Peran Dayah dalam Membendung Orientalisme

Oleh Teuku Zulkhairi SEJARAH dengan sangat gamblang mencatat, salah satu penyebab Aceh berhasil dibuat porak-poranda oleh penjajaha...

Oleh Teuku Zulkhairi

SEJARAH dengan sangat gamblang mencatat, salah satu penyebab Aceh berhasil dibuat porak-poranda oleh penjajahan Belanda adalah berkat kerja orientalis paling terkenal dalam sejarah penjajahan Belanda di Aceh, Snouck Hugronje. Snouck yang berpura-pura masuk Islam berhasil mengelabui ulama dan masyarakat Aceh, apalagi setelah ia pulang dari Mekkah dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghafur.

Kehadiran Snouck yang ditugaskan secara khusus oleh Kerajaan Belanda saat itu mampu membuat porak-poranda soliditas umat Islam di Aceh yang sedang berperang mengusir penjajah. Snouck saat itu menyadari betul, bahwa Aceh kuat karena dayah. Maka penjajah Belanda kemudian fokus menghancurkan dayah karena dianggap sebagai kekuatan inti masyarakat Aceh dimana dari institusi ini ideologi perlawanan terhadap penjajah dibangun.

Akhirnya, perang panjang bangsa Aceh melawan Belanda di bawah koordinasi ulama dayah saat itu telah menyebabkan terbengkalainya dayah-dayah sebagai kekuatan inti masyarakat Aceh. Satu dua mata pelajaran penting hilang dari kurikulum pendidikan dayah, seperti Ulumul Quran dan Ulumul Hadis, hingga saat ini.

Kisah tentang peran orientalis Snouck dalam membantu Belanda melaksanakan agenda kolonialisasinya di Aceh sesungguhnya adalah pelajaran paling penting yang harus terus dikenang generasi muda Aceh, baik yang di kampus maupun yang di dayah. Kisah kelam ini meniscayakan kita untuk memandang bahaya virus orientalisme dengan serius.

sebab, meski penjajahan secara militer telah lama berakhir di sebagian negara, namun di berbagai belahan dunia para orientalis terus bekerja “meruntuhkan” benteng akidah umat Islam dengan tujuan memuluskan agenda kolonialisasi “tuan” mereka agar terus berlangsung di era modern.

 Bahaya virus orientalismePara orientalis, dengan logika-logika liberal dan metode ilmiah mempengaruhi umat Islam untuk meragukan ajaran Islam dengan harapan umat Islam agar senantiasa berkiblat ke dunia Barat, dari urusan metodologi pemikiran sampai ke urusan gaya hidup (life style). Tidak sedikit sarjana Muslim yang belajar kepada para orientalis dan berbangga menyandang gelar “pakar Islam” pemberian mereka.

Tidak salah memang belajar pada orientalis, yang salah adalah jika nalar kritis kepada metodologi mereka kita matikan. Bagi mereka, mengkritik Islam dan para ulama semacam Imam Syafi’i yang membangun benteng Ushul Fiqh adalah suatu keharusan, namun yang paling terlarang adalah mengkritisi orientalis dan metode mereka. 

Kalau kita kritisi orientalisme, tidak jarang mereka marah.
Maka tidak heran, hingga saat ini umat Islam kehilangan jatidiri dan menderita mental rendah diri (mental inferior) di hadapan peradaban Barat yang hegemonik. Tentu saja, ini disebabkan “kaum intelektual” di tengah-tengah umat Islam telah menjadi “pembebek” atas apa saja yang diajarkan orientalis tanpa mampu menghidupkan nalar kritis mereka. 

Kendati demikian, tidak sedikit juga kalangan sarjana Muslim yang belajar pada orientalis untuk mengetahui kelemahan mereka seperti Syed Naquib al-Attas di Malaysia, Hamid Fahmi Zarkasyi dan sekian banyak dari kalangan dari dosen UIN Ar-Raniry dan seterusnya. Mereka memegang teguh akidah Islam dan tidak terjebak dengan virus relativisme yang berujung pada “keraguan-raguan” (skeptis) yang ditanamkan orientalis. 

Di tengah realitas seperti ini, pertanyaan sekarang, apa yang bisa dilakukan institusi dayah dengan segenap komunitasnya dalam membendung virus orientalisme semacam metode Hermeneutika dan Semiotika yang dewasa ini cukup berkembang di berbagai perguruan tinggi Islam di Nusantara?
Harus kita akui, meskipun dayah konsisten memberikan sumbangsih besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Aceh, namun dayah belum terlibat secara langsung dalam membendung arus orientalisme di tengah-tengah umat Islam. 

