Tendangan Penalti untuk DPRA
Oleh Teuku Zulkhairi- PENALTI menurut kamus ilmiah popular (Partanto dan Albarry: 1994) dimaknai sebagai “hukuman atau tendangan hu...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/01/menjaga-izzah-mesjid-raya.html
Oleh Teuku Zulkhairi- PENALTI menurut kamus ilmiah popular (Partanto dan Albarry: 1994) dimaknai sebagai “hukuman atau tendangan hukuman”. Tendangan hukuman ini biasanya dipakai dalam permainan bola kaki (foot ball). Berbentuk tendangan 12 meter/pas di depan gawang sebagai hukuman ketika ada pemain salah satu kesebelasan tim sepak bola yang menyentuh bola dengan tangan, secara sengaja atau tidak disengaja tepat ketika bola berada di depan gawangnya sendiri.
Namun penalti yang penulis maksudkan di sini bukan penalti pada permainan sepak bola. Meskipun ada sisi kesamaan, karena penalti ini hadir sebagai konsekuensi logis ketika dilakukannya sebuah pelanggaran. Penalti di sini adalah nama lain kiasan media massa untuk menggambarkan kepada rakyat Aceh tentang hukuman pemotongan anggaran belanja daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat di Jakarta kepada rakyat Aceh. Ya, diberikan kepada rakyat Aceh sebagai sebuah tim rakyat akibat pelanggaran yang dilakukan oleh wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Penalti di sini adalah sangsi dalam bentuk pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Aceh tahun 2011 ini sebesar 25 persen serta penyalurannya tidak dalam kesempatan pertama. Sanksi atau hukuman ini disebabkan keterlambatan wakil-wakil rakyat Aceh di DPRA dalam mensahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2011.
Jika dihitung dari DAU Aceh sebesar Rp 716 miliar, maka Aceh harus rela dananya dipotong sebesar Rp 178 miliar (25 persen), sebagai konsekwensi dari belum diserahkannya dokumen APBA kepada Pemerintah Pusat. Berdasarkan ketetapan, RAPBA sudah harus diselesaikan sebelum bulan Januari tahun berjalan. Tapi, hingga awal April ini, RAPBA masih menggantung di DPRA. Dan yang menariknya adalah keterlambatan tersebut selalu memiliki kondisi atau momentum yang seakan-akan dapat dijadikan alat legitimasi pembenaran oleh penyelenggara pemerintahan Aceh untuk menyatakan bahwa pembahasan RAPBA layak untuk terlambat.
Alasan yang Ironis!
Tiada kata yang mampu kita ucapkan lagi untuk melukiskan perasaan kita sebagai rakyat atas kondisi ini. Namun, beginilah situasi kita di Aceh hari ini. Setiap tahun, pasti ada saja alasan atas keterlambatan pembahasan tersebut. Pada tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang disahkan masing-masing pada bulan Mei 2007 dan bulan Juni 2008. Alasan keterlambatan ini yang disampaikan oleh Pemerintah Aceh adalah karena pada tahun 2007 baru saja dilakukan pelantikan Gubernur terpilih hasil pilkada yang berlangsung pada bulan Pebruari 2007. Sehingga bagi Gubernur terpilih dirasa perlu untuk melakukan penyesuaian struktur RAPBD dari apa yang telah disusun sebelumnya oleh Pjs Gubernur sehingga diharapkan mampu mengakomodir dan mencerminkan visi dan misi Gubernur terpilih pada tahun pertama masa kerjanya.
Sedangkan untuk keterlambatan pembahasan RAPBA tahun anggaran 2008, maka kondisi yang melatar belakangi adalah sedang dilakukannya fit and proper test kepada para calon kepala dinas dan badan di dalam kabinet baru Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Sehingga pada saat itu terjadi “kelesuan” dalam bekerja bagi kepala dinas dan badan yang lama untuk menyusun perencanaan kegiatan yang akan diterjemahkan pada RAPBA tahun berjalan. Karena yang ada pada diri mereka adalah suasana “harap-harap cemas” apakah dirinya akan menjabat kembali atau di “bangkupanjangkan”. Tahun anggaran 2009 RAPBA memang sempat disahkan “lebih cepat” yaitu pada medio Januari. Namun, lagi-lagi pada tahun 2010 RAPBA mengalami keterlambatan pembahasan lagi karena baru disahkan pada akhir Maret.
