PNS, antara Kinerja dan Kenaikan Gaji
Oleh Teuku Zulkhairi Sebelum menjadi aparatur negara, seseorang pasti akan terlebih dahulu mendapatkan pendidikan dan pelatihan(Diklat) ten...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2011/08/pns-antara-kinerja-dan-kenaikan-gaji.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Sebelum menjadi aparatur negara, seseorang pasti akan terlebih dahulu mendapatkan pendidikan dan pelatihan(Diklat) tentang pola pikir Pegawan Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara atau birokrat. Tentang tanggung jawab untuk mewujudkan pelayanan prima yang memberikan kepuasan bagi masyarakat serta berbagai kewajiban dan etika-etika yang harus dijaga. Gagal dalam Diklat ini akan menyebabkan gagal atau tertundanya seseorang untuk menjadi PNS.
Artinya, secara ideal, pasca mengikuti Diklat, seorang PNS itu dianggap sudah memenuhi kriteria dan lulus sebagai seorang PNS sejatinya yang siap menjadi abdi negara yang taat. Ia akan dianggap sudah paham tentang kewajiban dan larangan bagi seorang PNS. Ia juga diyakini sudah paham tentang kode etik seorang PNS. Untuk menjamin lancarnya pelaksanaan semua tugas dan kewajiban PNS ini, mereka juga mesti mengucapkan sumpah setia atau panca prasetia sebagai PNS yang dituangkan dalam poin-poin kewajiban seorang PNS. Intisari dari sumpah itu misalnya seperti: siap untuk tidak melakukan KKN, melakukan tugas kedinasan dan mentaati jam kerja sesuai aturan yang telah ditetapkan, profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dan sebagainya. Kewajiban dan larangan bagi PNS ini dianggap wajar dengan hak yang diberikan pemerintah kepada mereka. Selain gaji pokok dan tunjangan yang mereka terima, saat ini pemerintah bahkan juga sudah memberikan renumerasi(tunjangan kinerja) yang layak bagi segenap aparatur negara.
Namun realitanya, hari ini kita masih melihat masih ada masyarakat yang mengeluh atas standar mutu pelayanan yang diberikan seorang aparatur negara. Adanya PNS yang tidak disiplin dalam melaksanakan tugas. Suka ‘mengutip’ disana sini dengan dalih biaya ‘adm’. Tidak memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Suka bolos, seperti yang diberitakan oleh berbagai media beberapa waktu lalu perihal ramainya PNS yang tidak masuk kerja dalam bulan Ramadhan. Kita saksikan juga banyaknya aparatur negara ini yang sibuk main game atau nongkrong di warung kopi saat jam kerja, sehingga masyarakat tidak jarang merasakan sulitnya berurusan dengan aparatur pemerintah.
Dihadapan realita ini, pemerintah pusat dikabarkan akan menaikkan gaji PNS sebesar 10 persen. Penaikan gaji PNS ini tentu saja dengan harapan agar mutu layanan publik semakin prima dan berkualitas. Pertanyaannya, apakah perilaku koruptif dan rendahnya mutu layanan publik oleh PNS sebagai aparatur negara selama ini disebabkan karena rendahnya gaji mereka sebagai abdi negara sehingga pemerintah mesti menaikkan gaji mereka dulu untuk memperbaiki mutu layanan publik sekaligus menghilangkan budaya koruptif?
Moralitas, bukan Gaji
Jika kita kaji, nampaknya nampaknya masalahnya bukan pada gaji semata. Semua ini terkait dengan moralitas seorang aparatur negara itu sendiri. Moralitas, mentalitas dan falsafah berfikit aparatur negara yang memang masih bermasalah dan sering kali menjadi kendala utama dalam usaha pembangunan bangsa. Jika moralitas seorang aparatur negara ini tidak baik, maka imbasnya adalah buruknya image negara secara umum. Negara akan dianggap tidak sanggup mengurus rakyatnya sehingga terjadilah berbagai ketimpangan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Disinilah bahayanya sikap seorang aparatur negara yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Karena hak mereka yang diberikan pemerintah, pada dasarnya berasal dari rakyat. Hakikatnya, rakyatlah yang meng-gaji para aparatur negara tersebut. Maka, seharusnya, memang sudah sangat layak jika PNS itu dianggap sebagai pelayan bagi masyarakat, bukan masyarakat yang harus melayani mereka. Karena rakyat yang menggaji mereka, maka masyarakat adalah ‘raja’, PNS adalah pelayan bagi ‘raja’ ini.
