Menyelesaikan Akar Masalah

Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara (Harian Serambi Indo...


Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA
Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara
(Harian Serambi Indonesia, Selasa 4 Februari 2020)

Setelah membaca tulisan Prof. Al Yasa’ Abubakar di harian ini Sabtu lalu (1 Februari 2020) dengan judul “Aliran Sesat dan Peran Serta Masyarakat”, saya berfikir betulkah ini persoalan aliran sesat, ataukah hanya persoalan da’i tertentu yang gemar membid’ahkan dan menyalahkan mayoritas? Lalu, apakah memenjarakan orang akan menjadi solusi fundamental dalam menyelesaikan sebuah masalah? Setelah satu dua orang dipenjara, atau mungkin puluhan hingga ratusan, lalu masalah akan selesai? Bagaimana mungkin akan selesai jika akar masalahnya tidak mendapat perhatian? 
Oleh sebab itu, tulisan ini bermaksud memberikan sedikit pandangan untuk melengkapi pandangan Prof. Al Yasa’ yang barangkali dapat memperkaya perspektif kita untuk bagaimana menjaga Aceh agar tetap dalam kedamaian dan ketenangan. Sebab kita semua merindukan ketenangan demi masa depan anak-anak dan cucu kita. Kita merasakan kesedihan yang mendalam atas semua fonemena terpecah belahnya masyarakat Aceh dewasa ini.
Jika melihat asbab dan musabbab-nya, akar masalah utama adalah munculnya da’i-da’i yang menyerang praktek keagamaan mayoritas masyarakat Aceh dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan gemar menyalahkan. Sebagai contoh, tuduhan bid’ah atas peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, tuduhan bid’ah kepada orang yang melakukan sulok, bid’ah baca fatihan seusai shalat, orang tua Nabi Muhammad masuk neraka dan seterusnya. 
Lebih dari itu akhir-akhir ini juga mulai muncul kelompok-kelompik yang menyerang i’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah yang merupakan aqidah masyarakat Aceh yang diwariskan dari para endatunya yang merujuk kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Maturidi. Kadangkala kita mendengar pihak-pihak yang menyalahkan sifat 20 yang dipelajari dan diyakini masyarakat Aceh secara turun temurun dan diajarkan di semua lembaga pendidikan dayah. Padahal sifat 20 ini tertera dalam berbagai kitab Arab Jawoe yang ditinggalkan ulama Aceh dan Melayu.
Tuduhan-tuduhan seperti itu kemudian menjadi buah bibir banyak elemen masyarakat yang akhirnya menimbulkan keresahan berjama’ah. Apalagi, tuduhan-tuduhan seperti itu dianggap sebagai dakwah sunnah sehingga secara massif disebarkan lewat berbagai platform media sosial. Akibatnya, pihak yang merasa “diserang” lambat laun kemudian memanfaatkan semua potensi kekuatan untuk “melawan”. Ada yang mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan itu memiliki dalil dan rasionalitas sehingga dianggap sebagai dakwah sunnah. Padahal, dakwah sunnah seharusnya menyatukan ummat sebagaimana keteladanan yang ditunjukkan para ulama salaf. Lalu bagaimana kita memahami “dakwah sunnah” jika justru memecah belah masyarakat Aceh yang telah beragama Islam berabad-abad lamanya?
Sesungguhnya, masyarakat Aceh merindukan da’i-da’i yang dapat menyatukan mereka. Buktinya lihatlah bagaimana antusiasme masyarakat Aceh menghadiri ceramah Ustaz Abdul Somad (UAS) karena merasa teduh dengannya. Pada saat yang sama, kita melihat mereka sangat anti terhadap ceramah-ceramah da’i tertentu yang gemar menuduh bid’ah dan memecah belah. Padahal, dalam Islam tugas seorang da’i bukan sebagai “pen-tahkim”. Kita berharap ini menjadi bahan renungan bagi da’i tertentu yang ceramah-ceramahnya menimbulkan keresahan, kegaduhan dan keributan di masyarakat. Silahkan berdakwah menyeru ummat kepada kebaikan, namun gunakan metode dakwah yang menyatukan ummat. Seorang da’i mestilah memahami perintah Islam untuk Li Ta’arafuu (mengenal) dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam konteks resolusi konflik, Li Ta’arafuu menurut Abu Panton (2008) adalah hal penting untuk mengenali sebuah kelompok sehingga dapat memahami mereka secara arif dan bijak.
