Aroma Deislamisasi Survei Kota Intoleran

AROMA DEISLAMISASI SURVEI KOTA INTOLERAN Opini Harian Serambi Indonesia, Jum'at, 21 Desember 2018 ENTAH kenapa, Aceh selalu saja...



AROMA DEISLAMISASI SURVEI KOTA INTOLERAN
Opini Harian Serambi Indonesia, Jum'at, 21 Desember 2018

ENTAH kenapa, Aceh selalu saja buruk dalam publikasi lembaga-lembaga survei nasional. Entah apa tujuannya. Pada 2011 misalnya, lembaga survei Lazuardi Biru menempatkan Aceh sebagai kota yang paling rentan menjadi kantong-kantong gerakan dan aksi radikal.

Lima tahun setelah itu, tepatnya pada 2016, giliran Ma’arif Institute yang kembali memojokkan Aceh, di mana lembaga survei ini menempatkan Banda Aceh sebagai kota yang paling tidak Islami. Pada saat yang sama, lembaga survei ini menempatkan Denpasar-Bali sebagai kota paling Islami. Jadi, image yang ingin dibangun, penerapan syariat Islam di Aceh tidak bisa membuat Aceh menjadi islami. Tentu ini sesuatu yang dapat membuat masyarakat luas ragu terhadap syariat Islam.

Beberapa hari lalu, Aceh kembali mendapat stigma negatif dari publikasi hasil survei kota intoleran. Kali ini, giliran Setara Institute yang tampil dengan publikasinya yang menempatkan Banda Aceh sebagai satu kota yang intoleran bersama dengan Jakarta, sebagaimana disiarkan berbagai media massa lokal dan nasional. Ringkasnya, selain menetapkan Salatiga sebagai kota yang paling toleran, publikasi hasil survei lembaga ini juga menempatkan Jakarta dan Banda Aceh sebagai kota yang tidak toleran. Jadi, dari dulu sampai saat ini, Aceh selalu menjadi bulan-bulanan oleh pihak luar.

Unsur subjektivitas
Apakah mungkin tidak ada skenario apa pun dalam publikasi survei tersebut? Pada faktanya, Banda Aceh adalah ibu kota Provinsi Aceh yang sedang berjuang menerapkan syariat Islam. Sementara itu, Jakarta yang kini dipimpin oleh Anies Baswedan, seorang gubernur yang cukup berakhlak dan cukup dekat dengan umat Islam. Bahkan, sejumlah kebijakannya sangat sesuai dengan aspirasi umat Islam, seperti penutupan Hotel Alexis yang merupakan lokasi prostitusi. Kebijakan-kebijakan Anies lainnya di Jakarta juga menyahuti aspirasi umat Islam. Jadi sampai di sini kita menangkap terdapatnya unsur subjektivitas dalam publikasi survei tersebut.


Sementara itu, dimasukkannya Banda Aceh sebagai kota intoleran sangat sarat dengan misi deislamisasi dan desyariatisasi, yaitu upaya untuk mendiskreditkan harkat martabat Islam dan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Jadi seolah dengan pemberlakukan syariat Islam, maka Banda Aceh menjadi kota yang intoleran.

Kesimpulan yang nampak ingin dibentuk, bahwa syariat Islam telah menciptakan umat Islam yang intoleran. Tidak tenggang rasa dengan umat non muslim. Padahal, jika menyimak pengakuan sejumlah tokoh agama non muslim di Banda Aceh, mereka justru merasakan kedamaian berada di Banda Aceh. Jadi, intoleran darimana kalau non muslim sendiri mengaku aman dan nyaman tinggal di Aceh?

Dari sejumlah publikasi survei di atas, saya memperkirakan Aceh ke depan juga akan selalu menjadi target pembusukan lembaga-lembaga survei semacam itu. Akan selalu ada upaya penggiringan untuk pembusukan image syariat Islam di Aceh, sehingga manusia akan dibuat ragu. Sampai kapan? Barangkali sampai kita lepaskan syariat Islam yang sudah dan sedang diterapkan. Artinya, jangan diterapkan lagi atau minimal dicabutnya qanun-qanun syariat Islam, seperti Qanun Jinayat.

