Membendung Budaya Korupsi Bersama Pemimpin Sederhana

 Oleh Teuku Zulkhairi -  K esederhanaan seorang pemimpin , pejabat atau wakil rakyat adalah syarat mendasar terjadinya perubaan. ...



 Oleh Teuku Zulkhairi - Kesederhanaan seorang pemimpin, pejabat atau wakil rakyat adalah syarat mendasar terjadinya perubaan. Karena mereka adalah pemegang kendali penuh atas rute ‘bahtera’ negara yang mereka nahkodai.
Seorang anggota legislatif memiliki kesempatan besar untuk membuat kebijakan-kebijakan yang bisa menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Seorang bupati memiliki kesempatan paling besar dibandingkan warga negara lain untuk melakukan perubahan di kabupatennya.
Seorang Gubernur memiliki kesempatan istimewa untuk melakukan perubahan pada propinsi yang dipimpinnya. Seorang menteri memiliki kesempatan emas untuk melakukan perubahan di kementerian yang dipimpinnya. Dan tentu saja, seorang presiden, ditangannya terdapat semua kunci untuk membuka ‘pintu gerbang’ perubahan bangsanya. Ia adalah manusia yang paling berpeluang untuk menata negeri dan rakyatnya ke arah yang lebih baik, maju, damai, sejahtera dan bermartabat.
Perubahan adalah mimpi
Sejujurnya, semua komponen negeri ini tentu bermimpi melihat perubahan bangsa ini dalam semua dimensi kehidupan. Setidaknya jika melihat dari teriakan atau program-program mereka. Namun ternyata, mimpi para pengusung ide perubahan ini, baik para aktivis, elit parpol, pejabat, legislatif, semua level pemimpin, kaum akademisi, agamawan, mahasiswa dan sebagainya sesungguhnya adalah ‘bualan’ belaka jika tanpa disertai oleh kesiapan mereka dan kita semua untuk hidup dalam kesederhanaan. Realita sejarah memperlihatkan pada kita begitu banyak perubahan yang diukir oleh para pemimpin atau wakil rakyat yang sederhana, yang tidak menari diatas penderitaan rakyatnya. Namun sebaliknya, begitu banyak ‘jurang’ kehancuran yang ‘dipahat’ oleh para pemegang amanat di negeri ini ketika mereka tidak siap hidup dalam kesederhanaan. Sebelum mendapat jabatan mereka berteriak mengkritisi sistem dan para pejabat yang tidak memihak rakyat, tapi saat mereka berada dalam sistem atau memiliki sebuah jabatan maka mereka pun melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih parah lagi. Faktanya, bukankah hampir semua pemimpin kita hari ini pada semua levelnya, sebelumnya adalah orang-orang yang idealis yang dahulunya memiliki visi untuk melakukan perubahan?.
Lalu, kenapa kemudian idealisme itu pudar dan cita-cita perubahan pun terhenti, baik terhenti karena mereka harus berada di balik jeruji besi atau karena mereka telah lelap dan terbuai dengan kemewahan materialisme duniawi? Ini karena mereka tidak siap hidup dalam kesederhaan. Mereka tidak siap mengukir sejarah perubahan bangsa saat mereka menjadi pemimpin. Meskipun ketika itu adalah kesempatan besar bagi mereka untuk melakukan perubahan. Kesempatan besar karena faktanya tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan tersebut.
Pertanyaan kemudian, kenapa kesederhanaan para pemimpin begitu penting dalam rangka mewujudkan perubahan di negeri kita?. Marilah kita perhatikan sebagian besar kompleksitas persoalan di negeri kita. Misalnya, kasus korupsi yang begitu menggurita dan tersistem di negara kita. Bukankah sebabnya adalah karena para pelaku korupsi itu tidak siap hidup dalam kesederhanaan? Mereka ingin cepat kaya. Ingin fasilitas yang mewah. Ingin serba  mudah. Ingin membeli apa saja yang mereka kehendaki. Mereka takut miskin. Mereka ingin mewarisi kekayaan hingga ke tujuh keturanan mereka. Efeknya, saat jabatan yang mereka miliki sejatinya tidak bisa memenuhi hasrat tersebut, maka timbullah berbagai kasus penipuan, manipulatif, nepotisme, pencurian(korupsi) dan sebagainya. Yang ironis, saat itu berbagai pelanggaran tersebut pada akhirnya akan berusaha dijustifikasi sebagai kebenaran sehingga terjadilah pelanggaran berkelanjutan, seperti sogok-menyogok, suap-menyuap, pembusukan hukum, penipuan dan bahkan pembunuhan. Pangkal dari semua persoalan ini adalah karena ketidaksiapan para pemegang amanat untuk hidup dalam kesederhanaan.
