"Aceh Satu Mazhab" [Tulisan tahun 2010]

Oleh Teuku Zulkhairi   REKOMENDASI hasil mubahasah (kajian) ulama Aceh beberapa waktu lalu patut diapresiasi, ditelaah atau bahkan unt...

Oleh Teuku Zulkhairi 

REKOMENDASI hasil mubahasah (kajian) ulama Aceh beberapa waktu lalu patut diapresiasi, ditelaah atau bahkan untuk dikritik. Misalnya, poin pertama rekomendasi tersebut merupakan permintaan ulama kepada Pemerintah (umara) Aceh agar dalam penerapan syariat Islam memformulasikan akidah ‘Ahlu Sunnah wal Jamaah (Sunni), serta hendaklah berdasarkan mazhab Imam Syafi’i serta empat poin rekomendasi lainnya, Serambi (18/5/2010).
Rekomendasi itu diharapkan menjadi terobosan solutif aplikatif untuk perkembangan mutu kehidupan beragama di Aceh. Saya sebut ‘patut diapresiasi’ karena implementasi dari hasil mubahasah tersebut saat ini dirasa begitu penting di tengah kondisi kehidupan beragama dan berakidah masyarakat Aceh sedang mengalami serbuan dahsyat paham-paham yang merusak yang sebagian besar diantaranya merupakan paham imporan dari luar Aceh.
Selain itu, saya sebut ‘patut ditelaah’ karena rekomendasi tersebut meski pada tataran implementasinya belum mengikat, namun pasca kelahirannya poin-poin dari rekomendasi ulama tersebut bisa dipastikan akan menghasilkan multi tafsir dari masyarakat luas, apalagi jika kemudian Gubernur Irwandi Yusuf menjadikan rekomendasi tersebut sebagai pijakan bagi regulasi hukum yang mengikat (kita harap demikian).
Perlu ada kajian lebih lanjut untuk menerangkan secara terperinci yang dihasilkan oleh kesepakatan mayoritas ulama. Misalnya, perlu ada kejelasan dan telaah lebih lanjut untuk menyepakati paham apa saja yang telah tersebar di Aceh saat ini yang melenceng dari paham Sunni, dan kiranya perlu dilakukan riset secara mendalam dan cermat.
Hal ini saya rasa begitu penting agar masyarakat tidak main hakim sendiri dalam menghakimi sebuah kelompok atau paham karena interpretasi liarnya, atau juga sebaliknya agar masyarakat Aceh memiliki informasi yang cukup untuk mengenali suatu kelompok/paham yang telah melenceng dari akidah Sunni dan kemudian menykapinya secara bijak.
Selain itu, masyarakat Aceh perlu diperjelas untuk mengenali paham dan paradigma kontemporer dan statusnya dalam kacamata akidah Sunni. Misalnya; Pluralisme Agama yang akhir-akhir ini diskursusnya begitu menggema di Aceh, lsekulerisme, atheisme dan cabang-cabang dari paham neo mu’tazilah lainnya. Begitu juga paham Syiah yang notabene sangat bertolak belakang dengan akidah Sunni yang dewasa ini sangat berkembang di Aceh, para ulama perlu menjelaskan hal ini lebih lanjut dalam bentuk seminar-seminar dengan sosialisasi intens dan konperhensif kepada masyarakat. Kenapa melenceng dari akidah Sunni, bagaimana mengatisipasinya, apa solusi bagi mereka yang terlanjur terdoktrin oleh paham-paham tersebut, apa peran yang bisa diambil pemerintah untuk mengantisipasi paham-paham tersebut, bagaimana seharusnya sikap masyarakatd dan sebagainya.
Dan tentunya semuanya harus tetap dalam kerangka bil mu’idhatil hasanah. Satu Mazhab Resmi Dalam konteks bermazhab, saya melihat rekomendasi ulama yang menganjurkan masyarakat Aceh untuk memakai satu mazhab dalam aspek amaliyah yaumiah (rutinitas ritual) masyarakat Aceh dirasa begitu penting, meski dengan banyak catatan yang menyertainya.
Hal ini dengan mengaca pada pengalaman Brunei Darussalam yang menjadikan satu mazhab fikih (mazhab Syafi’i) sebagai mazhab negara demi menjaga persatuan masyarakat dalam konteks ibadah dan muamalah. Namun juga patut dikritisi apabila pada taraf implementasinya nanti justru menyebabkan terjadinya kejumudan berpikir umat Islam.
Fakta selama ini adalah, sebagian kecil teman-teman saya kaum santri di Aceh masih melihat selain mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang menyentuh ranah akidah atau melenceng dari akidah Sunni, padahal persoalan mazhab fikih merupakan persoalan khilafiyah dengan kebebasan yang luas untuk memilih salah satunya.
Akibat dari situasi ini adalah, ‘menyentuh’ saja kitab-kitab non mazhab Syafi’i bagai suatu keharaman bagi kelompok minoritas ini, tak pelak kondisi ini mengakibatkan terjadinya kejumudan berpikir yang amat akut karena khazanah keilmuan Islam yang seharusnya diperoleh secara komperhensif namun justru mengalami hambatan karena paradigma yang tertanam tadi telah salah kaprah.
Hal ini juga untuk mengantisipasi paham bebas mazhab (anti mazhab) yang dewasa ini sedikit demi sedikit mulai menanamkan pengaruhnya di arena kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Meski realitanya paham ini belum memiliki latar belakang serta akar yang kuat karena ketidakmampuannya memberikan alternatif atau solusi pengganti dari mazhab-mazhab yang sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu serta telah diakui oleh berbagai golongan ulama dalam lintas zaman dan teritorial.

