Matangkuli, “Kecamatan Teladan” di Aceh Utara
Tgk H. Sirajuddin, pimpinan Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara Oleh Teuku Zulkhairi Sebutan teladan di sini hanya inisfiatif ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/03/matangkuli-kecamatan-teladan-di-aceh.html
Tgk H. Sirajuddin, pimpinan Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara |
Oleh Teuku Zulkhairi
Sebutan teladan di
sini hanya inisfiatif pribadi penulis, itu sebab, sebutan kecamatan teladan
diberi tanda petik. Dan dengan tulisan ini, penulis ingin membuktikan bahwa
Matangkuli sangat layak menyandang gelar sebagai Kecamatan Teladan di Kabupaten
Aceh Utara, sebuah kabupaten mantan penghasil dolar di Aceh.
Kecamatan Matangkuli
tidak jauh dari Lhoksukon, ibukota Kabupaten Aceh Utara. Saat konflik dulu,
Matangkuli adalah salah satu kecamatan yang paling aman. Rahasianya, barangkali
karena di mesjid Al-Khalifah Ibrahim yang terletak tepat di tengah-tengah pusat
kecamatan Matangkuli, shalat berjama’ahnya selalu hidup. Itulah cerita yang
saya ingat saat dulu belajar di Dayah Babussalam yang lokasinya juga pas di
pusat kecamatan Matangkuli sebelum pada tahun 2005 keluar dari Matangkuli untuk
meneruskan proses belajar di tempat lain.
Selain hadis yang
menjelaskan pahala shalat berjama’ah 27 derajat, juga terdapat sebuah hadis Muttafaq
‘Alaih yang menjelaskan, orang yang shalat berjamaah di masjid masih mendapat bonus
pahala, yaitu setiap langkah kakinya ke masjid dapat menghapus satu kesalahan.
Bahkan, selama menunggu datangnya shalat, dia tetap memperoleh pahala shalat.
Setelah itu, selesai shalat, selama ia berada di masjid dan belum batal wudhu,
para malaikat berdoa untuknya, "Ya Allah, berkahilah dia. Ya Allah,
rahmatilah dia!”.
Barangkali, tidak aneh
jika dari jauh seringkali saya mendengar “kabar baik”, fulan bin fulan warga
Matangkuli telah meninggal dunia saat shalat berjama’ah di dalam mesjid. Atau,
fulan bin fulan telah meninggal di bulan ramadhan. Saya ingat, sejak dahulu, bila
kita shalat di mesjid Al Khalifah Ibrahim, kita akan menemukan banyak tokoh
masyarakat dan pedagang Matangkuli yang rutin shalat berjamaah. Seingat saya,
hampir semua tokoh Matangkuli yang saya kenal selalu shalat berjama’ah di
Mesjid.
Dari rutinitas shalat
berjama’ah ini, mengawali perjalanan Matangkuli sebagai ini sebagai kecamatan
yang semakin religius.
Sejak tahun 2003, saat
saya masih sekolah di MAN Matangkuli, di Desa Mee Matangkuli yang lokasinya
tidak jauh dari pusat Kecamatan Matangkuli, telah berjalan pengajian Asy-Syifa
setiap malam Sabtu yang diasuh oleh Tgk H. Abubakar Usman, yang akrab disapa
Abon Buni, seorang ulama kharismatik alumnus Dayah MUDI Mesra Samalanga.
Pengajian ini dihadiri oleh ribuan jama’ah. Pengajian ini masih berlangsung
sampai saat ini, dan dengan jama’ah pengajian yang terus bertahan dan bahkan
bertambah.
Bila kita menghadiri
pengajian mingguan Abon Buni ini, kita pasti akan melihat seribuan jamaah
mengahdiri pengajian tersebut. Dan yang luar biasa, kita akan dengan mudah
menemukan tokoh-tokoh kecamatan ini berada di Shaf terdepan
dalam majlis ilmu tersebut, baik camatnya, ketua remaja mesjid, para keuchik,
para guru, dan sebagainya. Luar biasa bukan?
Sulaiman, seorang
jamaah rutin pengajian Asy-Syifa, pemilik Bengkel Federal Servis di
Kecamatan Matangkuli mengatakan, “Kini setiap kali Abon Buni menyeru jamaah
pengajian untuk puasa sunat, maka kita akan malu jika tidak berpuasa saat
berjumpa jama’ah lainnya”.
Tentu saja, ini adalah sebuah gambaran betapa Abon Buni kini semakin mudah
mengarahkan jamaahnya untuk menambah amal-amal kebaikan di dunia sebagai bekal
untuk kebaikan abadi kelak di akhirat.
Di samping itu, banyak
alasan lainnya untuk membenarkan bahwa Matangkuli layak mendapat sebutan
sebagai “Kecamatan Teladan”. Antara lain, Masyarakat Matangkuli selalu bersatu
dan berlomba-lomba memberi santunan untuk anak yatim tiap tahun. Jika ada muallaf,
warganya pun bersatu untuk membantu secara berkelanjutan. Di banyak rumah orang
kaya, juga terdapat majlis ilmu yang mengundang Ustaz-Ustaz atau Teungku di
Pesantren/Dayah untuk mengajari anak-anak usia dini untuk belajar Iqra’,
Alquran atau kitab-kitab dasar, suatu proses pendidikan yang sangat penting
sebelum anak-anak mereka belajar ke jenjang selanjutnya.
Di pusat kecamatan
Matangkuli ini, juga terdapat Balai Pengajian yang dipimpin Tgk H. Kabir dimana
remaja-remaja sekitar kecamatan Matangkuli memenuhi ramai-ramai Balai Pengajian
ini untuk belajar, suatu pemandangan yang membahagiakan saat di sisi lain kita
menyaksikan banyak remaja Aceh yang menghabiskan waktu malam hari bukan untuk
belajar, atau malah hanya menghabiskan waktu di warung kopi.
Bukan hanya itu, Dayah
Babussalam Matangkuli yang dipimpin guru kami Tgk H Sirajuddin Hanafi juga
semakin membludak santrinya. Bahkan, kondisi terakhir yang penulis saksikan,
para santri sudah berdesak-desakan di kamar/bilek mereka, karena tempat yang
ada hampir tidak mampu menampung jumlah santri yang berdatangan. Ada antusiasme
besar remaja-remaja Aceh dewasa ini untuk belajar di dayah.
Keberadaan dayah
Babussalam di pusat Kecamatan Matangkuli semakin membuat Matangkuli layak
disebut sebagai Kota Santri yang religius. Di Dayah ini, para santri ini bukan
hanya berasal dari Aceh, tapi juga dari berbagai Provinsi lainnya, seperti
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Padang, Jambi dan Riau.
Banyak alumnus Dayah
Babussalam Matangkuli yang kini telah kembali ke kampung masing-masing atau
merantau ke tempat lainnya. Dan di sana mereka kembali membangun majlis ilmu
untuk meneruskan perjuangan Islam dalam mencerdaskan ummat di bidang
pengetahuan Islam. Di sini, barangkali, tidak salah jika saya ingin memberi
julukan tambahan untuk kecamatan Matangkuli, yaitu sebagai "Matangkuli Al
Munawwarah", atau Matangkuli yang memberi cahaya, yaitu cahaya
keilmuan dan keshalehan kepada tempat lainnya.
Tulisan ini dimuat di Rubrik Kopi Beungoh Website Harian Serambi Indonesia dengan judul MATANGKULI AL MUNAWWARAH.
Link: http://aceh.tribunnews.com/2016/03/22/matangkuli-al-munawwarah