmar di Rakhine, yang memicu eksodus warga etnis minoritas muslim Rohingya. China menyebut operasi itu sebagai upaya untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di Rakhine.
Jadi, proses pengusiran etnis minoritas muslim Rohingya dari tanah airnya yang kita saksikan dewasa ini adalah genosida sistemik yang didukung negara besar China. Kekajaman mengerikan yang kemudian di pentas internasional mereka sebut sebagai upaya menciptakan stabilitas di Myanmar. Begitulah cara mereka membungkus kejahatan terhadap kemanusiaan dengan alasan menjaga stabilitas. Agaknya, dunia Islam sendiri sangat sulit untuk berhadapan dengan China.
Apalagi, pada faktanya sejumlah negara mayoritas muslim memang berada dalam cengkeraman China karena terikat oleh utang, yang utang dari China ini menurut Mahathir Muhammad sebagai jebakan dan strategi imperialisme China. Sebab, negara yang tidak sanggup membayar utang akan berada di bawah kontrol China. Alhasil, kekejaman Myanmar terhadap muslim Rohingya terus berlanjut. Perahu-perahu malang berisi penuh dengan manusia-manusia Rohingya terus terdampar di perairan samudera. Dunia betul-betul menjadi suatu tempat yang buruk dan kejam bagi etnis minoritas muslim Rohingya.
Lalu, bagaimana kita melihat fenomena ini dengan ajaran Islam yang kita anut? Bukankah Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim telah mengingatkan kita, bahwa ''Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh. Bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'
Warga Lancok telah menunjukkan pengamalan atas hadis ini sehingga mereka dapat mengajari dunia tentang kemanusiaan. Maka malulah para elit-elit yang lebih takut hilang uang atau posisi karena membantu Rohingya ketimbang bertindak untuk menjadi muslim seutuhnya, mengamalkan ajaran Islam tentang kasih-mengasihi sehingga dunia yang kejam dapat memahami arti kemanusiaan. Wallahu a’lam bishshawab.