Di hadapan realitas ini, kita berharap kiranya gubernur dan jajarannya, khususnya Dinas Syariat Islam memberi respons terhadap publikasi Setara Instutute, serta selalu siap dengan “serangan-serangan” di masa yang akan datang. Karena keindahan syariat Islam akan selalu tertutupi dengan pembusukan-pembusukan semacam itu yang tidak kita beri respons.

Perlu ada strategi khusus mengawal image syariat Islam di Aceh karena syariat Islam di Aceh bukan hanya soal orang Aceh saja. Akan tetapi juga pertaruhan nilai-nilai Islam yang dibanggakan umat Islam sedunia. Kita sering mendengar masyarakat di kawasan dunia Melayu yang membanggakan diterapkannya syariat Islam di Aceh, serta di mana mereka juga berharap dapat meneruskan jejak Aceh. Artinya, jika Aceh berhasil, maka mereka juga akan semakin semangat untuk menerapkannya di tempat mereka. Tapi jika Aceh gagal, ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya implmentasi syariat Islam, bahkan secara global.

Oleh sebab itu, tugas kita seharusnya tidak lagi hanya bagaimana membuat syariat Islam di Aceh bisa sukses, akan tetapi juga sudah seharusnya kita menjaga marwah dan ‘izzah (harga diri) syariat Islam di Aceh di pentas domestik dan dunia internasional. Jika terus-terusan gubernur dan Dinas Syariat Islam tidak memberi respons yang sepadan, maka kemungkinan terburuknya yang akan kita peroleh adalah rusaknya cara pandang manusia terhadap syariat Islam di Aceh. 

Artinya, kebenaran Islam akan tertutupi. Padahal syariat Islam yang kita jalankan di Aceh memiliki visi menjadi rahmat bagi sekalian alam, yang dapat dengan mudah sekali kita jelaskan kepada manusia sesuai dengan teori Maqashid Syari’ah.

Keindahan Islam
Selain itu, kita juga berharap agar sisi-sisi keberhasilan syariat Islam di Aceh semakin dapat terpublikasi secara luas di level nasional dan internasional. Pemerintah sudah seharusnya melangkah ke arah ini karena misi membangun peradaban Islam yang kita emban. Masa kita tidak mau orang-orang di seluruh dunia dapat melihat keindahan Islam dalam penerapan syariat Islam?


Apalagi, seperti kita bahas di atas, jika kita tidak bergerak ofensif, maka yang terjadi adalah bertaburnya pembusukan-pembusukan terhadap Islam dan syariat Islam dalam berbagai pentas. Karena hari ini, harus diakui, ketika siapa pun mendiskusikan syariat Islam, maka mereka pasti akan melihat Aceh sebagai wilayah yang sedang mencoba mengimplementasikannya.

Oleh sebab itu, selain kepada gubernur dan jajarannya, kita berharap semua pihak di Aceh bersama-sama untuk meng-counter publikasi survei “Kota Intoleran” oleh Setara Institute. Counter yang kita harapkan dapat memperjelas kepada manusia akan indahnya syariat Islam di Aceh dan bahwa adalah kebhongan yang nyata bagi siapa pun yang menuduh Banda Aceh sebagai kota intoleran.

Respons cukup cerdas telah ditunjukkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies meminta agar Setara Institute membuka kuesioner surveinya agar dapat diketahui metode pengajuan pertanyaan yang dibuat Setara Institute, karena memang ada keanehan dalam hasil survei tersebut. Dan pada faktanya, hingga saat ini Setara Institute tidak berani membuka kuesionernya. Juga tidak diketahui persis siapa funding (donatur) survei tersebut. Artinya, publikasi survei tersebut dicurigai memang cacat metodologis dan bahwa survei semacam itu sangat erat kaitannya dengan misi funding.

Apa yang dilakukan Anies dapat menjadi model bagi kita di Aceh tentang bagaimana cara kita memberi respons terbaik. Selain perlunya kita memberi respons atas upaya pembusukan-pembusukan syariat Islam, tugas lainnya yang mesti kita emban adalah bagaimana menjual syariat Islam, sehingga menjadi model bagi dunia. Setidaknya minimal agar manusia memahami indahnya syariat Islam.






Link: http://aceh.tribunnews.com/2018/12/21/aroma-deislamisasi-survei-kota-intoleran

Related

Syari'at Islam di Aceh 539564335904071460

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item