Masa Depan Studi Islam di Ar-Raniry

Pintu gerbang masuk ke UIN Ar-Raniry. Foto: SuaraKomunikasi.com Oleh Teuku Zulkhairi UNIVERSITAS Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, kin...

Pintu gerbang masuk ke UIN Ar-Raniry. Foto: SuaraKomunikasi.com
Oleh Teuku Zulkhairi

UNIVERSITAS Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, kini berusia setahun, setelah pada Oktober 2013 lalu SK perubahan status (dari institut menjadi universitas) ditandatangani Presiden RI. Menyongsong masa depan UIN, munculnya perasaan optimis dan cemas adalah suatu yang wajar disebabkan rasa cinta kita kepada kampus Jantong Hate masyarakat Aceh ini.

Perasaan optimis dan cemas ini muncul karena peralihan status tersebut telah menciptakan peluang dan tantangan besar. Peluang besar, sebagaimana cita-cita sang Rektor, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA dalam suatu diskusi dengan penulis setahun lalu adalah terjadinya integrasi ajaran Islam dalam ilmu pengetahuan.

Cita-cita mulia Prof Farid yang penulis simak saat itu adalah lahirnya alumnus jurusan-jurusan umum yang juga paham ajaran Islam. Ini suatu cita-cita mulia mengingat agenda seperti ini kecil kemungkinan mampu diemban oleh perguruan tinggi umum seperti Unsyiah yang memang tidak memiliki agenda untuk mengintegrasikan Islam dalam ilmu pengetahuan.

Bahkan, realitas yang kita saksikan selama ini, mata kuliah keislaman di perguruan tinggi umum sangat sulit mendapatkan porsi yang memadai. Dari sini, kita memandang optimis peralihan status IAIN ke UIN karena sesuai dengan visi besar Islam yang ajarannya bersifat universal (syamil) dan integral (mutakamil).

Namun demikian, mengintip perjalanan setahun  UIN Ar-Raniry yang telah dua kali membuka test formasi dosen dan mahasiswa, muncul perasaan cemas di benak kita. Sebab, dalam dua kali proses testing ini, kini tidak lagi harus mengikuti testing baca Alquran sebagaimana dulu berlaku semasa berstatus IAIN. Kebijakan pusat (Jakarta) yang merupakan konsekuensi dari perubahan status IAIN ke UIN ini telah membuka peluang masuknya dosen-dosen yang tidak bisa membaca Alquran. Ini satu tantangan paling serius yang kita hadapi.

Bayangkan, apa jadinya mahasiswa kita di UIN jika guru mereka (baca: dosen) tidak mampu memahami Alquran dalam standar minimum (seperti membaca?). Dan apa jadinya anak-anak kita kelak jika ternyata guru-guru mereka yang alumnus Ar-Raniry tidak bisa baca Alquran sebagai kewajiban berislam yang paling ringan? Sampai di sini, kita menaruh harapan besar agar kebijakan pusat ini bisa diubah atau direvisi, atau dikecualikan untuk Aceh.

Sebab, agenda pembinaan oleh pihak kampus seperti dengan menempatkan mahasiswa di Ma’had ‘Aly selama beberapa waktu bisa kita anggap sangat tidak memadai, walaupun ini tetap suatu yang penting.

 Proses seleksi
Idealnya, cita-cita integrasi Islam ini harus dimulai sejak proses seleksi dosen dan mahasiswa. Adanya proses seleksi ini dalam jangka panjang akan memberikan stimulus bagi siswa-siswi di Aceh yang ingin studi di UIN untuk menyiapkan diri mereka agar bisa bersaing masuk ke Ar-Raniry. Tanpa testing baca Alquran tentu mereka tidak akan serius menyiapkan diri agar bisa membaca Alquran (standar minimum).
Jadi, jangan sampai muncul cara pandang yang rusak di kalangan pelajar kita, seperti anggapan: “Saya tidak bisa baca Alquran, ini bukan masalah karena saya bisa masuk ke UIN dan di sana tidak disyaratkan kewajiban baca Alquran”.  

Di balik itu, tantangan lain yang membentang di masa depan juga tidak bisa dikatakan kecil. Dari persoalan bagaimana membuat program studi atau jurusan keIslaman agar tetap populer dan memiliki daya tarik besar bagi calon mahasiswa sampai bagaimana menjadikan Islam sebagai ruh semua kajian pendidikan (bukan salah satu objek kajian) sehingga Islam terintegrasi dalam ilmu pengetahuan (kurikulum jurusan umum). Apakah kita sudah punya format yang terukur bagaimana proses menginntegrasikan Islam dalam seluruh kurikulum dan proses pembelajaran di jurusan umum dan juga kriteria para dosennya?