Pemimpin perubahan
Dihadapan realita warga negara kita yang didominasi oleh masyarakat miskin, sesunggunya bangsa ini membutuhkan sosok-sosok pemimpin yang sederhana, yang bisa turut serta merasakan kepedihan mereka. Dan kesederhanaan mereka diyakini akan mencegah negerinya dari berbagai arus gelombang kehancuran. Kendati demikian, kesederhaan disini bukan berarti mereka juga harus miskin, karena sederhana itu bukan berarti miskin.
Sederhana adalah kehidupan yang bersahaja; tidak berlebih-lebihan, tidak bermewah-mewahan. Seorang pemimpin yang sederhana selalu siap mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompoknya demi kepentingan yang lebih besar, rakyat dan negerinya. Ia adalah seorang yang dermawan, lebih mencintai rakyatnya daripada sekedar kepentingan saudara atau kelompoknya. Ia rela berkorban. Ia juga tidak akan mengambil harta negara (yang merupakan kumpulan hasil keringat rakyat) untuk bersenang-senang. Ia mendengar curhat rakyatnya, bukan memaksa rakyat untuk mendengar curhhatnya. Ia juga ikhlas melayani rakyat dan tidak berharap untuk dilayani. Karena sesungguhnya para pemimpin adalah wakil rakyat. Wakil rakyat lah yang harus melayani rakyatnya. Kehadirannya tidak membuat rakyat susah dan merana. Perjalanannya di jalan-jalan tidak menyusahkan rakyatnya, tapi memberikan kebahagian dan kesejukan. Kehadirannya ditengah-tengah rakyat yang sedang nestapa tidak justru menghabiskan miliaran uang rakyatnya, tapi ia hadir untuk membantu rakyat. Ia memberikan solusi. Bukan menjadi masalah bagi rakyatnya.
Maka mereka yang bermimpi melakukan perubahan harus mampu mengatur keluarga, sanak famili, kelompok atau komunitas mereka, selain tentu saja diri pribadi sendiri agar konsisten dalam kesederhanaan. Karena selain dari diri sendiri, godaan besar juga datang dari keluarga, saudara dan golongan. Seorang pemimpin diangkat bukan sekedar untuk mengurus keluarga atau partainya, tapi semua rakyatnya.
Dalam sejarahnya, sifat sederhana ini tidak pernah merendahkan derajat seorang pemimpin. Tapi justru akan membesarkan namanya. Memberikan berbagai efek perubahan di negerinya. Karena seorang pemimpin yang korup, tentu tidak akan bisa melarang orang lain untuk tidak korup. Pemimpin yang penipu, tidak akan memiliki niat jujur untuk mencegah orang lain dari melakukan penipuan. Apakah seorang presiden, Gubernur, Bupati akan bisa melawan budaya korupsi jika dia sendiri, keluarga atau partainya justru sedang berpesta pora dengan kegiatan korupsi? Bisakah kita berharap kasus-kasus seperti Nazaruddin, Gayus, Century dan sebagainya bisa diselesaikan dan memihak rakyat? Bisakah kita melihat hukum di negara kita benar-benar memihak kebenaran? Bisakah kita menyaksikan lembaga legislatif yang pro rakyat di setiap kebijakan dan statmen-statmennya?
 Tentu tidak bisa jika mereka bukan orang-orang yang hidupnya sederhana. Mereka tidak akan siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang merugikan rakyatnya karena bagi mereka, itu sama saja dengan menghadirkan kerugian bagi diri pribadi, keluarga atau kelompoknya. Sebaliknya, pemimpin yang sederhana, tidak korup, maka mereka akan mungkin bermimpi untuk mencegah orang lain dari prilaku korupsi, penipuan dan sebagainya. Mimpi mereka untuk membawa perubahan di negeri ini akan menjadi kisah nyata. Dan ingatlah, bahwa pemimpin yang bersih, yang hidupnya sederhana, mereka akan lebih mudah didengar oleh bawahannya, oleh rakyatnya.


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Related

Sosial dan Budaya 4328648763069082004

Posting Komentar Default Comments

  1. Bukankah dia adalah Taoyyib Erdogan....???
    Bagaimana kisahnya tgk bisa mengambil sebuah intisari dari seorang sekutu zionis ini???

    BalasHapus

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item