Jabatan untuk Memikul Beban

Oleh Teuku Zulkhairi Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh Serambi Indonesia, 22 Juli 2019 Seusai dilantik, Presiden terpilih Ukrai...



Oleh Teuku Zulkhairi
Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Serambi Indonesia, 22 Juli 2019

Seusai dilantik, Presiden terpilih Ukraina Volodymyr Zelensky meminta kepada bawahannya untuk tidak memasang fotonya di ruang-ruang kantor atau rumah mereka. Sebaliknya, ia meminta para bawahannya untuk memasang foto anak-anak mereka saja dan melihatnya sebelum mengambil sebuah keputusan. Alasan yang cukup menarik yang ia ungkapkan adalah bahwa “jabatan presiden bukanlah ikon maupun idola atau sebuah potret” sebagaimana dilansir kompas.com pada 25 Mei lalu.  Narasi Zelensky cukup menarik. Karena pemikiran semacam ini muncul karena kesadaran bahwa jabatan itu untuk memikul beban, bukan penghormatan.
Kita tidak perlu malu untuk mencontohi cara Zelensky berfikir dalam melihat jabatan. Karena sesuatu yang baik dapat kita serap darimana saja. Apalagi, pada faktanya, kita sudah lama kehilangan para figur pemimpin yang layak diteladani di tengah-tengah dunia Islam. Kita justru malu kepada sendiri kenapa cara melihat jabatan semacam ini tidak ditunjukkan oleh para pemimpin dunia Islam dewasa ini, kecuali sangat sedikit di antara mereka.  Di era kejayaan umat Islam dahulu, kita membaca kisah kepemimpinan ideal di tengah-tengah dunia Islam. Tapi dewasa ini, kita justru sedang menyaksikan parade kepemimpinan yang umumnya sama sekali tidak bisa dibanggakan. Bukan saja karena jauh dari keteladanan, tapi malahan ikut membuat umat Islam semakin terpuruk.
Kita menyaksikan bagaimana para pemimpin di dunia muslim menjadikan jabatan sebagai sarana untuk kebanggaan diri, keluarga dan kelompok. Akibatnya, dunia Islam terpuruk dan tertinggal jauh dari peradaban barat. Lihat saja bagaimana para raja-raja Arab dengan gaya flamboyannya berjalan megah di tengah reruntuhan peradaban Islam di sana, di tengah ratapan anak muslim yang kehilangan orang tua mereka di Palestina, Afganistan Suriah, Irak, Yaman dan sebagainya akibat perang yang berkecamuk tiada henti. 
Tentu, fenomena wajah pemimpin di dunia Islam ini jauh dari semangat Alquran dan jauh dari keteladanan yang pernah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Juga jauh dari keteladanan yang ditunjukkan oleh para pejuang Islam yang telah memberikan sumbangsih besar mereka untuk kejayaan Islam di masa silam. Jika demikian fakta hari ini, tentu kita tidak ragu untuk menyimpulkan bahwa inilah salah satu akar masalah dari terpuruknya umat Islam dewasa ini.
Semua ini berawal dari kerusakan paradigma dalam melihat kekuasaan atau jabatan. Jabatan dilihat sebagai sarana untuk bermegah-megah, atau untuk dipakai sebagai palu godam untuk menghantam lawan politik atau pemikirannya. Di negara kita, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menangnya salah satu kandidat dalam pemilihan Presiden, tidak lama setelah itu di media sosial sejumlah gunjingan menghantam para pendukung kandidat yang kalah. Yang menang mengejek yang kalah. Seolah, meraih jabatan adalah tujuan akhir dari perjuangan. Jadi ini adalah narasi yang salah dalam melihat kekuasaan. Sebab, jabatan adalah awal untuk memikul beban yang sungguh berat. Bukan saja berat di dunia, akan tetapi juga sebagai muslim, kita diajarkan bahwa jabatan juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Maka banyak sekali ulasan Islam tentang beban berat sebuah jabatan. Apalagi jabatan dimana nasib jutaan orang dipertaruhkan. Maka orang-orang terdahulu tidak pernah melihat jabatan sebagai suatu penghormatan. Jabatan betul-betul dilihat sebagai “beban yang harus dipikul”. Dan oleh karena mereka mampu memposisikan jabatan dengan cara seperti ini, maka kemudian mereka bersungguh-sungguh memikul beban tersebut.