Tantangan lainnya, bagaimana kita menyatukan dua kutub intelektual (berbasis keilmuan umum dan keilmuan Islam) agar menjadi energi besar Ar-Raniry. Begitu juga, tantangan berikutnya misalnya tentang keniscayaan seluruh yang terlibat dalam UIN agar menjadi teladan dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan, kita juga dihadapkan pada persoalan bagaimana mengatur gerakan mahasiswa di kampus ini agar senantiasa harmonis di antara sesama mereka sebagai perwujudan dari misi ukhuwah dalam ajaran Islam.

Persoalan-persoalan ini menjadi penting diingatkan, didiskusikan dan dievaluasi mengingat ‘label Islam’ yang UIN gunakan. Dengan label Islam ini, UIN Ar-Raniry bisa kita sebut sedang mempertaruhkan keindahan, keagungan, dan universalitas ajaran Islam. Dengan kata lain, UIN mengusung cita-cita Islam di masa depan mereka. Jika UIN berhasil memperjuangkan agenda Islam dalam kerja-kerjanya di masa depan, maka Islam akan mengakar dan berkembang di UIN Ar-Raniry sehingga menempatkan kampus kebanggan kita ini menjadi mercusuar dalam lapangan ilmu dan peradaban Islam.

Sebaliknya, jika gagal, maka keindahan Islam akan tertutupi. Harapan seperti ini misalnya disampaikan seorang mahasiswa dalam dialog setahun UIN Ar-Raniry ini, “kampus kita ini menuju Islam terapan atau Islam teori?”. Tentu, ini suatu kalimat yang lahir dari sebuah keresahan dan harapan. Resah karena barangkali analisa mahasiswa ini yang ia lihat selama ini Islam yang diajarkan di kampus hanya Islam teori, bukan Islam terapan. Padahal, saat di TPA atau di dayah dulu mereka diajarkan, Islam itu untuk diamalkan sebagaimana kata-kata bijak mengatakan, “Ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah”.

Tantangan besar di atas patut didiskusikan mengingat dalam beberapa kasus perubahan status IAIN ke UIN, yang terjadi justru terdegradasinya jurusan-jurusan Islam yang pada dasarnya merupakan ruhnya perguruan tinggi Islam. Sebaliknya, pada saat yang sama jurusan-jurusan umum kian melesat maju, namun sayangnya tanpa disertai integrasi Islam yang memadai karena memang tidak didesain untuk tujuan itu. Hal ini bisa kita lihat dari pengalaman beberapa perguruan tinggi Islam di luar Aceh yang “gagal” mengintegrasikan Islam dalam ilmu pengetahuannya.

Bahkan, bukan itu saja, pengalaman di luar, di jurusan agama sekalipun bisa lahir kelompok-kelompok yang nyeleneh seperti kasus spanduk “tuhan membusuk” oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surbaya, (Republika Online, 4/9/2014) yang dianggap berbagai kalangan sebagai perkembangan terbaru seputar sikap nyeleneh mahasiswa UIN dalam bergama serta dianggap gagalnya UIN Sunan Ampel dalam menanam akidah bagi mahasiswanya, (Suara Islam, 19/9/2014).

Kendati demikian, pada saat yang sama kita juga menyaksikan contoh UIN yang berhasil laksanakan agenda integrasi ilmu, seperti UIN Malang yang baru-baru ini kembali bisa meluluskan mahasiswa dari jurusan umum seperti jurusan Fisika dan Matematika yang mampu hafal 30 juz Alquran, (NU Online, 18/8/2014).

Tentu saja, pengalaman ini harus menjadi perhatian kita, agar contoh “keberhasilan” kita adopsi dan yang “gagal” bisa kita antisipasi agar tidak terulang di Ar-Raniry kita.

Maka, hadirnya sejumlah program studi umum pasca peralihan IAIN menjadi UIN menghadirkan sebuah tantangan besar, yaitu bagaimana mengintegrasikan Islam dalam program studi umum sehingga mimpi kita menyaksikan seorang alumnus studi umum UIN Ar-Raniry yang paham Islam dan mengamalkannya, seorang politikus yang mencintai Islam dan mengamalkan ajarannya, seorang alumnus teknik yang juga seorang da’i, seorang dokter yang hafal Alquran, sebagaimana juga cita-cita besar Prof Farid Wajdi Ibrahim.

