Duka MoU Helsinki
Oleh Teuku Zulkhairi 15 Agustus merupakan momen yang paling penting dalam perjalanan sejarah Aceh di era kontemporer.
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2011/08/duka-mou-helsinki.html
Oleh Teuku Zulkhairi
15 Agustus merupakan momen yang paling penting dalam perjalanan sejarah Aceh di era kontemporer.
Tepat pada 15 Agustus tahun 2005 yang lalu pemerintah Republik Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka(GAM) sepakat menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di kota Helsinki, Finlandia yang mengakhiri konflik panjang di Aceh.
Nota kesepahaman ini merupakan sebuah babak baru dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh yang telah berlangsung lama. MoU Helsinki tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu penyelenggaraan pemerintahan Aceh, hak azasi manusia, serta amnesti (bagi mantan kombatan GAM) dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Dalam MoU Helsinki: Poin 3.1.2 disebutkan bahwa: Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Presiden SBY juga penah mengeluarkan Keppres No. 22/2005 tentang pemberian amnesti umum dan abolisi kepada setiap orang yang terlibat GAM atau tepat lima belas hari setelah penandatanganan MoU Helsinki (15/08/2005). Selain itu juga Surat Usulan Pemberian Amnesti bagi sisa Tapol/Napol Aceh berdasarkan KEPPRES 22 tahun 2005, dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor: 330/3.368 tanggal 21 Juli 2008.Tepat pada 15 Agustus tahun 2005 yang lalu pemerintah Republik Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka(GAM) sepakat menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di kota Helsinki, Finlandia yang mengakhiri konflik panjang di Aceh.
Kisah Duka
Salah satu isi dari MoU Helsinki tesebut sebagaimana penulis sebutkan diatas adalah kesepakatan untuk membebaskan seluruh narapadina politik Aceh yang masih ditahan. Namun ternyata, implementasi poin tersebut tidak bisa tidak berlaku untuk semua kalangan. Salah satu yang hingga hari ini masih belum tersentuh oleh MoU tersebut adalah T.Ismuhadi bin Jakfar. Ia berasal dari Peusangan Bireuen. Merupakan Tahanan Politik(Tapol)/Narapidana Politik(Napol) Aceh yang sudah lebih 10 tahun mendekam di penjara Lapas 1 Cipinang Jakarta Timur. Para aktivis di Aceh, khususnya aktivis mahasiswa dan pegiat perdamaian sudah pasti mengenalnya. Begitu juga para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari kalangan elit. Sebagian besar mereka juga sudah pernah mengunjunginya. Ismuhadi dipenjara dengan tuduhan sebagai panglima GAM di wilayah Jabotadebek yang membuat kekacauan disana pada dekade 2000 an. Di dalam Dakwaan dan Tuntutan agar Hakim Menjatuhkan Pidana Hukuman mati pada Ismuhadi, yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Endang Rachwan, SH, di PN Jakarta Selatan, disebutkan dengan tegas kalimat, “Teuku Ismuhadi adalah Panglima GAM untuk Wilayah Jakarta Bogor Tangerang Bekasi, yang bertugas menghubungkan anggota GAM di dalam negeri dengan GAM yang berada di luar negeri”. Selain Ismuhadi, juga ada dua orang temannya yang lain yang terkait dengan kegiatan Aceh Merdeka dan hingga saat ini masih ditahan di penjara rutan Cipinang sejak 10 tahun yang lalu, yaitu Ibrahim dan Irwan bin Ilyas.
Ismuhadi masih belum merdeka sebagaimana mantan kombatan GAM lainnya yang telah menghirup udara segar kebebasan dan berkumpul kembali bersama orang-orang yang dicintainya. Anak, istri, orang tua, rekan-rekan dan sebagainya. Ismuhadi belum bisa merasakan kebahagiaan berkumpul bersama sanak-keluarga, meski MoU Helsinki telah 5 tahun berjalan. Bahkan Ismuhadi harus menerima kenyataan pahit ketika beberapa waktu lalu mendapat kabar ayahandanya telah tiada sedang dia hanya bisa berdo’a dengan tangisan pilu di balik jeruji besi.
