Mendahulukan Akhlak di Atas Fikih
Oleh Teuku Zulkhairi Rasanya batin kita sungguh tersayat ketika kita kembali mendengar terjadinya keributan di salah satu Mesjid d...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/04/mendahulukan-akhlak-di-atas-fikih.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Rasanya batin kita sungguh tersayat ketika kita
kembali mendengar terjadinya keributan di salah satu Mesjid di Banda Aceh
beberapa waktu lalu lalu, sebagaimana rekamannya yang tersebar begitu cepat di
media sosial. Dan semakin tersayat karena keributan terjadi di dalam mesjid,
rumah Allah. Apalagi saat pelaksanaan shalat Jum’at, momentum yang begitu
sakral bagi umat Islam. Kasus ini seperti siklus hitam panjang yang kembali
terulang di Serambi Mekkah. Entah ini skenario siapa. Namun yang pasti, ini
bukan skenario Islam. Sebab, Islam di Aceh pada dasarnya sudah sangat “tawassuth”
(moderat). Prinsip Islam yang diajarkan Nabi Muhammad Saw adalah mengedepankan
jalan tengah untuk menyelesaikan dua persoalan yang mendera umat.
Ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw,
bahwa sebaik-baiknya perkara atau perbuatan adalah terletak pada
pertengahannya: “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”.
(HR. Ahmad). Hadis ini menandakan bahwa Islam adalah agama yang sangat moderat
dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin muncul sehingga memungkinkan
kita sebagai umat Islam menjalani kehidupan yang aman dan damai.
Di hadapan realitas berbagai khilafiyah
fikih, sesungguhnya Islam menempatkan akhlak di atas fikih, karena
“adab di atas ilmu”. Akhlak di atas fikih telah dipraktekkan oleh kalangan
sahabat dan para generasi terdahulu dari kalanganShalafusshalih yang
merupakan generasi terbaik dalam sejarah Islam. Sudah banyak cerita tentang
akhlak para ulama dalam merespon perbedaan, dan mereka senantiasa mendahulukan
akhlak di atas fikih. Kenapa? Karena mereka mengikuti akhlak Nabi Muhammad Saw
sebagai pembawa Risalah Islam.
Dalam kasus ini misalnya kita bisa belajar dari
Imam Syafi’i dan Imam Malik. Kenapa Imam Syafi’i suatu ketika dalam shalat
shubuhnya tidak membaca qunut, padahal beliau sepanjang hidupnya dikabarkan
selalu membaca qunut? Karena saat itu beliau sedang berada di dekat maqam Imam
Hanafi yang selama hidupnya berpendapat tidak sunat membaca qunut pada shalat
shubuh. Atau, kenapa Imam Syafi’i di waktu yang lain tidak membaca qunut,
karena beliau sedang menjadi Imam yang dimakmumi oleh Imam Malik yang mana
beliau berpendapat tidak sunatnya membaca qunut saat shalat shubuh. Atau,
kenapa Imam Malik suatu ketika membaca qunut, padahal beliau meyakini tidak
sunatnya membaca qunut saat shalat shubuh? Karena beliau sedang menjadi imam
yang dimakmumi Imam Syafi’i. Begitulah akhlak para ulama. Mereka meninggalkan
perbedaan fikih dan mendahulukan akhlak. Dan atas alasan itu pula Mazhab fikih
yang mereka bangun tersebar di berbagai belahan dunia.
Di Aceh, pelajaran akhlak sebenarnya sudah
sangat membumi. Akhlak sudah diajarkan sejak pada tingkatan pendidikan paling
awal. Bahkan, saat kita belajar di dayah, kita diajarkan oleh para Teungku
bahwa “al adabu fauqal ‘ilmi”, yaitu adab di atas ilmu. Ya, adab di atas
ilmu, bukan ilmu baru kemudian adab. Dan pandangan seperti ini adalah
berdasarkan suri teladan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw, sang pembawa
Risalah Islam.
Ketika Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rasul,
beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus (tidak lain) adalah untuk
menyempurnakan keluhuran akhlak (manusia)”. Sesungguhnya ini menunjukkan
keagungan akhlak mulia dalam pandangan Islam, dan sebaliknya bahwa akhlak yang
buruk (akhlak al mazmumah) adalah musuh ajaran Islam. Dengan
akhlak, Rasulullah Saw, para sahabat dan para pejuang Islam lainnya mampu
memancarkan dakwah Islam hingga ke seantero penjuru dunia. Tanpa akhlak,
mustahil Islam akan menyebar ke berbagai pelosok dunia.
Oleh sebab itu, ketika kita kembali menghadapi
problem “terkikisnya akhlak” umat ini, apalagi dalam kasus ribut-ribut di
mesjid, nampaknya melihat kembali bagaimana akhlak Nabi Muhammad Saw, para
sahabat dan para ulama generasi terdahulu adalah sebuah keniscayaan. Tanpa
akhlak, tidak tertutup kemungkinan masa depan Aceh akan kembali suram oleh
“perang” antar sesama muslim, sesuatu yang akan menghancurkan tatanan peradaban
Aceh yang sedang kita bangun.
Dalam kasus keributan di mesjid, akhlak akan
bisa dikedepankan sekiranya kita mampu memahami fleksebelitas fikih Islam.
Bahwa hukum fikih tidaklah kaku, fikih sifatnya fleksibel (al-murunah).