 Harus berbeda
Oleh sebab itu, kita berharap agar agama Islam di UIN Ar-Raniry kelak tidak menjadi sebuah objek studi/kajian belaka, melainkan ruh yang menjiwai seluruh proses pembelajaran dan program studinya. Jadi, persoalan dan tantangan besar ke depan adalah bagaimana kita memastikan agar UIN Ar-Raniry menjadi wadah terintegrasinya Islam dalam studi umum. Dan penulis yakin, ini tidak akan berhasil jika tidak diawali oleh seleksi dosen yang yang memenuhi kriteria guru/dosen dalam Islam. Jadi, mau  tidak mau, UIN Ar-Raniry harus berbeda dengan UIN lainnya dalam proses seleksi dosen dan mahasiswa.

Tantangan berikutnya, bagaimana membuat jurusan-jurusan Islam tetap favorit, minimal sama dengan antusiasme mahasiswa yang memilih jurusan umum. Jika kelak jurusan-jurusan keislaman justru menjadi sepi peminat, barangkali ini adalah tanda kegagalan yang mesti dicegah sejak dini. Kita bersyukur bahwa hingga saat ini jurusan-jurusan Islam masih menjadi di antara jurusan terfavorit calon mahasiswa kita.

Berikutnya, dengan label Islam yang kita sandang, sesungguhnya kita memiliki beban besar bagaimana menjadi teladan dalam berbagai bidang. Sesungguhnya UIN Ar-Raniry sedang mempertaruhkan nama besar agama Islam. Kita dituntut menampilkan wajah Islam dalam perilaku dosen kita, dalam gerakan mahasiswa dan hubungan di antara organisasi-organisasi internal mereka, civitas akademika dan seluruh pihak yang menjadi bagian dari UIN Ar-Raniry.

Sebagai contoh paling kecil, UIN harus menjadi yang terdepan dalam memakmurkan mesjid, setidaknya mesjid di kampus. Bagaimana agar saat waktu shalat tiba semua dosen dan mahasiswa meninggalkan kantin dan berbondong-bondong menuju mesjid shalat berjama’ah serta contoh-contoh kecil lainnya. Pemakmuran mesjid adalah syarat mendasar dalam mewujudkan kejayaan Islam sebagai dibuktikan oleh Rasulullah Saw. Jadi, agenda besar Islam yang diemban UIN Ar-Raniry sudah semestinya diawali dari hal-hal yang terlihat “kecil” seperti ini. Bukankah jika kita konsisten mengerjakan kebaiakan “kecil” maka kita akan lebih mudah mengerjakan kebaikan besar?

Pun demikian dengan gerakan mahasiswa, UIN sebagai lembaga pendidikan hendaknya mampu menyatukan seluruh gerakan mahasiswa di kampus ini dalam semangat Islam. UIN harus mampu menjelaskan kepada mahasiswanya, bahwa perbedaan organisasi bukan alasan mahasiswa untuk berpecah belah, seperti yang kita saksikan selama ini. Kasus-kasus anarkisme mahasiswa seperti pembakaran Posko Koalisi Peduli Mahasiswa IAIN (KPMI) pada 2013 lalu seperti diberitakan The Globe Journal (13/1/ 2013), harus dipastikan tidak terulang lagi di masa depan karena ini sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.  

Adanya perbedaan organisasi dan gerakan adalah suatu rahmat apabila sang mahasiswa mampu memandangnya secara positif. Perbedaan organisasi adalah dalam rangka tauzi’ul ‘amal atau pembagian tugas. Ada gerakan mahasiswa yang konsen dengan dakwah kampus, ada juga yang konsen dengan isu lingkungan, pemikiran, sosial kemasyarakat dan seterusnya yang semua itu sejatinya bagaikan susunan “puzzle” yang pada akhirnya membentuk sebuah gambaran bangunan besar Islam.

Harmonisasi gerakan mahasiswa di kampus bukan hanya penting karena keharmonisan sesama Islam merupakan ajaran Islam, namun juga penting dalam rangka merespon seruan zaman untuk kembali menjadikan mahasiswa sebagai agent of change atau “pelopor perubahan” dan sekaligus mengembalikan peran kampus UIN sebagai basis gerakan mahasiswa dalam mengawal pemerintahan dan syariat Islam di Aceh, yang hari ini sedang dihantam dari segala penjuru dunia. Wallahu a’lam bishshawab.

* Teuku Zulkhairi, M.A., Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh periode 2010-2011. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Email: khairipanglima@gmail.com

Dimuat di Harian Serambi Indonesia. 
Link: http://aceh.tribunnews.com/2014/10/23/masa-depan-studi-islam-di-ar-raniry


Related

Pendidikan 5150994098628239320

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item