Di mata rakyat Aceh, Ismuhadi adalah seorang pahlawan yang telah melakukan banyak hal untuk bangsa Aceh. Bersamaan dengan aksi Muhammad Nazar di Aceh saat mengumpulkan ribuan rakyat Aceh di depan mesjid Raya untuk menuntut referendum kepada pemerintah pusat, Ismuhadi bersama kawan-kawannya warga Aceh lain merupakan pelopor dan pemimpin aksi warga Aceh di Pulau Jawa menuntut pemerintah pusat agar menghentikan Operasi Militer di Aceh, mencabut DOM atau memberikan referendum bagi Aceh untuk memilih tetap bergabung dengan NKRI atau berpisah sebagai negara yang berdaulat. Ketika itu Masyarakat Aceh berbondong-bondong dari Ujung Jawa Timur sampai ke Ujong Kulon Jawa Barat berkumpul ke DPR RI. Gerakan tersebut merupakan aksi bersejarah bagi masyarakat Aceh Jabotabek pada November 1999. Dan merupakan Aksi terbesar dalam sejarah perantauan masyarakat Aceh ke Pulau Jawa. Kata siapa aksi tidak penting?
Sebenarnya, sudah tak terhitung jumlahnya para aktivis di Aceh yang berteriak, bahwa ketidak bebasan Ismuhadi merupakan bukti bahwa implementasi MoU Helsinki masih belum jalan. Perdamaian masih belum adil. Sehingga perdamaian tanpa keadilan universal bagi seluruh rakyat Aceh adalah pembohongan. Tapi Ismuhadi tetap saja masih mendekam di dalam penjara. Entah benar desas-desus yang menyebutkan bahwa Ismuhadi justru menjadi korban berdasarkkan kesepakatan perwakilan GAM dan NKRI. Entahlah! Sebagai rakyat, kita hanya menginginkan agar keadilan di alam damai bisa turut dirasakan oleh semua rakyat Aceh.
Maksimalisasi Momentum Pemilukada
Kita tahu bahwa seorang pemimpin bisa melakukan apa saja untuk rakyatnya. Konon lagi untuk rakyat yang telah berjasa bagi negeri dan rakyat lainnya. Dan kita tentu percaya bahwa selain faktor pusat yang masih ngotot untuk tidak membebaskan Tapol Napol Aceh, juga karena ketidak seriusan penguasa Aceh saat ini. Dan momentum pemilukada yang akan digelar sebentar lagi di Aceh merupakan peluang emas bagi kebebasan Tapol Napol Aceh. Kita berharap pemilukada di Aceh sebentar lagi mampu melahirkan pemimpin yang selain pro kepada syariat Islam, juga memiliki visi membebaskan Tapol Napol Aceh.
Semua calon gubernur dan wakil gubenur Aceh mesti menjadikan program pembebasan Tapol Napol Aceh sebagai agenda mereka semua karena ini juga terkait dengan amanah MoU Helsinki. Dan bagi yang tidak bersedia, selain tidak layak didukung, mereka juga bisa disebut mengkhianati MoU tersebut. Sebab, bukankah implementasi Mou Helsinki bagi Gubernur dan wakil gebernur terpilih nanti sifatnya adalah wajib?. Pemerintah yang berkuasa saat ini, baik legislatif(DPRA) maupun eksekutif seharusnya peduli dengan hal ini, bagaimana agar semua calon mestinya memasukkan syarat: keinginan dan kesiapan untuk berjuang membebaskan Tapol Napol Aceh yang ditanda tangani diatas materai bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang layak didukung di pemilukada ke depan. Bagi yang tidak bersedia, bisa saja keikut sertaan mereka sebagai kontestan di pemilukada dibatalkan. Bagi saya pribadi, haram memilih pemimpin yang tidak berorientasi menegakkan keadilan. Juga haram bagi mereka memimpin jika tanpa peduli membiarkan rakyatnya terzalimi. Kenapa? Karena keadilan adalah bagian dari Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.