Perlawanan terhadap orientalis selama ini cenderung hanya diprakarsai aktivis-aktivis Islam dan (juga) oleh kalangan dosen di perguruan Tinggi Islam itu sendiri. Merekalah yang dewasa ini berhadap-hadapan langsung (face to face) dengan para orientalis dan sarjana Muslim yang membebek kepada mereka. Padahal, virus orientalisme semacam metode Hermeneutika dan Semiotika cukup berbahaya bagi umat Islam karena akan mengarahkan umat Islam untuk meragukan kebenaran Alquran yang ujung-ujungnya umat Islam akan terpecah-belah seperti terpecah belahnya umat Islam saat dulu Belanda menggunakan politik devide et empera mereka dalam menjajah bangsa ini.  

 Membendung virus orientalisme
Sampai di sini saya terfikir, bagaimana dayah akan terlibat ekstra dalam membendung berbagai virus orientalisme jika mata pelajaran Ulumul Quran dan Ulumul Hadis tidak diajarkan secara maksimal pada kebanyakan dayah-dayah di Aceh? Terhadap realitas ini, penulis menilai, barangkali ini disebabkan karena anggapan bahwa benteng pertahanan akidah yang dibangun di dayah sudah cukup kuat seperti dengan menyortir setiap buku dan kitab-kitab yang masuk ke dayah. 

Namun yang harus disadari, benteng pertahanan umat Islam dari orientalisme harus dibangun di setiap sudut wilayah umat Islam, bukan hanya di dayah sebagai suatu lingkup kecil. Agar dayah bisa membangun benteng pertahanan ini, maka dayah harus terlibat secara massif dalam merespon wacana ini secara metodologis. Artinya, bahaya hermenutika dan semiotika ini harus direspon kalangan dayah dengan memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Umat Islam tidak butuh metode hermeunetika dan semiotika dalam studi Alquran oleh sebab Alquran bukan karya manusia.

Yakinlah, ketika dayah-dayah di Aceh belum maksimal dalam mengajarkan mata pelajaran seperti Ulumul Quran, maka metodologi seperti hermeunetika ini akan mewarnai studi Alquran di kalangan umat Islam yang pada akhirnya akan membuat umat Islam ragu terhadap ajaran Islam dan lari daripadanya. Bukti tentang ini cukup banyak. Begitu juga pelajaran Ulumul Hadis, sudah saatnya pembelajaran Ulumul Hadis dimaksimalkan di semua dayah-dayah di Aceh, dari kelas tsanawiyah hingga aliyah. 

Saat ini banyak aliran-aliran yang menyebarkan hadis-hadis palsu, atau juga kelompok Inkar Sunnah yang melemahkan hadis-hadis kuat yang akan mereduksi ajaran Islam. Semua tantangan ini hanya bisa dihadapi dengan memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Satu lagi, sebagai masukan, sudah saatnya mata pelajaran ‘Kristologi’ kita ajarkan di dayah, minimal dalam bentuk ceramah-ceramah atau kuliah umum, sehingga harapan kita dayah bisa berperan maksimal dalam membendung orientalisme dan misionarisme.

Di balik itu, Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI pada 2008 perihal pengakuan ijazah alumni dayah/pesantren tingkat Tsanawiyah/SMP dan dan Aliyah/SMU, disebutkan bahwa Ulmul Qur’an dan Ulumul Hadis adalah mata pelajaran yang wajib diajarkan dalam kurikulum pesantren sebagai syarat penyetaraan (pengakuan ijazah). Jadi, seluruh dayah di Aceh memang sudah saatnya memasukkan kedua mata pelajaran ini sebagai kurikulum wajib dan utama seperti halnya mata pelajaran Fiqh. Wallahu a’lam bish-shawab. 

* Teuku Zulkhairi, MA., Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: khairipanglima@gmail.com



http://aceh.tribunnews.com/2015/01/29/peran-dayah-dalam-membendung-orientalisme-dan-misionarisme?page=3

bahaya hermeunetika bisa dibaca dalam materi berikut ini: http://www.slideshare.net/obararighi/bahaya-liberalisme-di-perguruan-tinggi

Related

Pembangunan Dayah 128655016928733969

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item