Oleh Teuku Zulkahri
Alumnus Pascasarjana
IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sabtu kemaren saya dihubungi oleh
seorang Da’i Perbatasan Aceh Singkil yang dikirim oleh Dinas Syari’at Islam
Propinsi Aceh. Da’i ini mulai aktif berdakwah di perbatasan sejak pasca tsunami
Aceh. Namanya Tgk Jamaluddin, berasal dari Aceh Utara. Selama ini saya mengenal
beliau sebagai seorang yang ikhlas berdakwah dan juga rajin menuntut ilmu dan
membaca buku-buku terbaru.
Dalam
percakapan kami, beliau meminta saya mencari dayah di Banda Aceh yang siap
menampung tiga orang Muallaf dari Aceh Singkil yang masih berusia remaja. Ketiga
muallaf tersebut ketika itu sedang bersamanya dalam perjalanan dari Aceh
Singkil ke Banda Aceh Salah satu dari tiga orang Muallaf itu sudah siap
ditampung di Dayah Mahyal Ulum Pimpinan Tgk.H.Faisal Ali, yang ketua NUAceh dan
Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) itu.
Saya bingung untuk mencari dayah
mana yang akan siap menampung kedua muallaf sisanya mengingat tentu saja dari
segi anggaran akan bermasalah jika tidak ada donatur. Saya jawab, “insya Allah
akan saya usahakan menghubungi kenalan dari dayah-dayah di Banda Aceh”. Seingat
saya, Tgk Jamaluddin dan teman-temannya yang Da’i perbatasan Aceh Singkil dan
Subulussalam sudah seringkali meng-Islam-kan remaja-remaja pedalaman Aceh
Singkil yang sebelumnya banyak yang bahkan tidak tahu apa itu agama.
Beberapa bulan lalu beberapa remaja
Muallaf dari Aceh Singkil juga dikirim ke beberapa dayah di Aceh, seperti dayah
Mahyal Ulum Aceh Besar, Pondok Yatim PKPU Desa Siem Darussalam Aceh Besar, Babussalam
Matangkuli Aceh Utara dan sebagainya. Para Muallaf ini tergolong serius
mencintai dan ingin mendalami Islam. Setidaknya begitulah pengakuan mereka
secara tersurat dan yang tersirat dari keseriusannya untuk belajar Islam.

Di Aceh Singkil, menurut pengakuan
beberapa da’i perbatasan, selain mereka yang dikirim pemerintah Aceh untuk
berdakwah disana, juga terdapat da’i-da’i lain dari berbagai Ormas. Baitul Mal
Aceh, Hidayatullah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan sebagainya. Dakwah disana meski berjalan
lambat tapi bisa disebut sukses. Buktinya, menurut beberapa da’i perbatasan
yang saya kenal, banyak Mesjid yang dahulu “mati”, kini menjadi lebih hidup.
TPA-TPA pun banyak bermunculan. Dan yang paling menonjol adalah banyaknya warga
disana yang ingin menjadi Muslim (Muallaf). Buktinya itulah seperti yang saya
sampaikan diatas.
Memaksimalkan Potensi
Muallaf
Aceh Singkil dan Subulussalam adalah
dua kabupaten dalam Propinsi Aceh yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera
Utara. Kedua kabupaten ini sesungguhnya
sangat rawan dengan Kristenisasi. Begitu juga kabupaten-kabupaten lainnya.
Bahkan Banda Aceh sendiri yang banyak didiami intelektual Islam kita tahu juga
tidak luput dari operasi para missionaris dan gembong paham sesat lainnya.
Aceh Singkil dan Subulussalam, meski
perkembangan dakwahnya sangat pesat, tapi sesungguhnya pemerintah Aceh masih
berjalan lambat. Kita harus sadar bahwa saat ini beberapa wilayah disana telah
didominasi oleh warga Kristen pribumi maupun yang berasal dari Sumatera Utara
dan telah menjadi warga menetap di situ.
Beberapa desa disana menurut Tgk Jamaluddin jumlah umat Islamnya hanya tinggal
sekitar 20 persen saja. Dan desa-desa seperti ini sudah lumayan banyak.
