Dari Santri Dayah untuk Pembangunan Aceh

Written by Ahmad Arif | Mantan Pengurus Pusat IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta Judul : Esai-Esai Politik, Pen...


Judul : Esai-Esai Politik, Pendidikan dan Sosial Agama(Catatan Seorang Santri  Aceh) | Penulis : Teuku Zulkhairi | Editor : Arif Ramdan | Penerbit : Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) | Cetakan : 1, Oktober 2011 | Tebal : 392 halaman
Pekan lalu, penulis menerima hadiah berupa buku dari seorang sahabat karib yang juga penulis muda nan produktif dari nanggroe meutuah Aceh. Buku itu berjudul  ‘Esai-Esai Politik, Pendidikan dan Sosial Agama (Catatan Seorang Santri Aceh)”.


Secara garis besar buku itu berupaya memotret geliat pembangunan Aceh di era kontemporer dalam kaca mata seorang mahasiswa berlatar belakang pendidikan dayah (pesantren) Aceh. Ia menulis -secara khusus- segala problematika rakyat Aceh dan juga persoalan aktual lainnya -secara umum. Mulai dari permasalahan politik, pendidikan, sosial, adat istiadat, hingga paradigma beragama (islam).

Buku setebal 392 halaman ini pada dasarnya merupakan kumpulan tulisan dari berbagai media cetak dan elektronik baik di local Aceh seperti acehinstitute.org, Koran Serambi Indonesia, Koran Harian Aceh, dan lain sebaginya. Atau di level nasional, seperti eramuslim.com, hidayatullah.com, malajah Hidayatullah, dan sebaginya.

Tulisan-tulisan yang berserakan tersebut memang sangat layak dikompilasi untuk dijadikan sebagai bahan diskursus baru bagi semua kalangan di Aceh; kampus, pesantren, kalangan aktivis dan lintas organisasi social keagamaan yang merindukan Aceh kembali berjaya.

Dalam pandangan saya, buku ini terbilang unik, karena penulisnya mengkritisi semua hal yang dalam pandangannya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maupun norma dan atau kepatutan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Di satu sisi, buku ini mengkritisi problematika dunia pendidikan -dengan kampus sebagai titik tekannya- secara radikal, idealis dan non kompromis. Ia mengkritik keras konsep pendidikan secara umum yang telah mengalami disorientasi nilai-nilai moralitas. Kehilangan orientasi moral pada proses pendidikan akan menghasilkan produk pendidikan yang materialistik, melahirkan sikap beragama yang sinktretistik, menumbuhsubrukan pemahaman dan sikap politik yang oportunistik (munafik) dan meneguhkan ekonomi yang kapitalistik. Hal ini terjadi –menurutnya- karena di lembaga pendidikan telah terjadi sekulerisasi yang sangat akut. Salah satu indikatornya adalah jam-jam pelajaran agama tidak mendapatkan tempat yang layak di lembaga pendidikan konvensional.

Namun disisi lain, dengan gaya akademisi kampus,  ia juga mengkritisi konsep dan praksis pendidikan dayah yang dinilainya membutuhkan banyak inovasi dalam proses pembelajaran maupun metodologinya. Misalnya, ia mengkritisi pemikiran santri-santri dayah yang masih menolak kewajiban zakat profesi karena menganggapnya tidak terdapat dalam fikih Syafi’i.  Pemahaman tersebut –menurutnya- merupakan salah satu factor tersbesar yang mengakibatkan upaya pengentasan kemiskinan di Aceh berjalan lamban. Padahal, sejarah putih islam telah membuktikan bahwa zakat mampu mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat.

Dalam bab politi, kpenulis buku ini menganjurkan agar setiap politisi, di samping menjadi politisi, juga sekaligus sebagai da’i. Atau seorang da’i sekaligus sebagai politisi. Ia sangat merindukan pemimpin yang sederhana. Model kepemimpinan yang memang menjadi kerinduan terbesar rakyat di negeri zamrud katulistiwa ini secara umum dan juga di nanggroe syuhada ini secara khusus, di tengah kompleksitas persoalan bangsa yang disesaki dengan ulah para koruptor dan mafia-mafia baik di lingkaran legislatif, eksekutif, kepolisian, KPK, lembaga peradilan dan sebagainya.