Khalifah Umar bin Khattab suatu ketika melihat seorang ibu dan anak-anaknya yang menangis karena kelaparan. Setelah menyelidiki sebab anak-anaknya menangis, Umar lalu bergegas kembali ke gudang penyimpanan makanan (tepung) milik ummat dan mengambilnya untuk diberikan kepada si Ibu tadi agar ia memasak untuk anak-anaknya. Sahabat yang menyertainya kemudian meminta agar ia saja yang memikul tepung tersebut dipunggungnya untuk dibawa kepada wanita tersebut. Umar lalu mengatakan, “Apakah Anda nanti akan memikul bebanku di akhirat kelak?” Umar lalu memikul sendiri membawa tepung tersebut kepada si perempuan tadi.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab ini adalah filosofi tentang jabatan. Bagaimana Umar merasa  bahwa sebagai pemimpin, ia betul-betul takut jika gagal dalam memikul beban jabatannya sebagai Khalifah. Jadi ini adalah perihal “paradigma berfikir”. Paradigma Umar semacam ini kemudian diteruskan oleh para sahabatnya dan para penerusnya di kemudian hari. Mereka betul-betul memposisikan jabatan untuk memikul beban. Jabatan tidak diposisikan sebagai suatu penghormatan. Apa yang harus dibanggakan sementara bebannya sungguh berat dan tentu belum pasti akan berhasil ditunaikan?
Perihal beratnya memikul beban jabatan, Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Bukhari misalnya menjelaskan, “Seseorang yang dijadikan pemimpin, tapi tidak menjalankannya dengan baik, maka dia tidak akan mencium harumnya surga.” Jadi seorang pemimpin yang jika tidak menjalankan amanah kepemimpinannya maka resiko sangat besar, tidak akan mencium wanginya bau syurga. Jadi baunya saja tidak bisa mencium. Apalagi memasukinya. Maka tentu jabatan bukanlah penghormatan.
Tapi tentu Islam tidak hanya menggambarkan resiko terburuk jika amanah jabatan disia-siakan. Islam juga memberikan penjelasan tentang keutamaan pemimpin yang menunaikan amanah kepemimpinannya. Sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah misalnya menjelaskan bahwa di hari kiamat kelak ada tujuah orang yang akan mendapatkan perlindungan langsung dari Allah Swt. yang pertama adalah pemimpin yang adil. Jadi pemimpin yang jika dia adil maka kelak akan mendapatkan tempat yang istimewa di hadapan Allah Swt.
Maka sebagai rakyat, kewajiban kita adalah mengawasi jalannya pemerintahan Presiden Jokowi dan kabinetnya, serta pemimpin kita lainnya dalam semua levelnya. Kita mengawasi agar para pemimpin dapat terus memikul beban yang ada di pundaknya. Rakyat niscaya harus terus menerus mengingatkan para pemimpin untuk betul-betul memikul beban berat di pundaknya. Sebab untuk itulah mereka dianggap menjadi pemimpin. Mengawasi dan mengingatkan penting bukan saja penting demi kepentingan orang-orang yang dipimpinnnya, namun juga untuk mereka sendiri agar mendapat tempat yang istimewa di hadapan Allah Swt kelak.
Sebagai rakyat kita dilarang untuk membenarkan yang salah dari pemimpin kita. Islam meminta kita taat kepada pemimpin, tapi Islam melarang kita untuk membenarkan yang salah. Sebuah hadis yang diriwayatkan At-Tirmizi berbunyi: "Akan ada sepeninggalku nanti sejumlah pemimpin.barangsiapa yang masuk menemui mereka, lalu dia membenarkan kedustaan mereka, dan membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia bukan bagian dariku, aku juga bukan bagian darinya, dan dia tidak akan menemuiku di telaga Surga. Barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia adalah bagian dari diriku, aku juga bagian darinya, dan dia akan datang menemuiku di telaga Surga”.
Hadis ini menjelaskan tentang buruk kepemimpinan yang tidak menunaikan amanahnya. Dan secara tidak langsung juga menekankan kepada umat Islam untuk tidak membenarkan sesuatu yang salah dari para pemimpin. Jika kita membenarkan yang salah, maka tidak akan dapat menemui Rasulullah Saw dan minum air di telaganya. Posisi ideal kita terhadap pemimpin atau penguasa adalah mendukungnya berbuat baik, dan tidak membenarkannya jika ia ingkar janji dan atau berbuat kesalahan dan kezaliman lainnya. Wallahu A’lam Bishshswab. Email abu.erbakan@gmail.com

Related

Ruang Politik 1507050899521397545

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item