Menjaga Izzah Mesjid Raya
Oleh Teuku Zulkhairi - Pemerintahan Kota (Pemko) dan pimpinan DPRK Banda Aceh dikabarkan sudah mengizinkan pendirian Best Western H...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/01/tendangan-penalti-untuk-dpra.html
Oleh Teuku Zulkhairi - Pemerintahan Kota (Pemko) dan pimpinan DPRK Banda Aceh dikabarkan sudah mengizinkan pendirian Best Western Hotel dan Mall di bekas Geunta Plaza atau tepatnya 200 meter sebelah tenggara Masjid Raya Baiturahman (Antara Aceh, 22/12). Sementara itu, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai pra-syarat pendirian bangunan dikabarkan juga sudah terbit. Hotel tersebut direncanakan dibangun 14 lantai dengan ketinggian 42 meter dengan predikat sebagai hotel berbintang.
Sementara itu, sebagian fraksi di DPRK Banda Aceh menentang rencana tersebut. Penolakan serupa yang lebih keras datang dari Himpunan Ulama Dayah (HUDA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Sekjend HUDA, Tgk H Faisal Ali sebagaimana dilansir oleh The Globe Journal (31/12) menolak rencana tersebut dengan alasan rencana tersebut tidak menghiraukan kajian dari sisi adat istiadat masyarakat Aceh dan Syariat. Sementara ketua MPU beralasan bahwa pembangunan hotel dan mall tersebut akan mengganggu kehormatan Mesjid Raya Baiturrahman dalam konteks sangat luas (Harian Aceh, 31/12).
Bertentangan dengan Qanun
Secara yuridis, izin pendirian hotel tersebut bertentangan dengan Qanun No.4 Tahun 2009 Bab IV Pasal 10 Ayat 2-C tentang tata ruang kota Banda Aceh tahun 2009-2029. Saya kira sangat aneh jika Pemko dan DPRK tidak memahami pertentangan rencana tersebut dengan qanun yang sudah mereka sahkan. Ataukah mungkin investasi sebesar 200 miliar dari investor untuk pembangunan hotel tersebut telah mematikan nalar kritis Pemko dan pimpinan legislatif kota Banda Aceh? Jika pemimpin tidak konsisten menjalankan aturan yang sudah mereka buat, bagaimana mungkin berharap rakyat patuh pada aturan-aturan yang mereka hadirkan?
Di sini bukan berarti kita menolak total rencana pembangunan tersebut. Tapi jika memang investor sungguh-sungguh akan membangun hotel dan mall tersebut di Banda Aceh, dan Pemko mengharapkan hal ini akan menjadi memacu roda pertumbuhan ekonomi di Banda Aceh terutama dalam sektor industri jasa, pertanyaan yang muncul kenapa harus di dekat Mesjid Raya? Kenapa tidak di daerah lain, seperti Ulee Kareng, Darussalam, Kuta Alam dan sebagainya? Bukankah itu lebih elegan, tidak melawan dengan qanun serta juga tidak menimbulkan kontradiksi dari masyarakat?
Dalam kondisi pasca konflik seperti ini, ide-ide semacam itu memang sangat mengganggu upaya-upaya untuk menghadirkan kenyamanan hidup bermasyarakat. Timbulnya pro-kontra masyarakat dan Ormas akan mengawali ketidaknyamanan tersebut. Maka sebaiknya Pemko dan Legislatif meninjau ulang rencana tersebut dan menolaknya jika memang investor hanya mau investasi di dekat Mesjid Raya.
Hotel Islami?
Salah satu alasan pimpinan DPRK mengizinkan rencana pembangunan hotel dan mall tersebut, menurut Yudi Kurnia bertujuan agar para wisatawan yang mengunjungi Aceh bisa melaksanakan Shalat Tahajjud di Mesjid Raya. Selain itu, kehadiran hotel dan mall tersebut diharapkan akan semakin memacu roda pertumbuhan ekonomi di Banda Aceh terutama dalam sektor industri jasa (Antara Aceh/22/12).
Alasan ini saya kira sangat lemah. Sebab, Shalat Tahajjud bisa dilaksanakan dmana saja. Dikamar, di meunasah, di mesjid-mesjid lain yang berserakan di kota Banda Aceh. Bahkan bisa dinilai jika alasan itu cenderung hanya upaya untuk membenarkan rencana tersebut. Yang aneh, jika hotel itu direncanakan menjadi hotel Islami kenapa mereka tidak mengkordinasikan dengan MPU, dan ironisnya lagi ketika logika agama justru dijadikan sebagai alasan pembenaran atas rencana pendirian hotel tersebut.
Perlu diketahui bahwa hingga hari ini Pemko belum membuat aturan yang ketat untuk mengIslamisasikan hotel-hotel yang lebih dahulu didirkan di Kota Banda Aceh. Bahkan hotel-hotel yang sudah ada seperti Harmes Palace pernah didemo oleh Ormas Islam karena menyajikan pesta maksiat di malam tahun baru pada tahun 2011 yang lalu. Jika hotel-hotel yang sudah ada saja tidak bisa didesain menjadi hotel Islami, bagaimana mungkin kita bisa percaya dengan rencana pendirian Best Western Hotel tersebut meskipun dengan alasan hotel ini akan dijadikan menjadi hotel Islami?
Selain itu, saat ini di seputaran Mesjid Raya juga masih terdapat praktek-praktek maksiat seperti orang-orang pacaran yang terlihat di waktu malam. Saat azan berkumandang, orang-orang yang beraktivitas di seputaran mesjid raya juga tidak langsung menuju mesjid. Bagaimana mungkin kondisinya akan lebih baik dengan adanya hotel dan mall di dekat mesjid raya? Begitu juga mall, realitasnya, mall-mall yang sudah ada tidak bisa mengatur para pengunjungnya untuk menghentikan segala aktivitas di saat azan berkumandang dari Mesjid.
Kondisi serupa tentu juga akan terjadi jika mall didirikan di dekat Mesjid Raya. Upaya-upaya untuk meramaikan dan memakmurkan mesjid, khususnya Mesjid Raya dipastikan akan menghadapi kendala. Perlu dicatat, bahwa mengajak manusia ke mesjid adalah hal yang sulit, sedang mengajak orang ke mall adalah perkara mudah. Apalagi bagi muda-mudi.
Izzah Mesjid Raya
Terlepas dari semua alasan di atas, bagaimanapun kawasan Mesjid Raya merupakan kawasan yang sangat historistik bagi masyarakat Aceh secara umum. Mesjid Raya telah menjadi kebanggaan dan ikon masyarakat Aceh dari masa ke masa, terlepas dari adanya masyarakat yang tidak memahami substansi sebuah mesjid. Pembangunan hotel dan mall disamping Mesjid Raya tentu akan menggerogoti sakralitas, izzah (kehormatan) dan keunikan kawasan Mesjid Raya, apalagi jika ketinggian hotel tersebut melebihi ketinggian kubah Mesjid Raya.
Memang kawasan Mesjid Raya belum mencerminkan kawasan yang Islami 100 persen, tapi jika saat ini saja kondisinya seperti itu, tentu akan bisa dibayangkan kondisi kawasan sekitar Mesjid Raya pasca pembangunan Western Best Hotel dan Mall di dekat Mesjid Raya. Akhirnya mari kita berharap agar Pemko dan Legislatif mendengar suara masyarakat, minimal suara para ulama jikapun suara kita sebagai warga tidak mungkin didengar. Walalhu a’alm bishshawab.*
*Penulis adalah Warga Kota Banda Aceh. Ketua Departemen Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA)