Menanti Political Will Pemerintah Aceh Dalam Upaya Pengumpulan Zakat
Oleh Teuku Zulkhairi, MA Kemiskinan selalu saja menjadi dilema sebuah bangsa untuk bangkit dan maju. Kemiskinan juga selalu menjadi ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/08/menanti-political-will-pemerintah-aceh.html
Oleh Teuku Zulkhairi, MA
Kemiskinan selalu saja menjadi dilema sebuah
bangsa untuk bangkit dan maju. Kemiskinan juga selalu menjadi kendala untuk
merealisasikan ide-ide pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Dalam Islam
dikatakan, “kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran”.
Dalam konteks Aceh,
upaya-upaya menanggulangi kemiskinan memang selayanya terus dikuatkan dalam
rangka memperkuat posisi Aceh serta khususnya sebagai aplikasi dari perintah
agama, bahwa Syari’at Islam yang diterapkan di Aceh sudah seharusnya mampu
mengurangi angka kemiskinan.
Dengan memaksimalkan potensi zakat untuk
pengentasan kemiskinan di Aceh, kita akan membuktikan bahwa pengentasan
kemiskinan di Aceh juga menjadi agenda syari’at Islam yang selama ini cenderung
dipahami hanya sebagai “peraturan hukum menghukum semata”
Realitas angka kemiskinan di Aceh
Namun demkian, realitas selama ini pemerintah
belum memaksimalkan potensi zakat yang dibuktikan dengan masih lemahnya
regulasi zakat. Pemerintah masih hanya mengandalkan dana-dana seperti Otsus,
dana bagi hasil migas dan sebagainya. Tidak ada kemauan politik (poltical will ) pemerintah untuk urusan
zakat. Dan hasilnya, ternyata kemiskinan di Aceh tidak juga berkurang.
Bahkan berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Aceh, tahun 2012 yang lalu Aceh menempati peringkat ke
lima sebagai Provinsi paling miskin se Indonesia. Persentase penduduk miskin
(penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Aceh pada bulan Maret 2012
sebesar 19,46 persen. Secara persentase, menurut Hendra Saputra dan Kafrawi
Razali (2012), penduduk miskin di Aceh pada bulan Maret 2012 mengalami
penurunan sebesar 0,11 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2011 lalu.
Namun
tidak demikian dengan jumlah penduduk miskin per jiwa, jumlah penduduk miskin
tahun lalu sebesar 894.810 jiwa orang bertambah menjadi 909.040 jiwa orang pada
tahun ini. Dan secara Nasional, Provinsi Aceh “naik peringkat” sebagai provinsi
yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia. Tahun 2013 yang
lalu, Aceh menduduki peringkat ke-lima dibawah Provinsi Papua, Papua Barat,
Maluku dan NTT.
Ini tentu sangat ironis. Tidak adanya
maksimaliasi potensi zakat sangat besar kemungkinannya menjadi penyebab
gagalnya semua proyek pengentasan kemiskinan di Aceh selama ini. Kondisi ini
berbanding lurus dengan visi politik pemimpin Aceh dibawah kepemimpinan Zaini
Abdullah – Muzakkir Manaf yang sejak masa kampanye mereka memiliki visi untuk
mengentaskan kemiskinan di Aceh.
Dari berbagai usaha dan upaya pemerintah Aceh
dalam menanggulangi kemiskinan, potensi zakat masih jauh dari perhatian yang
maksimal yang dibuktikan dengan minimnya pengerahan political wiil
pemerintah dalam mencapai target pengumpulan zakat secara maksimal. Padahal,
menurut keterangan kepala Baitul Maal Aceh, Dr Armiadi Musa, MA (Serambi
Indonesia, 2013), potensi zakat di Aceh sangat luar biasa jika mampu
dikelola secara massif akan bisa membiyai sebesar Rp. 3,656,552 untuk setiap warga miskin setiap bulannya. Jumlah
ini melebihi target pemerintah Aceh yang pernah berjanji akan memberikan 1
Juta/KK bagi warga miskin di Aceh.
Potensi zakat Aceh diperkirakan mencapai Rp
1,92 Trilyun, namun ternyata realisasi Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Aceh
tahun yang lalu (2012), baik Baitul Maal Aceh dan Baitul Maal Kabupaten/Kota
hanya 125 M saja atau 6,5 % (Serambi Indonesia, 2013). Dengan realisasi yang
seminim ini, bagaimana mungkin kita bisa berharap Baitul Maal bisa mengentaskan
kemiskinan di Aceh ? Sangat mustahil.
Secara yuridis, zakat dan pengelolaannya diatur
dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan
Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. Pasal 21 ayat (1) Qanun
10/2007 menetapkan, “Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki
oleh orang Islam dan berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang
memenuhi syarat sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.”