Dan Aceh yang hingga hari ini
dikenal Islamnya masih kuat, seharusnya pemerintah Aceh, Kementerian Agama
maupun Ormas-ormas Islam lainnya tidak hanya mengirim da’i dan penyuluh saja
kesana. Tapi juga menampung warga disana yang telah menjadi Muallaf dalam
sebuah lembaga pendidikan. Bisa saja dibuat dayah khusus bagi mereka mengingat
pengetahuan Islam bagi mereka harus diberikan dari dasar, atau juga dengan
mengirim mereka ke dayah-dayah yang sudah ada, tapi anggarannya ditanggung oleh
Pemerintah Aceh, Kemenag maupun oleh Baitul Mal. Dan pemerintah harus serius
mengurusnya jika memang merasa bertanggung jawab dengan keber-Islaman warganya.
Sebab, tidak mustahil kabupaten-kabupaten di Aceh yang berbatasan dengan
Propinsi Sumatera Utara suatu saat akan menjadi markaz besar umat non Islam. Kita sesungguhnya bukan takut atau
resisten dengan umat non Islam, karena sebagai bangsa, kita telah membuktikan
bahwa Aceh adalah sebuah bangsa yang toleran dan bisa hidup harmonis dengan
umat non Islam.
Namun demikian, pengalaman di
beberapa wilayah Indonesia, warga Kristen jika sudah dominan maka mereka akan
semakin agressif, ditambah lagi dengan kesiap-siagaan para provokator untuk
memanaskan keadaan jika tiba-tiba muncul suatu persoalan disana. Apapun
persoalan pada akhirnya akan digiring dalam konflik horizontal antara Muslim
dan warga Kristen. Dengan dibantu oleh statmen-statmen aktivis Islam liberal,
media massa sekuler pun kita tahu akan selalu siap kapan saja untuk mengiring
opini masyarakat dunia bahwa seolah warga Kristen disana telah teraniaya dan
dizalimi oleh Ormas-Ormas Islam meskipun belum jelas sama sekali duduk
persoalannya.
Contohnya adalah ketika terjadinya
penutupan Ondong-Ondong di Aceh Singkil. Tempat beribadah warga Kristen ini
ditutup oleh Pemkab Aceh Singkil karena tidak memenuhi izin dan syarat
pendirian rumah ibadah yang legalitas penutupan Ondong-Ondong ini sangat jelas
aturannya secara yuridis. Bahkan, kabar terbaru yang saya peroleh, di sana
telah mulai ada pihak-pihak provokator yang memanas-manasi suasana, misalnya
dengan menyebarkan selebaran yang menyeru warga Kristen untuk tidak takut
menghadapi umat Islam karena umat Islam saat ini sudah terpecah-pecah. Begitu
juga, selebaran itu juga menginformasikan kepada warga Kristen agar tidak perlu
takut, karena “mata” dunia (Kristen) saat ini sedang menoleh ke Aceh Singkil,
para advokat siap membela mereka dan anggaran pun siap dikucurkan kesana.
Selain itu, beberapa hari lalu kita ketahui muncul juga kabar telah terjadi
upaya pembakaran gereja di sana yang hingga kini pelakunya belum terungkap.
Beberapa dosen saya yang sempat melacak informasi tersebut mengatakan ada upaya
provokator untuk memanas-manasi suasana. Selain untuk merusak citra Aceh yang
terkenal sangat toleran, mereka juga sedang mencari keuntungan pribadi dengan
mencari anggaran ke luar negeri.
Butuh dayah bagi
Muallaf
Sebagaimana saya sampaikan diatas,
bahwa menampung dan membina para Mullaf dari sana saat ini adalah solusi yang
paling riil dan efektif. Kita berharap, beberapa tahun setelah
Muallaf selesai dibina, mereka akan bisa
kembali ke daerahnya untuk menyampaikan misi dakwah Islam. Maka harus ada satu dayah
khusus bagi Muallaf. Atau manfaatkan dayah-dayah yang telah ada, namun para
muallaf ini harus dibina secara khusus dengan didanai oleh Pemerintah Aceh,
Kementerian Agama, Baitul Maal maupun dengan tenaga dan pemikiran dari Ormas-Ormas
Islam. Sesungguhnya saat ini kita harus betul-betul serius menatap Kabupaten di
Aceh yang berbatasan dengan Sumatera Utara. Jangan sampai kita terlambat dan
akhirnya tersentak karena telah melalaikan tanggung jawab kita untuk berdakwah
dan menyelamatkan akidah warga Aceh dari target para missionaris. Wallahu
a’lam bishshawab.