Paham ini secara umum tersebar di kampus-kampus agama yang dipelopori alumnus-alumnus luar dan dalam negeri. Secara garis besar paham ini menekankan pentingnya berpikir secara kritis dan memberi kebebasan yang absolut kepada setiap individu untuk melakukan ijtihad tanpa ada batasan.
Gerakan bebas mazhab ini memang nampak berhasil dalam menanamkan rasa kebanggaan pada kelompok yang mengaku sebagai kaum modernis, lebih-lebih bila dikaitkan dengan masalah kebangkitan umat Islam. Karena bagi mereka, berpikir secara bebas adalah simbol dari kemajuan berpikir.
Sedangkan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip tradisional adalah ciri dan watak kemunduran dan kejumudan. Namun bila dikaji lebih mendalam kemudian dihubungkan dengan perkembangan syariat Islam sejak awal mula hingga kini, ternyata gerakan bebas mazhab ini faktanya belum mampu melahirkan budaya baru dalam masalah pembinaan hukum Islam.
Dia masih berputar-putar dalam arena yang sudah dipagari tembok mazhab dengan kokoh, dan belum mampu melepaskan diri sama sekali dari kendali salah satu mazhab. Dari beberapa diskusi yang pernah penulis terlibat di dalamnya nampak bahwa pada dasarnya paham “bebas mazhab” ini lahir karena perasaan kecewa ketertinggalan yang dialami umat Islam.
Namun ternyata, melepaskan ikatan mazhab justru akan menimbulkan goncangan dahsyat dan sama sekali juga tidak akak memberi efek postif untuk kebangkitan umat Islam, karena memang ketertinggalan umat Islam dewasa ini bukanlah karena faktor mazhab fikih tersebut.
Tidak ada alasan tepat yang dimiliki kelompok bebas mazhab untuk menuduh mazhab-mazhab fikih sebagai biang keladi kemunduran umat Islam. Paham bebas mazhab ini menganjurkan kepada semua umat Islam agar melakukan ijtihad tanpa memandang tingkatan kemampuan mereka di bidang agama dan melarang mereka taklid kepada imam-imam mazhab.
Hal ini tentu sangat berbahaya, bila tetap dipaksa untuk dilakukan maka bisa dipastikan akan menimbulkan kegoncangan terhadap syariat Islam, karena medan syariat sudah dimasuki oleh orang-orang yang tidak mengerti aturan permainan hukum. Orang-orang awam sudah tentu tidak mampu melakukan istinbath hukum dari Alquran dan hadis.
Kalau hal ini dipaksakan juga hanya karena dorongan supaya dikatan modern, sesuai dengan tuntutan zaman, tidak jumud atau kaku, tidak taklid buta dan semacamnya, maka jelas akan terjadi acak-acakan dan anarkisme dalam hukum Islam.
Maka, rekomendasi ulama Aceh hasil mubahasah kemarin patut untuk dipertimbangkan, meski dengan catatan tidak membunuh perbedaan antar mazhab yang ada atau justru menjadi penyebab terjadinya stagnasi pemikiran kritis umat Islam di Aceh.
*  Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. http://www.serambinews.com/news/view/31075/aceh-satu-mazhab


Related

Paradigma Islam 3477759811076226745

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item