Qanun Pendidikan Akidah Akhlak Itu Penting, Pak Walikota!
Oleh Teuku Zulkhairi Menarik mengikuti pro kontra Qanun Pendidikan Aqidah Akhlak di Banda Aceh. Tulisan Sultan Muhammad Rusdi (SMR)...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/01/qanun-pendidikan-akidah-akhlak-itu.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Menarik mengikuti pro kontra Qanun Pendidikan Aqidah Akhlak di Banda Aceh. Tulisan Sultan Muhammad Rusdi (SMR) berjudul “Menghambat Qanun Akhlak” (Serambi Indonesia, 21/12/11) praktis telah menyengat Pemerintah Kota Banda Aceh, sehingga Mahdi yang Kabag Humas Setda Kota Banda Aceh melakukan klarifikasi melalui tulisannya bertajuk “Politisasi Raqan Akidah”(27/12/11).
Mahdi menilai bahwa penolakan eksekutif terhadap qanun itu telah dipolitasasi oleh pihak-pihak terkait demi kepentingan menjelang Pilkada di Banda Aceh. Mahdi juga beralasan bahwa lahirnya Bagi saya, ini sangat disayangkan karena sesungguhnya memang sudah seharusnya qanun itu lahir melihat realitas kondisi pelajar kita yang mengalami dekadensi moral dan akidah. Dirasa penting karena disaat yang bersamaan realitanya lembaga pendidikan juga tidak mampu membentuk pendidikan yang berkarakter (baca: bermoral) bagi peserta didik, kecuali hanya mentransfer ilmu pengetahuan(knowladge) saja.
Mahdi menilai bahwa penolakan eksekutif terhadap qanun itu telah dipolitasasi oleh pihak-pihak terkait demi kepentingan menjelang Pilkada di Banda Aceh. Mahdi juga beralasan bahwa lahirnya Bagi saya, ini sangat disayangkan karena sesungguhnya memang sudah seharusnya qanun itu lahir melihat realitas kondisi pelajar kita yang mengalami dekadensi moral dan akidah. Dirasa penting karena disaat yang bersamaan realitanya lembaga pendidikan juga tidak mampu membentuk pendidikan yang berkarakter (baca: bermoral) bagi peserta didik, kecuali hanya mentransfer ilmu pengetahuan(knowladge) saja.
Dilain sisi, dinas syariat Islam juga belum bisa berperan maksimal, peran Dinas Syariat Islam Kota belum mampu menjangkau titik sentral pembinaan akidah dan akhlak generasi muda kota Banda Aceh. Peran utama pembinaan akidah dan akhlak tetap dipegang oleh lembaga pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya kucuran dana untuk dinas Syariat Islam. Dalam penelusuran kami, tahun 2011 dinas syariat Islam hanya mendapat alokasi anggaran sebesar 0,618 persen, atau Rp.3.662.544.485 dari total belanja daerah TA 2011 sebesar Rp 592.668.864.996. Kondisi serupa juga berlaku di tahun-tahun sebelumnya. Ini belum lagi kita mengkaji kemampuan dinas tersebut dalam menyerap anggaran yang tersedia. Maka akan sangat mendesak bagi lahirnya sebuah lembaga yang bekerja secara khusus menangani permasalahan akidah dan akhlak lewat jalur pendidikan, ini sebagaimana KPK yang lahir ditengah kondisi korupsi di negara kita yang sangat mewabah akibat ketimampun institusi yang ada untuk memberantas arus budaya korupsi. Maka disini pantaslah jika saya justru melihat bahwa penolakan terhadap qanun tersebut lah yang sarat dengan kepentingan politis menjelang Pilkada.
Karena faktanya, hadirnya komisi Akidah Akhlak secara tidak langsung dianggap akan mengurangi peran Komite Penguatan Akidah dan Penguatan Amalan Islam (KPA PAI) yang notabenenya dipimpin oleh Wakil Walikota. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal kepada The Globe Journal(14/12/11) bahwa jika qanun tentang pendidikan aqidah akhlak disahkan, maka KPA PAI akan bubar dan dengan sendirinya melebur dalam Komisi Pendidikan Akidah Akhlak. Padahal, belum tentu KPA PAI akan tetap eksis jika berganti kepemimpinan eksekutif di Banda Aceh, ini berbeda dengan Komisi Akidah Akhlak(turunan dari Qanun Pendidikan Akidah Akhlak) yang dilahirkan legislatif yang lebih kuat dan elegan secara yuridis, dan toh yang akan melaksanaknya nanti tetap eksekutif.
Urgensi Qanun Akidah Akhlak
Maka, seharusnya pembentukan institusi/lembaga yang secara khusus menangani permasalahan aqidah dan akhlak tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan, apalagi kemudian ditarik ke ranah politik dan dengan sedikit polesan teori konspirasi coba diadu dan dihadap-hadapkan dengan lembaga yang sudah ada seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), dan Majelis Adat Aceh (MAA). Makanya tak heran kalau kemudian dengan dalih pemborosan anggaran dan tumpang tindih (over lapping) tugas pokok dan fungsi, menjadi penyebab terganjalnya pembentukan KPAA. Padahal qanun tersebut sudah digagas sejak tahun 2009, jauh-jauh hari sebelum pemilukada 2012 digelar (Serambi Indonesia, 14 November 2011). Malah seharusnya antar lembaga yang ada harus bersinergi dan berfastabiqul khairat dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Tidak perlu saling jegal apalagi saling menjelekkan. Disinilah sebenarnya peran leadership kepala daerah dibutuhkan. Kehadiran Komisi Pendidikan Aqidah dan Akhlak justru sangat menguntungkan Pemko Banda Aceh, sebab dibentuk dengan qanun (peraturan daerah) sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat dalam melakukan penguatan pelaksanaan syari’at di ibukota Provinsi Aceh.
