Jangan Pernah Bersujud Di Hadapan Penguasa
Oleh Teuku Zukhairi Rubrik Mimbar Harian Analisa Jum'at, 5 Juli 2019 Beberapa waktu lalu seorang masyarakat Indonesia melaku...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2019/07/tidak-ada-sujud-kepada-penguasa.html
Oleh Teuku Zukhairi
Rubrik Mimbar Harian Analisa
Jum'at, 5 Juli 2019
Beberapa waktu lalu seorang masyarakat
Indonesia melakukan sujud di hadapan Presiden Jokowi sebagaimana banyak
disiarkan media online. Ini menandakan bahwa ada persoalan paradigma berfikir
dalam cara sebagian orang kita dalam memposisikan pemimpin. Kita tentu yakin
bahwa Presiden Jokowi pun tidak menghendaki apa yang dilakukan laki-laki
tersebut. Itu sebab sehingga kata-kata “sujud” di sini tidak kita berikan tanda
petik. Hal ini karena memang pada faktanya sudah mulai muncul orang-orang yang
sujud kepada penguasa. Kita berharap ini adalah yang pertama dan terakhir
terjadi di negeri kita. Sebab Islam mengajarkan kita bahwa sujud hanya kepada
Allah Swt, Sang Pencipta Alam Semesta.
Dan oleh sebab itu tidak ada sujud kepada manusia, karena
manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt. Sujud seseorang kepada manusia untuk
menghormatinya adalah bid’ah yang sesat. Setelah itu, mari kita mengkaji
fenomena berfikir umumnya masyarakat kita dalam melihat penguasa. Kita yakin
bahwa sujud yang dilakukan oleh laki-laki tersebut berawal dari kesalahan
paradigma berfikir dalam memandang pemimpin atau penguasa.
Pada titik ini, kita berharap kaum intelektual dapat
mengambil peran untuk merumuskan kembali sikap ideal rakyat kepada para
penguasa sesuai dengan ajaran Islam. Islam memberikan perhatian penuh dalam
semua urusan manusia. Maka selain melarang sujud kepada manusia, Islam juga
memberikan kita bimbingan bagaimana kita memposisikan seorang pemimpin secara
ideal. Termasuk urusan yang berkaitan dengan bagaimana relasi antara pemimpin dan
rakyatnya. Atau bagaimana seharusnya kita memposisikan seorang pemimpin. Islam
memberikan penjelasan yang "washatiyah" dalam semua perkara. Setiap
penjelasan dalam paradigmanya selalu berada di tengah-tengah di antara dua
kontradiksi.
Prinsipnya adalah professional dan proporsional. Islam
tidak akan terlalu ke kanan, dan juga tidak akan ke kiri. Tidak akan terlalu ke
kanan maksudnya tidak akan seperti sekelompok orang yang secepatnya menghukumi
"halal darah" atau "perusak bumi" terhadap sekumpulan masyarakat
atau mahasiswa yang "berdemo", mengkritik atau memprotes kebijakan
pemimpinnya. Apalagi sampai menuduh "bangkai jahiliyah" terhadap para
korban dalam sebuah aksi protes.
Tidak akan terlalu ke kiri maksudnya tidak akan
merestui agenda-agenda keburukan terhadap pemimpin. Maka Islam melarang bughat
(pemberontakan), apalagi jika seorang pemimpin itu telah menunaikan amanah
kepemimpinnya. Maka ada hadis riwayat Imam Tirmidzi yang berbunyi: “Barangsiapa
yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya”.
Jadi Islam meminta kita untuk taat dan menghormati
pemimpin karena ia sedang mengemban amanah yang sungguh berat untuk melayani
rakyatnya. Tapi pemahaman Islam tidak pernah diberikan secara parsial. Di satu
sisi pemimpin disuruh taati dan diberikan penjelasan akan bahaya tidak
mentaati pemimpin, tapi di sisi lain, Islam juga menjelaskan posisi kerasnya
kepada para pemimpin yang jika berbuat zalim atau khianat. Termasuk memberikan
penjelasan dan larangan kepada umat Islam untuk tidak membenarkan kesalahan
pemimpin, tidak menjilatinya dan apalagi sampai menyembahnya seperti
disinggung di awal tulisan ini.
Jadi, dalam Islam, pemimpin itu tidak boleh dicaci, harus
ditaati, namun di sisi lain, seorang pemimpin juga harus diingatkan, tidak
boleh disembah, tidak boleh dibenarkan jika mereka berbuat salah atau tidak
amanah, atau ketika ia ingkar terhadap janjinya. Maka, seperti dijelaskan di
atas, mereka yang mengkritisi pemimpinnya tidak akan secepatnya diberikan
stempel yang buruk, dituduh bid'ah, halal darah, merusak bumi dan sebagainya.
Sebab, juga terdapat hadis riwayat Imam Tirmidzi yang berbunyi: "Jihad
yang paling besar pahalanya itu sungguh perkataan yang hak untuk pemimpin yang
zalim".