Dalam konteks adat dan sosial, buku ini juga mengkritisi banyak hal tentang kearifan lokal Aceh yang menurutnya banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini sesuatu yang baru dalam iklim pemikiran penulis Aceh dewasa ini. Karena sudah lazimnya dewasa ini banyak para penulis lokal Aceh yang begitu mengkultuskan adat atau kearifan lokal Aceh. Sedangkan penulis buku ini secara gamblang menjelaskan bahwa Aceh tidak seratus persen identik dengan Islam. Tidak semua tentang Aceh berasal dari konsep Islam.

Memandang bahwa adat Aceh sudah identik dengan Islam akan beresiko pada resistennya masyarakat dengan upaya kritik adat yang faktanya terus berubah mengikuti arus perubahan dunia. Intinya, penulis buku ini menjelaskan bahwa adat Aceh dengan segala kearifan lokalnya, baru bisa diidentikkan dengan Islam jika memang sudah sesuai dengan Alquran dan Hadits serta ijma’ para ulama.

Sedangkan dalam konteks pemikiran Islam, persentuhan penulis buku ini dengan berbagai organisasi Islam telah menghasilkan corak pemikiran yang bisa memandang semua gerakan Islam dari sisi positifnya. Namun, pandangan itu dikecualikannya terhadap gerakan Islam liberal yang mengusung pluralisme agama dan sekulerisme. Untuk gerakan-gerakan model terakhir ini, penulis buku ini sangat tegas menunjukkan resistensinya, bahkan terkadang sedikit kasar. Ia acapkali  menyebut  ‘munafik’ bagi upaya penyokong paham pluralisme agama dan sekulerisme di Aceh. Ini karena paham-paham tersebut dinilai hanya bertujuan untuk merusak Islam dari dalam dengan cara-cara ilmiah, permainan logika, isu-isu sosial, hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Kesimpulan umum dan semangat besar yang bisa dipetik dari buku ini dan penulisnya adalah keharusan membangun dan mengembalikan peradaban Aceh dengan paradigma islam, bukan yang lain. Jika dilepaskan dari islam, maka Aceh akan kehilangan semangat dan elanpitalnya!

Bagi saya, terlepas dari minimnya tawaran solusi konkrit dan atau pemaparan data-data berdasarkan kaidah ilmiah akademik, namun buku ini tetap layak dibaca. Paling tidak, dengan terbitnya buku ini bisa memotivasi penulis-penulis muda Aceh -yang akhir-akhir ini mulai menggeliat kembali dan menunjukkan produktifitas mereka- agar membudayakan tradisi menulis setelah budaya berfikir kritis, tentunya tetap dalam bingkai paradigma Islam.

Saya teringat dengan ungkapan Khaliah Ali bin Abi Thalib r.a., lebih kurang seperti berikut ini, “Al‘ilmu shaidun wal kitabatu qaiduha. Qayyid shaydaka bilkitabah; ilmu itu ibarat (target) pancingan dan menulis itu alat pancingnya. Maka, ikatlah (target) pancinganmu itu dengan menulisnya”.

Membaca buku ini juga bisa menjadi bekal untuk membuka ruang diskusi dalam upaya membangun Aceh yang maju pada semua tatanan kehidupan dan dengan tetap dalam bingkai Islam. Akhirnya, selamat menikmati hidangan spesial dari penulis muda Aceh, Teuku Zulkhairi.| Ahmad Arif | Mantan Pengurus Pusat IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta.


sumber: http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=621:dari-santri-dayah-untuk-pembangunan-aceh&catid=120:info-buku

Related

Pembangunan Dayah 5589238164099615992

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item