Mengembalikan Peradaban Islam di Aceh
Salah satu benteng pertahanan umat Islam di masa Turki Usmani. Foto: google Oleh Teuku Zulkhairi Empat agama besar dunia saat in...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/10/mengembalikan-peradaban-islam-di-aceh.html
![]() |
Salah satu benteng pertahanan umat Islam di masa Turki Usmani. Foto: google |
Oleh Teuku Zulkhairi
Empat agama besar dunia saat ini memiliki
peradaban yang kokoh yang memperkuat eksistensi ajaran agama tersebut. Kristen
memiliki wilayah Eropa dan Amerika yang memperkuat peradabannya dengan Vatikan
sebagai sentralnya. Budha memiliki negara China (RRC) yang terus bergerak
menjadi negara Super Power secara ekonomi dan militer. Hindu memiliki
Negara India yang terus maju dalam bidang pendidikan dan teknologi. Dan agama
Yahudi yang memiliki negara Israel dengan ditopang oleh militer, ekonomi serta
jaringan Zionisme di seluruh dunia.
Meskipun dewasa ini beberapa peradaban ini
telah menampakkan kerapuhan fondasinya, namun tidaklah penting bagi kita orang
Aceh membicarakan kelemahan sistem lain, tugas kita sebagai Muslim adalah
memperkuat sistem Islam sehingga Islam mampu menjadi pemain utama sebagai guru
dunia (ustaziatul alam) dengan cara membumikan sistem Islam dalam
aksi-aksi lokal keAcehan. Mengkaji kerapuhan fondasi peradaban lain mungkin
penting jika dimaksudkan sebagai upaya melihat kelemahan sistem buatan manusia
untuk membuktikan kesempurnaan sistem Islam sebagai ciptaan Pencipta manusia
sehingga kita semakin bersemangat dalam membangun Aceh bersama Islam.
Realitasnya hari ini, Islam meskipun merupakan
salah satu agama terbesar di dunia, namun belum memiliki negara yang kuat yang
mampu memperkenalkan Islam sesuai dengan wajah aslinya dengan cara yang.
Alhasil, peradaban Islam masih tercerai berai semenjak Khilafah Islamiah di
Turki ambruk pada tahun 1924 yang lalu.
Beberapa Negara dengan mayoritas Islam
memang sedang berupaya merintis kebangkitan Islam, seperti Turki, Mesir dan
sebagainya. Seruan-seruan dan tuntutan untuk membangun negeri dengan cahaya
Islam terus bergema di seluruh dunia karena sistem Islam diyakini oleh banyak
ilmuan lintas agama sebagai solusi masa depan atas berbagai fenomena kehancuran
peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi hari ini.
Akhirnya, cahaya
Islam terus menjadi kerinduan umat manusia meskipun opini publik tentang Islam
terus menerus dibentuk secara negatif oleh media massa Barat yang pro zionis.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan persentase muallaf di berbagai
negara terus meningkat dan Islam dikabarkan menjadi agama yang tumbuh subur di
negara-negara Barat.
Sampai di sini, kita bisa berkesimpulan
bahwa “proyek” rintisan kebangkitan ini sepertinya terus mendapatkan hasil yang
maksimal. Secara historistik, bahwa peradaban yang tadinya tenggelam akan
selalu memungkinkan untuk bangkit kembali jika nilai-nilainya peradaban yang
telah tenggelam tersebut digali kembali, didiskusikan dan direvitalisasi
kembali oleh generasi mudanya. Disisi lain, secara teologis ini merupakan janji
Allah bahwa dunia ini akan diwariskan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan
beramal shalih.
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku “ (Qs An- Nur: 55).
Pada titik ini, sebagai orang Aceh yang
beragama Islam, kita harus terus menghidupkan diskursus pentingnya membangun
Aceh dengan cahaya Islam. Mengapa? Karena tidak ada jalan kebangkitan bagi Aceh
selain membangun bersama Islam dengan mengadopsi semua sistemnya secara
totalitas. Tidak mungkin kita akan bisa membangkitkan kembali peradaban Aceh
jika sistem dan konsepsi Islam sebagai agama yang kita anut tidak kita
transformasikan dalam semua tatanan kehidupan kita. Membangun Aceh dengan
cahaya Islam akan menempatkan posisi Aceh yang sejajar dalam deretan pergerakan
dan arus kebangkitan Islam global.
Akan memperkuat posisi Aceh
Dalam sebuah diskusi dengan seorang
Peneliti Turki, Dr Mehmet Ozay beberapa waktu lalu, ia berkesimpulan bahwa Aceh
memiliki segala alasan untuk memimpin dunia Melayu Islam di Asia Tenggara.
Secara ilmiah, kesimpulan peneliti ini sangat berasalan mengingat Aceh dalam
sejarahnya memiliki posisi yang sangat strategis di dunia Melayu. Peradaban Melayu
bahkan dikabarkan dilahirkan dari Aceh. Sebagai contoh adalah posisi Aceh
dalam bidang sejarah bahasa Melayu yang memungkinan Aceh bisa mengampil
posisi penting dalam dunia Melayu, seperti dijabarkan oleh T.A. Sakti dalam
artikelnya berjudul “Bahasa Melayu Pasai, Akar Tunjang Bahasa Nasional
Indonesia” yang diterbitkan Harian Serambi Indonesia kerjasama dengan Balai
Bahasa Banda Aceh (19/5 2013), bahwa “bahasa Melayu Pasai berkembang pada masa
Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524 M). Kerajaan ini amat berperan dalam
penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah Asia Tenggara, seperti Melaka dan
Jawa. Bersamaan berkembangnya agama Islam itu tersebar pula bahasa Melayu Pasai
di wilayah tersebut melalui kitab-kitab pelajaran agama Islam yang menggunakan
bahasa Melayu Pasai sebagai pengantarnya”.