Sejujurnya kita ingin semua pihak saling bergandengan tangan dalam upaya mendukung penegakan Syari’at Islam. Sebab, Banda Aceh menjadi prototipe bagi suksesnya penerapan syari’at di Aceh. Maka, seharusnya pihak eksekutif dan legislatif menyelesaikan permasalahan secara arif dan bijaksana serta tidak perlu saling serang apalagi saling tuding. Sudah cukup pengalaman Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah yang berakhir tragis dan terbengkalai hingga kini, akibat tidak adanya tidak temu para pengambil kebijakan.
Kehadiran Qanun Pendidikan Akidah dan Akhlak disatu sisi juga menjawab keresahan Kapolda Aceh, Irjen. Pol. Iskandar Hasan sebagaimana diungkapkannya dalam Dialog dengan Ormas Islam di Aula Polda Aceh, bahwa dibutuhkan payung hukum (qanun) untuk melakukan pembinaan terhadap persoalan moral dan akhlak (baca: anak-anak punk). Dengan adanya payung hukum, maka para penegak hukum memiliki landasan yuridis dalam bertindak (Serambi Indonesia, 21/12/11).
Sebab permasalahan dekadensi moral dan kemerosotan akhlak yang sedang melanda generasi muda khususnya para remaja di Kota Banda Aceh sudah berada pada kondisi cukup mengkhawatirkan. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan faktanya di ibukota Propinsi Aceh ini. Mulai dari ratusan anak-anak Aceh yang terperangkap dalam aliran sesat, merebaknya komunitas anak-anak punk, beberapa lokasi penjualan burger yang disinyalir dijadikan tempat traksaksi dengan lawan jenis. Belum lagi praktek pergaulan bebas dengan lawan jenis yang dapat kita saksikan di tempat-tempat terbuka, seperti: jual burger, pinggiran Pantai Ulee Lheu, di cafe-cafe dan warung kopi. Fakta tersebut juga dibuktikan dari hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP/WH, dimana sebagian besar pelanggar syari’at di Kota Banda Aceh didominasi oleh para remaja dan generasi muda.
Tentunya kita tidak mengenyampingkan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemko Banda Aceh dalam upaya penegakan Syariat Islam. Akan tetapi, kemerosotan akhlak di kalangan generasi muda sudah sangat memprihatinkan. Ibarat fenomena gunung es, yang nampak ke permukaan tidak besar, tapi sejatinya menyimpan potensi yang sangat membahayakan. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai langkah strategis dan berkesinambungan agar akar permasalahannya dapat diselesaikan. Langkah-langkah preventif harus lebih dikedepankan, sebab mencegah lebih baik dari pada mengobati. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan menjadi bom waktu yang lambat laun akan meledak karena tak dijinakkan. Sudah saatnya semua pihak (stakeholder) bergandengan tangan dalam membangun kota dan menegakkan syari’at di ibukota Provinsi Aceh ini. Tidak perlu ada saling tuding antara eksekutif dan legislatif. Semua pihak harus berlapang dada dalam menyikapi persoalan yang ada.
Jangan Alergi dengan Kritik Pak Walikota!
Pemerintah Kota Banda Aceh selaku pemegang otoritas kota tidak perlu alergi terhadap kritik. Jangan anggap semua suara yang bernada kritis sebagai upaya melawan Walikota karena menjelang suksesi di Pilkada Banda Aceh. Semua masukan, saran dan dari warga kota harus ditanggapi positif, sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan terhadap persoalan kemerosotan akhlak yang semakin mengkhawatirkan. Pemko sebagai pelayan kota tidak perlu menggiring warganya untuk bungkam terhadap berbagai persoalan ummat, sebab di era demokrasi semua warga kota memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya.
Kini semua pihak harus menyadari bahwa persoalan pengdangkalan akidah dan kemerosotan akhlak generasi mudah sudah sangat kronis. Ibarat bom waktu, jika tak segera dijinakkan maka lambat laun akan meledak dengan sendirinya. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan harus segera mengambil langkah-langkah agar penerapan Syari’at Islam di Banda Aceh bisa berjalan maksimal. Semua kendala yang muncul harus segera dicarikan solusi, serta langkah antisipasi juga harus disiapkan. Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati. Pemerintah Kota telah siap dengan solusinya jika sebuah masalah muncul, apalagi jika masalah itu telah diprediksikan sebelumnya. Ibarat kata pepatah, sedia payung sebelum hujan.
Berbagai persoalan pendangkalan aqidah dan kemerosotan akhlak melanda generasi muda belakangan ini, sudah cukup menjadi alasan kenapa Qanun Pendidikan Aqidah dan Akhlak tersebut sangat dibutuhkan oleh Warga Kota Banda Aceh. Jika ada hal-hal yang dirasa belum tepat, sebaiknya segera diselesaikan dalam satu meja dengan mengedepankan semangat musyawarah. Perlu segera dicarikan solusi agar qanun yang sudah disahkan oleh Dewan Kota tersebut dapat segera diberlakukan. Keberadayaan qanun tersebut akan membuat legitimasi pelaksanaan program penguatan aqidah dan perbaikan akhlak remaja semakin kuat, dan Pemerintah Kota Banda Aceh pun akan lebih leluasa dalam mengambil setiap kebijakan sebab didukung oleh adanya payung hukum. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah pemerhati pendidikan dan Syariat Islam tinggal di Kuta Alam, Banda Aceh. Ketua Departemen Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh(RTA).