Dalam berdakwah seorang da’i semestinya tidak merasa paling tahu. Harus memahami betul pemahaman atas dalil-dalil yang dikemukakan oleh para ulama lain. Dalam masalah Maulid Nabi Muhammad Saw misalnya, seorang da’i tertentu lulusan Yaman dengan inisial Ustaz FF mengatakan maulid nabi sama sekali tidak ada dalil sehingga dianggap bid’ah. Jadi ini sebagai contoh bahwa ada problem besar dalam strategi dakwah sejumlah da’i yang menjadi masalah keributan di Aceh. Sebab, ketika kita mendengar keterangan para ulama senior seperti Buya Yahya yang juga alumni Yaman, beliau justru menganjurkan umat Islam merayakan maulid Nabi Muhammad Saw sebagai bentuk kegembiraan atas karunia besar diutuskannya Nabi Muhammad Saw untuk umat manusia dan dimana Allah Swt memilih kita menjadi umatnya. 
Pada peringatan maulid Nabi, shalawat-shalawat dilantunkan, orang-orang dapat bersilaturahmi, saling memberi makan (sedekah). Masyarakat juga diingatkan kisah kehidupan dan perjuangan Rasulullah Saw lewat berbagai ceramah. Dan jangan lupa, peringatan Maulid Nabi sudah dilakukan berabad-abad lamanya di Aceh. Apakah ulama Aceh dulu bodoh semuanya?
Pada titik ini, rasanya kebutuhan kita terhadap Qanun Dakwah Islamiyah semakin mendesak. Sebuah qanun yang mengatur tentang bagaimana mekanisme penyelenggaraan dakwah sehingga mimbar dakwah tidak menjadi sumber kegaduhan. Tahun 2017 lalu naskah akademik qanun ini sudah dibuat oleh Dinas Syari’at Islam. Jika draftnya sudah selesai dibuat dan diserahkan ke DPRA, kita berharap agar DPRA segera membahas dan mengesahkannya. Jangan berlama-lama dalam mencegah perpecahan ummat.
Harus diakui tidak adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan dakwah di Aceh telah memunculkan masalah dari mimbar ceramah. Dan itu sangat menyedihkan karena mimbar ceramah seharusnya menjadi sumber ketenangan. Kita melihat negeri-negeri jiran seperti Malaysia dan Brunai Darussalam cukup selektif dalam mengizinkan orang-orang yang akan berceramah. Yang diizinkan hanyalah yang sesuai dengan ketetapan kerajaan. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas. Aturan Malaysia dan Brunai ini sebenarnya juga pernah dilakukan di masa Kerajaan Aceh Darussalam saat dipimpin Sultan Iskandar Muda sebagaimana tertulis dalam Qanun Meukuta Alam (dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di Mulek dan Komentarnya) yang diterjemahkan oleh Pak T.A. Sakti dari Unsyiah dan Tgk. Muhammad Kalam Daud dari UIN Ar-Raniry (2010).
Upaya untuk mencegah kegaduhan sebenarnya juga terbaca dari kebijakan Pemko Banda Aceh yang mengeluarkan SK kepengurusan BKM sebuah masjid di Banda Aceh untuk mencegah kisruh di sebuah masjid beberapa waktu lalu. Namun anehnya banyak yang menggambarkan kebijakan itu sebagai upaya “merebut masjid”. Jadi narasi dibangun seolah telah terjadi perebutan masjid. Padahal, tujuan Pemko hanyalah untuk mencegah agar da’i-da’i yang berpotensi menimbulkan kegaduhan bisa dicegah.
Kembali ke perihal memenjarakan orang yang dianggap perusuh di awal tulisan. Bagaimana kita memahami terminologi perusuh ini juga butuh kajian mendalam. Jika masyarakat yang menolak da’i-da’i yang menimbulkan kegaduhan dianggap perusuh, lalu bagaimana dengan tindakan da’i-da’i tertentu yang menghadirkan kegaduhan di masyarakat lewat ceramah-ceramahnya yang gemar menuduh bid’ah dan menyerang mayoritas, bukankah ini juga kegiatan merusuh yang paling fatal? Saya yakin kita semua tidak berharap kegaduhan. Sangat membenci keributan-keributan di masjid karena masyarakat ingin disana dapat beribadah dengan tenang di tengah berbagai problem kehidupan yang dihadapi sehari-hari.
Oleh sebab itu, menyelesaikan akar masalah adalah kebutuhan mendesak. Jika akar masalah di hulu sudah diselesaikan, maka barulah persoalan di hilir memungkinkan dicegah. Bagi pemerintah segera lahirkan Qanun Dakwah. Bagi para da’i upayakan jangan memecah belah, perbaikilah metode dakwah dan carilah persamaan ketimbang perbedaan. Hendaknya juga tidak ada yang memfasilitasi kegaduhan. Semua kita berharap melihat kedamaian di masjid sebagai rumah Allah. Kita berharap masyarakat dapat bersatu membangun Aceh. Jika kita dapat menyelesaikan persoalan ini, insya Allah Aceh akan menjadi bangsa yang maju dan berperadaban. Semoga Allah Swt membantu kita untuk keluar dari kemelut ini. Amiin yaa Rabbal ‘alamiin. Email abu.erbakan@gmail.com.

Dimuat di Harian Serambi Indonesia dan diedit sejumlah kalimat di dalam tulisan di atas. Link https://aceh.tribunnews.com/2020/02/04/menyelesaikan-akar-masalah

Related

Paradigma Islam 551811944887837240

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item