"Aceh Satu Mazhab" [Tulisan tahun 2010]
Oleh Teuku Zulkhairi REKOMENDASI hasil mubahasah (kajian) ulama Aceh beberapa waktu lalu patut diapresiasi, ditelaah atau bahkan unt...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/07/aceh-satu-mazhab-tulisan-tahun-2010.html
Oleh Teuku Zulkhairi
REKOMENDASI hasil mubahasah (kajian) ulama Aceh beberapa waktu lalu patut diapresiasi, ditelaah atau bahkan untuk dikritik. Misalnya, poin pertama rekomendasi tersebut merupakan permintaan ulama kepada Pemerintah (umara) Aceh agar dalam penerapan syariat Islam memformulasikan akidah ‘Ahlu Sunnah wal Jamaah (Sunni), serta hendaklah berdasarkan mazhab Imam Syafi’i serta empat poin rekomendasi lainnya, Serambi (18/5/2010).
REKOMENDASI hasil mubahasah (kajian) ulama Aceh beberapa waktu lalu patut diapresiasi, ditelaah atau bahkan untuk dikritik. Misalnya, poin pertama rekomendasi tersebut merupakan permintaan ulama kepada Pemerintah (umara) Aceh agar dalam penerapan syariat Islam memformulasikan akidah ‘Ahlu Sunnah wal Jamaah (Sunni), serta hendaklah berdasarkan mazhab Imam Syafi’i serta empat poin rekomendasi lainnya, Serambi (18/5/2010).
Rekomendasi itu diharapkan menjadi
terobosan solutif aplikatif untuk perkembangan mutu kehidupan beragama di Aceh.
Saya sebut ‘patut diapresiasi’ karena implementasi dari hasil mubahasah
tersebut saat ini dirasa begitu penting di tengah kondisi kehidupan beragama
dan berakidah masyarakat Aceh sedang mengalami serbuan dahsyat paham-paham yang
merusak yang sebagian besar diantaranya merupakan paham imporan dari luar Aceh.
Selain itu, saya sebut ‘patut ditelaah’
karena rekomendasi tersebut meski pada tataran implementasinya belum mengikat,
namun pasca kelahirannya poin-poin dari rekomendasi ulama tersebut bisa
dipastikan akan menghasilkan multi tafsir dari masyarakat luas, apalagi jika
kemudian Gubernur Irwandi Yusuf menjadikan rekomendasi tersebut sebagai pijakan
bagi regulasi hukum yang mengikat (kita harap demikian).
Perlu ada kajian lebih lanjut untuk
menerangkan secara terperinci yang dihasilkan oleh kesepakatan mayoritas ulama.
Misalnya, perlu ada kejelasan dan telaah lebih lanjut untuk menyepakati paham
apa saja yang telah tersebar di Aceh saat ini yang melenceng dari paham Sunni,
dan kiranya perlu dilakukan riset secara mendalam dan cermat.
Hal ini saya rasa begitu penting agar
masyarakat tidak main hakim sendiri dalam menghakimi sebuah kelompok atau paham
karena interpretasi liarnya, atau juga sebaliknya agar masyarakat Aceh memiliki
informasi yang cukup untuk mengenali suatu kelompok/paham yang telah melenceng
dari akidah Sunni dan kemudian menykapinya secara bijak.
Selain itu, masyarakat Aceh perlu
diperjelas untuk mengenali paham dan paradigma kontemporer dan statusnya dalam
kacamata akidah Sunni. Misalnya; Pluralisme Agama yang akhir-akhir ini
diskursusnya begitu menggema di Aceh, lsekulerisme, atheisme dan cabang-cabang
dari paham neo mu’tazilah lainnya. Begitu juga paham Syiah yang notabene sangat
bertolak belakang dengan akidah Sunni yang dewasa ini sangat berkembang di
Aceh, para ulama perlu menjelaskan hal ini lebih lanjut dalam bentuk
seminar-seminar dengan sosialisasi intens dan konperhensif kepada masyarakat.
Kenapa melenceng dari akidah Sunni, bagaimana mengatisipasinya, apa solusi bagi
mereka yang terlanjur terdoktrin oleh paham-paham tersebut, apa peran yang bisa
diambil pemerintah untuk mengantisipasi paham-paham tersebut, bagaimana
seharusnya sikap masyarakatd dan sebagainya.
Dan tentunya semuanya harus tetap dalam
kerangka bil mu’idhatil hasanah. Satu Mazhab Resmi Dalam konteks bermazhab,
saya melihat rekomendasi ulama yang menganjurkan masyarakat Aceh untuk memakai
satu mazhab dalam aspek amaliyah yaumiah (rutinitas ritual) masyarakat Aceh
dirasa begitu penting, meski dengan banyak catatan yang menyertainya.