Ternyata, sistem Islam sangat kuat dan
begitu identik dalam formasi bangunan kejayaan Aceh di masa silam. Kebesaran
Aceh lewat bahasa Melayu sangat identik dengan Islam. Maka, posisi sentral Aceh
seperti ini dalam sejarahnya sesungguhnya harus direvitalisasi kembali untuk
kita jadikan landasan pembangunan Aceh hari ini dan masa depan. Dalam
perspektif solusi akademis, ada banyak manuskrip Aceh yang hari ini masih
berada di Aceh (seperti yang disimpan oleh Tarmizi A.Hamid) walau sebagian
besarnya telah dicuri oleh penjajah Belanda dulu. Kajian-kajian manuskrip
tersebut harus terus diperkuat kembali untuk mencari dan menemukan kembali
jatidiri Aceh yang telah hilang. Kita berharap, pemerintah bisa berupaya
mengembalikan manuskrip-manuskrip Aceh di luar negeri seperti Belanda. Tentu
ini tidak sulit jika memang ada kemauan. Usaha revitalisasi sejarah ini akan
mampu memperkenalkan kembali kebesaran Aceh di mata dunia, khususnya dalam
skala regional dunia Melayu Asia Tenggara yang bisa katakan hari ini sedang
berpusat di Malaysia.
Menuju agenda besar mengembalikan posisi
sentral Aceh, pada saat yang bersamaan kita harus mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan “kecil” yang hari ini melilit kita sebelum kemudian Aceh
memainkan perannya dalam skala regional. Lalu bagaimana cara konkritnya? Tentu
saja dengan cara menggali kembali rumus-rumus, konsepsi dan solusi yang
diberikan Islam agar kita lepas total dari segudang persoalan Aceh hari ini.
Saya yakin, Islam akan mampu menjadi pemersatu dan stimulus pembangunan Aceh
jika pemerintah berkomitmen kuat merujuk pada Alqur’an dan Hadits atas apapun
persoalan yang mendera Aceh hari ini. Tentu kita optimis dengan cita-cita ini
melihat adanya itikad baik pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf.
Solusi Islam atas persoalan Aceh
Dengan kesediaan Aceh hari ini harus
merujuk total kepada sistem Islam dengan berbagai rumus-rumus pembangunannya,
maka saya yakin posisi sentral Aceh akan bisa temukan kembali. Dalam konteks usaha
perbaikan individu dan struktur sosial masyarakat Aceh, Islam telah
memperkenalkan kepada kita nilai-nilai persaudaraan dan persatuan seperti
Muhajirin dan Ansar, toleransi dalam menyikapi urusan khilafiyah fikh seperti
yang ditunjukkan oleh para ulama mazhab, peduli kepada yang terzhalimi, saling
menghargai, amanah, sederhana, jujur, berani mengatakan yang benar walau
resikonya pahit, twadhu’, qana’ah, tidak ta’sshub, muhasabah
atau intorspeksi diri, husnudhan/baik sangka, budaya tabayyun,
budaya saling mengingatkan, saling ta’arruf sebagaimana yang dikatakan
Abu Panton dalam bukunya sebagai upaya resolusi konflik (2008).
Selain itu,
kita juga perlu mempopulerkan konsepsi lain bagi pemerintah dan masyarakat
seperti ‘ubudiyah(totalitas dalam penghambaan diri kepada Allah), mas’uliyah(pertanggungjawaban
bukan hanya kepada manusia (pemerintah) tetapi juga kepada Allah Swt, serta
rumus dan konsepsi lainnya yang terkandung luas dalam Alquran dan Hadits
seperti konsepsi ekonomi Islam yang anti ribawi, pendidikan dan sebagainya
untuk kita jadikan sebagai pedoman hidup dan referensi pembangunan Aceh hari
ini.
Konsepsi Islam tersebut harus terus kita
kaji, kita sosialisasikan dan kita bumikan di Aceh agar kita terus membangun
menuju kejayaan bersama Islam serta menyelesaikan segudang persoalan Aceh pada
saat yang bersamaan. Tanpa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Aceh hari
ini dengan sistem Islam seperti yang penulis sebutkan di atas, maka mustahil
Aceh mampu berbicara pada tataran regional serta mengkampanyekan keindahan
Islam dan kesempurnaan sistemnya. Bagaimana Aceh akan tampil sebagai pemain
penting dalam isu-isu regional jika Aceh sendiri tidak mampu keluar dari
kungkungan persoalan-persoalan lokal? Sampai disini, harapan kita agar apapun
persoalan Aceh hari ini besar maupun kecil mestilah kita merujuk pada teori
Islam dalam penyelesaiannya. Setelah itu, kita berharap pada saat yang
bersamaan posisi Aceh semakin sehingga kita bisa memainkan peran kita dalam
skala regional menyambut arus kebangkitan peradaban Islam secara global.
Mengutip analisa alm Dr Teuku Iskandar
dalam bukunya: “Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad” yang dikutip T.A
Sakti dalam lanjutan artikelnya, “Jika sebuah pusat kerajaan menjadi penting
dari sudut politik dan ekonomi, kaum cerdik pandai dan pujangga-pujangga, baik
dari dalam maupun luar negeri, akan bertumpu pada tempat itu. Dengan jalan
demikian lahirlah sebuah pusat kebudayaan dan kesusasteraan. Munculnya pusat
politik dan pusat ekonomi baru akan melemahkan pusat kekuasaan lama dan pusat
kebudayaan akan tersebar ke sekitarnya dan dilanjutkan disana”. Tentu, kita
optimis dengan cita-cita ini. Wallahu a’lam bishshawab.