Disini, penulis hanya mengajak kembali para aparatur negara untuk introspeksi kembali tentang posisi sebagai aparatur negara beserta segala kewajiban dan larangan serta kode etik yang mengikatnya. Bahwa gaji bukan alasan kita untuk tidak memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Bahwa semua itu bukan hanya sebatas pengetahuan yang tidak diwujudkan aplikasi praktisnya secara empirik. Melainkan sebuah aturan yang mengikat dan sangat memalukan bagi siapa saja yang melanggarnya. Bahwa sesungguhnya sumpah yang diucapkan juga akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa, serta oleh masyarakat maupun negara.
Solusi
Untuk memperbaiki moralitas aparatur negara ini, hal pertama yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan terus peningkatan kualitas SDM. Meningkatnya kualitas SDM diyakini akan mampu memberikan citra profesionalitas dalam pelaksanaan tugas sebagai abdi negara. Selain itu, di instansi-instansi pemerintah, pengajian mingguan perlu dihidupkan terus menerus. Pada setiap instansi pemerintah, mutu dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh segenap aparaturnya kepada masyarakat sangat tergantung kepada bagaimana suri tauladan
Selain sosok leadership seorang pimpinan, pelaksaan nilai-nilai agama secara berjamaah juga sangat penting. Misalnya shalat berjamaah yang dipandu oleh atasan atau pimpinan, hal ini akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan motifasi aparatur negara dalam memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. dengan kebersamaan ini, seorang atasan atau pimpinan akan bisa memonitor prilaku seoranng bawahan, bagaimana standar intensitas interaksinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi yang muslim, jangan sampai sebuah instansi pemerintah pemimpinnya tidak pernah atau jarang shalat berjamaah di mesjid, jarang melakkan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan karena akan menjadi contoh buruk yang kemungkinan akan diadopsi oleh bawahannya.
Selain itu, pemberian hukuman yang layak bagi aparatur negara ini juga akan sangat membantu usaha peningkatan mutu layanan publik. Seorang pimpinan tidak perlu memelihara seorang aparatur negara yang tidak bermoral, tidak menjalankan tugas, KKN dan sebagainya. Bahwa posisinya sebagai pimpinan dalam jajaran birokrasi pemerintahan pada hakikatnya bukanlah untuk melindungi bawahan yang melakukan pelanggaran, akan tetapi untuk melayani masyarakat. Dengan pemberian hukuman ini, penulis yakin akan dapat menumbuhkan kembali budaya malu di kalangan aparatur pemerintahan negeri ini.
Masyarakat Harus Terus Memantau
Dan terakhir, pengawasan oleh masyarakat. Tanpa adanya pengawasan masyarakat, semua aturan yang dibuat bisa dipastikan tidak akan berjalan secara maksimal. Masyarakat yang merasa tidak mendapatkan pelayanan yang prima oleh sebuah instansi layanan publik, mestinya juga harus pro aktif. Membiarkan saja ketimpangan terus terjadi oleh prilaku buruk aparatur pemerintah tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Masyarakat perlu segera melapor kepada pihak-pihak berwajib jika ada PNS yang melanggar aturan. Di alam terbuka seperti saat ini, peranan media massa (pers) dirasa juga sangat membantu dalam memperbaiki buruknya mutu layanan publik. Masyarakat bisa mengirim keluhannya kepada media massa seperti dalam bentuk surat pembaca untuk melaporkan adanya kejanggalan yang mereka dari aparatur negara. Dalam konteks agama, ‘berani mengatakan yang hak walaupun pahit’ adalah konsekuensi menjadi seorang muslim sejati. Bagi PNS sendiri, peningkatan gaji selayaknya dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas kinerja dalam bentuk pelayanan prima, memudahkan, tidak mempersulit dan tanpa budaya korupsi. Wallahu a’lam bishsawab.
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.