Hal ini dengan mengaca pada pengalaman
Brunei Darussalam yang menjadikan satu mazhab fikih (mazhab Syafi’i) sebagai
mazhab negara demi menjaga persatuan masyarakat dalam konteks ibadah dan
muamalah. Namun juga patut dikritisi apabila pada taraf implementasinya nanti
justru menyebabkan terjadinya kejumudan berpikir umat Islam.
Fakta selama ini adalah, sebagian kecil
teman-teman saya kaum santri di Aceh masih melihat selain mazhab Syafi’i
merupakan mazhab yang menyentuh ranah akidah atau melenceng dari akidah Sunni,
padahal persoalan mazhab fikih merupakan persoalan khilafiyah dengan kebebasan
yang luas untuk memilih salah satunya.
Akibat dari situasi ini adalah,
‘menyentuh’ saja kitab-kitab non mazhab Syafi’i bagai suatu keharaman bagi
kelompok minoritas ini, tak pelak kondisi ini mengakibatkan terjadinya
kejumudan berpikir yang amat akut karena khazanah keilmuan Islam yang
seharusnya diperoleh secara komperhensif namun justru mengalami hambatan karena
paradigma yang tertanam tadi telah salah kaprah.
Hal ini juga untuk mengantisipasi paham
bebas mazhab (anti mazhab) yang dewasa ini sedikit demi sedikit mulai
menanamkan pengaruhnya di arena kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Meski
realitanya paham ini belum memiliki latar belakang serta akar yang kuat karena
ketidakmampuannya memberikan alternatif atau solusi pengganti dari
mazhab-mazhab yang sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu serta telah
diakui oleh berbagai golongan ulama dalam lintas zaman dan teritorial.
Paham ini secara umum tersebar di
kampus-kampus agama yang dipelopori alumnus-alumnus luar dan dalam negeri.
Secara garis besar paham ini menekankan pentingnya berpikir secara kritis dan
memberi kebebasan yang absolut kepada setiap individu untuk melakukan ijtihad
tanpa ada batasan.
Gerakan bebas mazhab ini memang nampak
berhasil dalam menanamkan rasa kebanggaan pada kelompok yang mengaku sebagai
kaum modernis, lebih-lebih bila dikaitkan dengan masalah kebangkitan umat
Islam. Karena bagi mereka, berpikir secara bebas adalah simbol dari kemajuan
berpikir.
Sedangkan berpegang teguh kepada
prinsip-prinsip tradisional adalah ciri dan watak kemunduran dan kejumudan.
Namun bila dikaji lebih mendalam kemudian dihubungkan dengan perkembangan
syariat Islam sejak awal mula hingga kini, ternyata gerakan bebas mazhab ini
faktanya belum mampu melahirkan budaya baru dalam masalah pembinaan hukum
Islam.
Dia masih berputar-putar dalam arena
yang sudah dipagari tembok mazhab dengan kokoh, dan belum mampu melepaskan diri
sama sekali dari kendali salah satu mazhab. Dari beberapa diskusi yang pernah
penulis terlibat di dalamnya nampak bahwa pada dasarnya paham “bebas mazhab”
ini lahir karena perasaan kecewa ketertinggalan yang dialami umat Islam.
Namun ternyata, melepaskan ikatan mazhab
justru akan menimbulkan goncangan dahsyat dan sama sekali juga tidak akak
memberi efek postif untuk kebangkitan umat Islam, karena memang ketertinggalan
umat Islam dewasa ini bukanlah karena faktor mazhab fikih tersebut.
Tidak ada alasan tepat yang dimiliki
kelompok bebas mazhab untuk menuduh mazhab-mazhab fikih sebagai biang keladi
kemunduran umat Islam. Paham bebas mazhab ini menganjurkan kepada semua umat
Islam agar melakukan ijtihad tanpa memandang tingkatan kemampuan mereka di
bidang agama dan melarang mereka taklid kepada imam-imam mazhab.
Hal ini tentu sangat berbahaya, bila
tetap dipaksa untuk dilakukan maka bisa dipastikan akan menimbulkan kegoncangan
terhadap syariat Islam, karena medan syariat sudah dimasuki oleh orang-orang
yang tidak mengerti aturan permainan hukum. Orang-orang awam sudah tentu tidak
mampu melakukan istinbath hukum dari Alquran dan hadis.
Kalau hal ini dipaksakan juga hanya
karena dorongan supaya dikatan modern, sesuai dengan tuntutan zaman, tidak
jumud atau kaku, tidak taklid buta dan semacamnya, maka jelas akan terjadi
acak-acakan dan anarkisme dalam hukum Islam.
Maka, rekomendasi ulama Aceh hasil
mubahasah kemarin patut untuk dipertimbangkan, meski dengan catatan tidak
membunuh perbedaan antar mazhab yang ada atau justru menjadi penyebab
terjadinya stagnasi pemikiran kritis umat Islam di Aceh.
* Penulis adalah Mahasiswa
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. http://www.serambinews.com/news/view/31075/aceh-satu-mazhab