Peran Dayah dalam Membendung Orientalisme
Oleh Teuku Zulkhairi SEJARAH dengan sangat gamblang mencatat, salah satu penyebab Aceh berhasil dibuat porak-poranda oleh penjajaha...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/01/peran-dayah-dalam-membendung.html
Oleh Teuku Zulkhairi
SEJARAH dengan sangat
gamblang mencatat, salah satu penyebab Aceh berhasil dibuat
porak-poranda oleh penjajahan Belanda adalah berkat kerja orientalis
paling terkenal dalam sejarah penjajahan Belanda di Aceh, Snouck
Hugronje. Snouck yang berpura-pura masuk Islam berhasil mengelabui ulama
dan masyarakat Aceh, apalagi setelah ia pulang dari Mekkah dan
mengganti namanya menjadi Abdul Ghafur.
Kehadiran Snouck yang
ditugaskan secara khusus oleh Kerajaan Belanda saat itu mampu membuat
porak-poranda soliditas umat Islam di Aceh yang sedang berperang
mengusir penjajah. Snouck saat itu menyadari betul, bahwa Aceh kuat
karena dayah. Maka penjajah Belanda kemudian fokus menghancurkan dayah
karena dianggap sebagai kekuatan inti masyarakat Aceh dimana dari
institusi ini ideologi perlawanan terhadap penjajah dibangun.
Akhirnya,
perang panjang bangsa Aceh melawan Belanda di bawah koordinasi ulama
dayah saat itu telah menyebabkan terbengkalainya dayah-dayah sebagai
kekuatan inti masyarakat Aceh. Satu dua mata pelajaran penting hilang
dari kurikulum pendidikan dayah, seperti Ulumul Quran dan Ulumul Hadis,
hingga saat ini.
Kisah tentang peran orientalis Snouck dalam
membantu Belanda melaksanakan agenda kolonialisasinya di Aceh
sesungguhnya adalah pelajaran paling penting yang harus terus dikenang
generasi muda Aceh, baik yang di kampus maupun yang di dayah. Kisah
kelam ini meniscayakan kita untuk memandang bahaya virus orientalisme
dengan serius.
sebab, meski penjajahan secara militer telah lama
berakhir di sebagian negara, namun di berbagai belahan dunia para
orientalis terus bekerja “meruntuhkan” benteng akidah umat Islam dengan
tujuan memuluskan agenda kolonialisasi “tuan” mereka agar terus
berlangsung di era modern.
Bahaya virus orientalismePara
orientalis, dengan logika-logika liberal dan metode ilmiah mempengaruhi
umat Islam untuk meragukan ajaran Islam dengan harapan umat Islam agar
senantiasa berkiblat ke dunia Barat, dari urusan metodologi pemikiran
sampai ke urusan gaya hidup (life style). Tidak sedikit sarjana Muslim
yang belajar kepada para orientalis dan berbangga menyandang gelar
“pakar Islam” pemberian mereka.
Tidak salah
memang belajar pada orientalis, yang salah adalah jika nalar kritis
kepada metodologi mereka kita matikan. Bagi mereka, mengkritik Islam dan
para ulama semacam Imam Syafi’i yang membangun benteng Ushul Fiqh
adalah suatu keharusan, namun yang paling terlarang adalah mengkritisi
orientalis dan metode mereka.
Kalau kita kritisi orientalisme, tidak
jarang mereka marah.
Maka tidak heran, hingga saat ini umat Islam
kehilangan jatidiri dan menderita mental rendah diri (mental inferior)
di hadapan peradaban Barat yang hegemonik. Tentu saja, ini disebabkan
“kaum intelektual” di tengah-tengah umat Islam telah menjadi “pembebek”
atas apa saja yang diajarkan orientalis tanpa mampu menghidupkan nalar
kritis mereka.
Kendati demikian, tidak sedikit juga kalangan
sarjana Muslim yang belajar pada orientalis untuk mengetahui kelemahan
mereka seperti Syed Naquib al-Attas di Malaysia, Hamid Fahmi Zarkasyi
dan sekian banyak dari kalangan dari dosen UIN Ar-Raniry dan seterusnya.
Mereka memegang teguh akidah Islam dan tidak terjebak dengan virus
relativisme yang berujung pada “keraguan-raguan” (skeptis) yang
ditanamkan orientalis.
Di tengah realitas seperti ini, pertanyaan
sekarang, apa yang bisa dilakukan institusi dayah dengan segenap
komunitasnya dalam membendung virus orientalisme semacam metode
Hermeneutika dan Semiotika yang dewasa ini cukup berkembang di berbagai
perguruan tinggi Islam di Nusantara?
Harus kita akui, meskipun
dayah konsisten memberikan sumbangsih besar dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat Aceh, namun dayah belum terlibat secara langsung
dalam membendung arus orientalisme di tengah-tengah umat Islam.