Sebenarnya, Qanun 10/2007 pasal 45-49 telah mengatur pasal mekanisme
penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran zakat dan pengelolaannya di Aceh
yang memberi kewenangan bagi Baitul Maal untuk melapor setiap individu atau
perusahaan yang ingkar zakat. Namun realitasnya, kewenangan ini bagi macan
ompong karena tanpa disertai oleh bargaining dan political will yang kuat dari
pemerintah Aceh.
Sampai disini, ternyata persoalannya adalah
karena pemerintah Aceh belum melihat secara serius potensi zakat ini. Hingga
hari ini, Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislatif belum terlihat
usaha mereka untuk menggalang secara penuh kekuatan dan bargaining
politik (political will) untuk mencapai target pengumpulan zakat secara
massif (dari segala lini). Padahal, Islam sudah menjelaskan kepada kita bahwa
zakat yang merupakan salah satu rukun Islam ini gunanya adalah untuk
mengentaskan kemiskinan.
Efeknya, hingga hari ini perusahaan-perusahaan
dan usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan besar lainnya di Aceh banyak yang
tidak membayar zakat. Begitu juga hotel-hotel di Aceh yang meskipun mereka
maraup banyak keuntungan dari kegiatan rutin yang dibuat oleh instansi-instansi
pemerintah di tempat mereka, tapi banyak mereka tidak mau membayar zakat. Demikian
pula orang kaya dan pegawai negeri dan serta kerja profesi lainnya yang
meskipun gaji mereka tinggi namun mereka masih berlindung pada “dalil
khilafiyah” untuk tidak membayar zakat profesi.
Kesempatan emas Zikir
Kita yakin, kondisi ini pasti akan berubah atau
berakhir seandainya ada political will pemerintah Aceh untuk
menggarap potensi zakat secara massif. Apalagi, pemerintah Aceh kita tahu
memiliki dukungan sipil dan juga kekuatan politik yang sangat dominan dan kuat
di lembaga legislatif sehingga sangat memungkinkan mendesak berbagai pihak yang
kontra zakat untuk menunaikan kewajibannya.
Regulasi zakat yang kuat dibuktikan dengan
adanya paksaan kepada orang-orang atau perusahaan dan usaha yang sudah wajib
mengeluarkan zakat untuk menunaikan kewajibannya ini sebagai sarana penyucian
harga sekaligus sebagai realisasi dan implementasi rukun Islam yang ke tiga.
Jika regulasi zakat ini bisa diperkuat pada
2014 ini atau tahun 2015 nanti, maka regulasi ini insya Allah akan sangat
membantu Zikir dalam mewujudkan janji-janji politiknya selama era kepemimpinan Zikir
di Aceh.
Jadi, jangan sampai setelah pada 2013 ini
lembaga zakat swasta di larang eksis di Aceh berdasarkan Qanun Qanun nomor 10
tahun 2007, lalu kewenangan Baitul Maal juga tidak diperkuat dengan political
wiil pemerintah Aceh.
Lebih dari itu, lex specialist Aceh di
mata pusat sebenarnya juga bisa dibuktikan oleh pemerintah Aceh dengan membawa
tawaran yang kompromis dan solutif bagi Aceh agar kepengelolaan pajak di Aceh
bisa dibagi. Misalnya dengan tawaran, pajak yang dipungut dari Aceh misalnya
agar tidak perlu semuanya dibawa ke Jakarta dan diatur di sana sebelum kemudian
dibagi lagi ke daerah-daerah.
Pemerintah Aceh misalnya bisa meminta pemerintah
Pusat agar 50 persen atau lebih Pajak yang dipungut di Aceh bisa dikelola oleh
Baitul Maal untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat Aceh. Dengan jalan
seperti ini, lex specialist Aceh tidak lagi hanya digunakan untuk
simbol-simbol saja oleh Pemerintah Aceh. Tapi juga yang terkait langsung dengan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.
Selain
memperkuat regulasi zakat di Aceh, peran Baitul Maal di seluruh Aceh saat ini
juga harus didiskusikan dan ditata kembali dengan cara menghimpun berbagai
ide-ide dan masukan konstruktif dari berbagai kalangan. Kita berharap agar
Baitul Mal sebagai pelaku di lapangan dari regulasi yang dibuat pemerintah bisa
mendapatkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Kita berharap
Baitul Mal harus responsive, artinya peka terhadap urusan masyarakat dan
membantunya dengan cepat tanpa pengurusan yang berbelit-belit dan elitis
sehingga Baitul Maal betul-betul bisa merakyat dan meraih kepercayaan segenap
masyarakat Aceh. Dengan penguatan regulasi zakat dan pembenahan Baitul Maal di
seluruh Aceh, kita yakin insya Allah kemiskinan di Aceh akan bisa dientaskan.
Amiin