Aplikasinya, persis seperti kisah Imam Syafi’i di atas yang tidak membaca qunut
saat beliau berada di dekat maqam Imam Hanafi. Alasannya adalah karena
penghormatan beliau kepada Imam Hanafi yang di masa hidupnya berpendapat tidak
sunat membaca qunut saat shalat shubuh.
Dari kisah di atas,
model toleransi tersebut sesungguhnya betul-betul sesuatu yang mesti ditegakkan
di Aceh. Caranya, bagi sang Khatib, saya dan para pembaca tulisan ini
semuanya, tidak ada cara lain dalam melaksanakan tata cara ibadah Jum’at selain
menyesuaikan diri dengan kondisi dan pemahaman jama’ah. Sekali lagi, bukankah
hal seperti ini telah dipraktekkan oleh para ulama di masa silam?. Bukankah
“penyesuaikan diri” dalam berdakwah adalah akhlak yang dianjurkan dalam
berdakwah?.
Jangan sampai, karena
mempertahankan perkara kecil, seperti menolak penggunaan tongkat, atau khutbah
dua kali, sebagaimana yang sering menjadi sumber keributan selama ini, lalu
tujuan dan maksud dakwah pun tidak tersampaikan. Padahal, ini bahasan yang
prinsip fikih yang fleksibel bisa diimplementasikan. Toh, sekiranya khatib
mengulang khutbah dan memakai tongkat, maka tidak akan merusak akidah juga kan?
Di sinilah pentingnya kebijaksanaan para juru dakwah, da’i atau para khatib
lainnya. Di atas semua keyakinan fikih kita, sesungguhnya ada nilai lainnya
yang wajib kita jaga, yaitu persatuan ummat.
Apalagi, Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) juga telah mengadakan muzakarah terkait perkara
ini, yang keputusan akhirnya telah sama-sama kita ketahui. Hasil muzakarah
ulama yang diselenggarakan MPU yang saat itu dibacakan oleh kepala Dinas
Syari’at Islam Provinsi Aceh, Prof Dr Syahrizal Abbas, di
depan peserta muzakarah, adapun keputusan tersebut adalah, azan dua kali adalah
sunnat. Khatib memegang tongkat hukumnya sunnat. Muwalat khutbah
adalah syarat sah khutbah. Mau’izhah dengan bahasa selain arab
adalah masalah khilafiyah. Dalam rangka menjaga toleransi
sesama umat Islam, diharapkan kepada khatib yang memberi mau’izah panjang
untuk mengulangi dua rukun khutbahnya, (lihat: mpu.acehprov.go.id).
Oleh sebab
itu, bagi khatib yang meyakini tidak pentingnya pakai tongkat dan khutbah
dua kali sebagaimana dipahami dari literatur fikih yang ada oleh masyarakat
Aceh, maka tinggalkan keyakinan ini sekiranya kita sedang berada di depan
jama’ah yang memahami bahwa tongkat itu perlu dan sunat digunakan, dan bahwa
khutbah perlu diulang. Dengan kata lain, kita sedang berada di depan jama’ah
yang berbeda keyakinannya dengan kita dalam persoalan tersebut. Begitu juga
sebaliknya. Pada satu wilayah yang di situ jamaahnya meyakini tidak wajibnya
khutbah dua kali dan tidak sunatnya pakai tongkat, maka hendaklah khatib
mengikuti pemahaman jama’ah tersebut.
Sementara itu, bagi kita
sebagai Jama’ah, jikapun aturan di atas gagal atau tidak dijalankan oleh
khatib, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, maka hendaknya tetaplah
mengedepankan akhlak di atas fikih. Tetap jangan membuat keributan di mesjid
karena dalam Islam posisi akhlak adalah di atas fikih. Tunggulah sampai selesai
prosesi ibadah shalat jum’at. Setelah itu, bermusyawarahlah secara baik-baik,
atau tempuh prosesur lain yang dibenarkan. Dan yakinlah,khilafiyah fiqh ini
sama sekali tidak wajar menjadi sebab keributan antar sesama umat Islam. Kapan
Aceh akan bangkit jika hal semacam ini membuat kita sebagai Muslim begitu mudah
terpecah belah sehinga merusak sendi-sendi bangunan peradaban.
Sesungguhnya,
penyempurnaan keluhuran akhlak adalah tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Artinya, jika kita mampu menjaga adab-adab di mesjid, mengedepankan akhlak saat
melihat perbedaan, maka itu berarti kita adalah umat yang menjadikan Rasulullah
Saw sebagai suri tauladan. Jika tidak, jika kita tidak menjadikan akhlak di
atas fikih, apalagi membuang akhlak jauh-jauh, dengan sukarela membuat ribut di
mesjid yang merupakan rumah Allah, maka itu bermakna kita adalah “produk gagal”
dari proses dakwah Islam dan sistem pendidikan Islam yang sangat menekankan
pentingnya akhlak. Dengan kata lain, perilaku seperti ini adalah versus akhlak
Nabi. Jika perbuatan seperti itu tidak berasal dari akhlak Nabi, tentu hal itu
tidak layak kita teruskan.
Teuku Zulkhairi – Mahasiswa Program Doktoral
Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara.
Sekretaris Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin. Emailabu.erbakan@gmail.com.
Tulisan ini dimuat di Harian Serambi Indonesia
dengan Judul "Adab Di Atas Ilmu". Link: http://aceh.tribunnews.com/2016/04/08/adab-di-atas-ilmu