Perlawanan terhadap orientalis selama ini cenderung hanya diprakarsai
aktivis-aktivis Islam dan (juga) oleh kalangan dosen di perguruan Tinggi
Islam itu sendiri. Merekalah yang dewasa ini berhadap-hadapan langsung
(face to face) dengan para orientalis dan sarjana Muslim yang membebek
kepada mereka. Padahal, virus orientalisme semacam metode Hermeneutika
dan Semiotika cukup berbahaya bagi umat Islam karena akan mengarahkan
umat Islam untuk meragukan kebenaran Alquran yang ujung-ujungnya umat
Islam akan terpecah-belah seperti terpecah belahnya umat Islam saat dulu
Belanda menggunakan politik devide et empera mereka dalam menjajah
bangsa ini.
Membendung virus orientalisme
Sampai di sini saya terfikir, bagaimana dayah akan terlibat ekstra dalam membendung berbagai virus orientalisme jika mata pelajaran Ulumul Quran dan Ulumul Hadis tidak diajarkan secara maksimal pada kebanyakan dayah-dayah di Aceh? Terhadap realitas ini, penulis menilai, barangkali ini disebabkan karena anggapan bahwa benteng pertahanan akidah yang dibangun di dayah sudah cukup kuat seperti dengan menyortir setiap buku dan kitab-kitab yang masuk ke dayah.
Sampai di sini saya terfikir, bagaimana dayah akan terlibat ekstra dalam membendung berbagai virus orientalisme jika mata pelajaran Ulumul Quran dan Ulumul Hadis tidak diajarkan secara maksimal pada kebanyakan dayah-dayah di Aceh? Terhadap realitas ini, penulis menilai, barangkali ini disebabkan karena anggapan bahwa benteng pertahanan akidah yang dibangun di dayah sudah cukup kuat seperti dengan menyortir setiap buku dan kitab-kitab yang masuk ke dayah.
Namun yang harus disadari, benteng
pertahanan umat Islam dari orientalisme harus dibangun di setiap sudut
wilayah umat Islam, bukan hanya di dayah sebagai suatu lingkup kecil.
Agar dayah bisa membangun benteng pertahanan ini, maka dayah harus
terlibat secara massif dalam merespon wacana ini secara metodologis.
Artinya, bahaya hermenutika dan semiotika ini harus direspon kalangan
dayah dengan memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Umat Islam
tidak butuh metode hermeunetika dan semiotika dalam studi Alquran oleh
sebab Alquran bukan karya manusia.
Yakinlah, ketika dayah-dayah di Aceh belum maksimal dalam mengajarkan
mata pelajaran seperti Ulumul Quran, maka metodologi seperti
hermeunetika ini akan mewarnai studi Alquran di kalangan umat Islam yang
pada akhirnya akan membuat umat Islam ragu terhadap ajaran Islam dan
lari daripadanya. Bukti tentang ini cukup banyak. Begitu juga pelajaran
Ulumul Hadis, sudah saatnya pembelajaran Ulumul Hadis dimaksimalkan di
semua dayah-dayah di Aceh, dari kelas tsanawiyah hingga aliyah.
Saat
ini banyak aliran-aliran yang menyebarkan hadis-hadis palsu, atau juga
kelompok Inkar Sunnah yang melemahkan hadis-hadis kuat yang akan
mereduksi ajaran Islam. Semua tantangan ini hanya bisa dihadapi dengan
memperkuat studi Ulumul Quran dan Ulumul Hadis. Satu lagi, sebagai
masukan, sudah saatnya mata pelajaran ‘Kristologi’ kita ajarkan di
dayah, minimal dalam bentuk ceramah-ceramah atau kuliah umum, sehingga
harapan kita dayah bisa berperan maksimal dalam membendung orientalisme
dan misionarisme.
Di balik itu, Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
pada 2008 perihal pengakuan ijazah alumni dayah/pesantren tingkat
Tsanawiyah/SMP dan dan Aliyah/SMU, disebutkan bahwa Ulmul Qur’an dan
Ulumul Hadis adalah mata pelajaran yang wajib diajarkan dalam kurikulum
pesantren sebagai syarat penyetaraan (pengakuan ijazah). Jadi, seluruh
dayah di Aceh memang sudah saatnya memasukkan kedua mata pelajaran ini
sebagai kurikulum wajib dan utama seperti halnya mata pelajaran Fiqh.
Wallahu a’lam bish-shawab.
* Teuku Zulkhairi, MA., Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: khairipanglima@gmail.com
http://aceh.tribunnews.com/2015/01/29/peran-dayah-dalam-membendung-orientalisme-dan-misionarisme?page=3
bahaya hermeunetika bisa dibaca dalam materi berikut ini: http://www.slideshare.net/obararighi/bahaya-liberalisme-di-perguruan-tinggi