Jika keterlambatan pengesahan RAPBA pada tahun 2010 ini dengan alasan disebabkan hadirnya wajah-wajah baru di DPRA di mana mereka mesti mempelajari dulu aturan main di sana, namun ternyata ironisme kembali terjadi pada tahun 2011 ini. Hingga April, RAPBA belum juga disahkan. Jika ditelaah lebih lanjut, nampaknya alasan keterlambatan pada tahun 2011 ini adalah karena sibuknya mayoritas anggota DPRA dalam menyiasati keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang melegitimasi keikutsertaan calon independen dalam pilkada di Aceh. Padahal, saat ini di berbagai wilayah nusantara lainnya tidak ada persoalan lagi terkait boleh tidaknya calon independen ikut pilkada. Hanya di Aceh yang masih dipersoalkan. Ironis sekali bukan?
Semua momentum yang terjadi pada tahun yang berbeda itulah yang selalu dapat dijadikan alasan bagi pemegang kekuasaan pemerintahan Aceh guna melegitimasi keterlambatan pembahasan RAPBA. Meskipun alasan-alasan itu adalah alasan yang memilukan sekaligus memalukan.
Kenapa memilukan? Karena fakta yang dapat kita lihat, bahwa jumlah anggaran yang direncanakan mengalami kenaikan setiap tahunnya yang juga diikuti sebaliknya dengan prosentase serapan anggaran yang begitu rendah untuk setiap tahunnya. Sekali lagi, sangat-sangat ironis bukan?
Siapa yang Mau Minta Maaf?
Atas kerugian akibat hukuman yang menimpa rakyat Aceh ini, siapakah yang mau minta maaf? Setidaknya beginilah pertanyaan yang dilemparkan rubrik Salam Serambi edisi Jumat 2 April 2011 yang lalu. Atas pertanyaan salam Serambi ini, seorang teman peserta diskusi di milling list IACSF kemudian menjawab, “saya juga minta maaf karena telah “salah besar” memilih wakil saya di parlemen. Ini kesalahamn kolektif dan berjenjang. Hanya keledai yang bodoh yang jatuh pada lubang yang sama. Hanya pemilih bodoh yang masih percaya pada mereka lagi untuk duduk di parlemen”.
Seorang teman yang lain juga menjawab, “Saya minta maaf karena saya tidak dapat mengawal semua ini dengan baik, fungsi saya sebagai rakyat seharusnya mengawal pembahasan anggaran tersebut agar dapat selesai dengan cepat. Saya minta maaf karena telah membiarkan semuanya menjadi terlambat, semuannya karena saya tidak melalui pressure terhadap pembahasan ini”. Selain itu, ada juga teman yang berseloroh, “Kenapa karut-marut pembahasan APBA digeneralkan sebagai persoalan politik? Salah besar. Ini masalah bagi-bagi dana gelondongan dari negara. Bagi-bagi kue pun dianggap politik”.
Tentunya, semua komentar mereka ini disebabkan rasa kecewa. Di saat kenestapaan yang mendera rakyat kita, namun ternyata, para wakil yang hidup mewah masih juga belum bijak dalam mengambil keputusan. Kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok masih menjadi urusan utama dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara kolektif.
Melalui tulisan ini, penulis juga meminta maaf kepada semua rakyat Aceh karena telah turut memilih salah satu anggota legislatif di DPRA saat pemilu legislatif dua tahun yang lalu. Kita berharap, hal yang sama tidak terulang lagi di tahun-tahun yang akan datang sehingga rakyat Aceh tidak terus-terusan harus menerima “tendangan penalti” dari pemerintah pusat. Sebagai rakyat, kita memang hanya bisa berharap agar para wakil kita “membuka sedikit saja ruang hati mereka”. Semoga!
* Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Masyarakat (LSAMA) Aceh.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Aceh...
BalasHapus