Apalagi, mengkritisi pemimpin atau pemerintah telah
menjadi bagian dari sistem demokrasi yang dilindungi Undang-undang di negara
ini. Intinya status seorang muslim akan selalu dihormati selama dia masih
menyembah Allah Swt dan mengakui kerasulan Muhammad Saw. Jangan karena dia
mengkritisi pemimpin lalu dihalalkan darahnya, dituduh khawarij dan lain-lain.
Apalagi jika kritikannya berbasis fakta dan untuk tujuan kebaikan negerinya,
untuk tujuan mengawasi jalannya pemerintahan yang memihak kepentingan
rakyatnya. Namun sebuah kritikan juga haus disampaikan berbasis fakta dan data,
dengan bahasa yang lembut dan meskipun harus tegas.
Maka seorang dai seyogyanya tidak hanya berbicara tentang
larangan memberontak dan caci maki kepada para pemimpin, namun juga harus
mengingatkan agar para pemimpin tidak khianat dan agar menunaikan amanah
kepemimpinnya oleh sebab tanggungjawab seorang pemimpin sangatlah berat di
dunia dan di akhirat. Serta yang paling penting adalah juga mengingatkan
masyarakat agar tidak membenarkan suatu kesalahan yang dibuat pemimpin.
Mari kita lihat hadis riwayat Imam Tirmidzi berikut ini
yang berbunyi: “Akan ada sepeninggalku nanti sejumlah pemimpin. Barangsiapa
yang masuk menemui mereka, lalu dia membenarkan kedustaan mereka, dan membantu
mereka dalam kezhaliman mereka maka dia bukan bagian dariku, aku juga bukan
bagian darinya, dan dia tidak akan menemuiku di telaga Surga. Barangsiapa yang
tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam kezhaliman
mereka maka dia adalah bagian dari diriku, aku juga bagian darinya, dan dia
akan dating menemuiku di telaga Surga”.
Hadis ini menegaskan bahwa ada konsekuensi bagi siapa
saja yang menjilat kepada penguasa dengan membenarkan sebuah kezalimanan atau
sesuatu yang salah yang diperbuatnya. Hadis tersebut juga merupakan ancaman yang sangat
keras kepada siapa saja yang menjilati penguasa (membenarkan
kesalahan-kesalahannya), yaitu tidak diakui lagi kita sebagai bagian dari
ummat Nabi Muhammad Saw. Kalau Nabi Muhammad tidak lagi mengakui kita sebagai
umatnya di akhirat kelak, maka kepada siapakah kita akan meminta syafaat? Tidak
ada yang akan memberi kita syafaat. Semua Nabi dan Rasul yang lain akan sibuk
dengan umatnya sendirinya. Jika kita tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad
Saw, maka ini adalah kerugian besar bagi kita.
Maka posisi terbaik kita adalah mengingatkan penguasa
jika ia berbuat salah. Sebab semua manusia berpotensi salah. Apalagi seorang
manusia yang diberikan amanah kekuasaan. Pastilah akan begitu banyak godaan dan
tipu daya yang mengajaknya ke jalan kiri, yaitu jalannya orang-orang yang
merugi atau ke arah kesesatan.
Apalagi sebagai kaum intelektual atau kaum terdidik. Baik
atau buruknya sebuah bangsa sebenarnya sangat tergantung di tangan mereka.
Mantan kepala Dinas Syari’at Islam Aceh, Prof Rusjdi Ali Muhammad (Serambi
Indonesia: 2014) suatu saat mengingatkan, ada lima sebab hancurnya sebuah
negeri dalam pandangan Alquran. Pertama yaitu penguasa yang angkuh yang tidak
menerima kritikan dan nasihat sehingga jatuh pada kezaliman. Yang kedua adalah
intelektual atau cendekiawan yang menjilat penguasa agar diberi jabatan.
Ketiga, ulama yang jahat (su’) dan tidak bersikap tegas dan kritis untuk
mengingatkan penguasa yang salah. Keempat yaitu pengusaha atau orang kaya yang
kikir dan kelima yaitu masyarakat yang pemalas.
Sebuah negeri akan hancur dan rusak jika kaum
intelektualnya justru ikut-ikutan menjilati penguasa, dan tidak menjalankan
perannya untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada
rakyatnya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kaum inetelektual berdiri pada
posisi asasinya di hadapan kekuasaan. Jika kaum intelektual di negeri kita
terjebak menjilat kekuasaan, maka jangan heran apabila ke depan kita akan
melihat munculnya kasus-kasus lain dimana seseorang sujud di hadapan penguasa
seperti kasus yang digambarkan di awal. Bagaimana tidak, jika kaum intelektualnya
seperti itu, tentu kaum awam lebih parah lagi. Kita berdo’a kepada Allah Swt
agar ia senantiasa memberi kita petunjuk. Amiin ya Allah.
Dimuat di Rubrik Mimbar Harian Analisa Jum'at Tanggal 5 Juli 2019