Belajar Islam, ke Amerika? (Kritikan untuk LPSDM Aceh)
Oleh Teuku Zulkhairi SALAH satu tawaran beasiswa dari pemerintah Aceh lewat Lembaga Pembinaan Sumber Daya Manusia (L...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/02/belajar-islam-ke-amerika-kritikan-untuk.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
SALAH satu tawaran beasiswa
dari pemerintah Aceh lewat Lembaga Pembinaan Sumber Daya Manusia (LPSDM) bagi
putra-putri Aceh tahun 2014 ini seperti yang bisa kita akses dalam website
mereka adalah beasiswa belajar Islam ke Amerika, yang dalam dunia akademisi
lebih dikenal dengan istilah Islamic Studies. Program beasiswa Islamic
Studies ini bagi menarik kita kaji, relevan kah program itu dengan
kebutuhan kekinian Aceh dan masyarakatnya? Pertanyaan lain yang harus dimunculkan,
misalnya apa keunggulan belajar Islam di sana?
Harus diakui memang, dewasa ini Barat telah berhasil memberi pesona
kemajuannya dibidang ilmu pengetahun dan teknologi kepada dunia Islam. Kemajuan
pesat Barat ini telah menjadi magnet kuat yang
menarik minat umat Islam dari seluruh dunia untuk belajar di negara-negara
mereka. Tak heran jika kita melihat banyak umat Islam pergi ke beberapa negara
maju di Eropa, Amerika dan Australia untuk
belajar berbagai disiplin keilmuan seperti teknologi, science,
filsafat atau bahkan tentang agama Islam.
Secara sosiologis, kondisi seperti ini adalah konsekuensi logis saat dunia
Islam masih terpuruk oleh sebab penjajahan berkepenjangan yang mendera mereka.
Saat Barat menjajah dunia Islam, mereka bukan saja menjajah secara fisik,
militer dan ekonomi, tapi juga menjajah secara keilmuan. Sebagai contoh, saat
Irak dijajah negara-negara Barat satu dekade yang lalu,
perpustakaan-perpustakaannya dihancurkan, manuskrip-manuskripnya pun kabarnya
tidak sedikit yang diangkut ke negara-negara asal penjajah. Dan sejarah juga
mencatat, saat Aceh dijajah Belanda, banyak pula manuskrip-manuskrip Aceh yang
diangkut ke Belanda.
Barangkali, selain dengan alasan metodologi, ketersediaan manuskrip-manuskrip
hasil curian dan rampasan dari dunia Islam inilah yang menjadi salah satu
alasan utama belajar Islam di sana saat ini telah dianggap sebuah kewajaran
atau bahkan sebuah tuntutan(?) sehingga pemerintah Aceh pun menawarkan beasiswa
belajar Islam ke Amerika kepada putra-putri Aceh.
Kritis untuk Islamic
Studies
Pada dasarnya, belajar boleh dimana
saja. Rasulullah pun pernah berpesan, ”tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.
Hanya saja, konteks belajar Islam ke Amerika atau negara Barat lainnya menjadi
sesuatu yang berbeda apabila kita mau jujur dan berfikir secara kritis. Bisa
kita sebut, belajar Islam di Barar lebih banyak mudharatnya ketimbang
manfaatnya. Sejauh ini, hanya sedikit alumnus Islamic Studies yang mampu
berperan membawa umat Islam menuju kebangkitan dengan melawan hegemoni berbagai
tipu daya Barat yang menjajah. Sebut saja beberapa nama yang sudah masyhur,
misalnya Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone, Muhammad Mustafa al-A’zami
lulusan Cambridge dan Syade Muhammad Naquib al-Attas lulus London.
Atau juga beberapa generasi baru seperti Hamid Fahmi Zarkasyi dan
Syamsuddin Arif. Mereka mampu kebal atas
virus para orientalis karena memang telah mempersiapkan diri secara akidah.
Lulus dari Barat, mereka menemukan sesuatu yang berharga bagi dunia Islam,
yaitu mengetahui bagaimana metodologi Barat (dengan segala kelemahannya) dalam
menancapkan hegemoninya di dunia Islam dan dunia ketiga dalam berbagai tatanan
kehidupan, bukan justru menjadi pembebek atas setiap rumusan pandangan Barat
terhadap Islam. Ini model lulusan yang diharapkan karena dengan demikian mereka
telah membekali umat Islam untuk maju dengan tetap menjadikan Islam sebagai
solusi menuju kebangkitan sekaligus membantu merumuskan pandangan hidup Islam (Islamic
Worldview) yang berbeda dengan pandangan Barat terhadap Islam.
Namun di balik mereka yang kebal terhadap virus orientalis di Barat
tersebut, realitas selama ini menunjukkan tidak sedikitnya alumnus Islamis
Studies yang kemudian menjadi pembebek atas ide-ide dan ekspansi kapitalisme
negara-negara Barat atas dunia Islam. Bisa disebut bahwa sangat sedikit alumnus
Islamic Studies yang mampu menghidupkan nalar kritisnya atas hegemoni
dunia Barat yang menjajah dunia Islam dalam berbagai model.
Realitas inilah yang ingin penulis kritisi dari program beasiswa kajian
Islam dari pemerintah Aceh ke Amerika tersebut. Harus kita akui, sulit
untuk tidak mengatakan bahwa studi-studi Islam di Barat tidak digunakan untuk
mendukung ide-ide Barat dan agenda-agenda invasi mereka ke dunia Islam. Sulit
untuk tidak jujur bahwa alumnus Islamic Studies umumnya cenderung
radikal dalam wacana pemikiran, menuduh siapa saja yang tidak sesuai dengan
cara pandang mereka sebagai kelompok radikal dan fundamentalis. Lihat misalnya
Ulil Absar Abdala yang begitu gencar mempromosikan Islam liberal, pluralisme
agama dan sekulerisme di Indonesia, yang padahal paham-paham ini sudah
difatwakan haram oleh Majlis Ulama Indonesia sejak tahun 2005.
Contoh lain, seperti diberitakan
islampos, dalam isu mafia Berkeley, banyak alumnus Barat yang pulang ke
Indonesia dengan sistem ekonomi liberal dan pasar bebas. Alih-alih memakmurkan
Indonesia, justru sekarang yang terjadi adlah ekonomi Indonesia dikangkangi
oleh korporat asing yang menikmati “kebebasan” ekonomi yang dibawa oleh para
sarjana kita. Alhasil, Indonesia pun terus menerus menjadi “sapi peras” yang
hasil alamnya terus dikuras oleh kekuatan asing kapitalisme.
Kelemahan metodologi Barat
Hamid Fahmi Zarkasyi (Misykat: 2012), seorang yang pernah belajar pada
orientalis mengatakan, ”Kelemahan dari belajar Islam di Barat ada pada Framework
(manhaj) berfikir mereka dalam mengkaji Islam. Dari prinsip obyektifitas, Islam
dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam
dikaji sebatas ilmu, dan ilmu dalam kacamata Barat harus berdasarkan fakta
obyektif dan empiris”. Efeknya, dalam studi hadis dan Alquran misalnya,
fakta-fakta yang tidak berbentuk empiris(nyata) tidak mampu mereka jadikan
variabel dalam studi ulumul hadis dan Alquran.
Contoh lain, dengan filsafat hermeneutika (metode yang pada awalnya
digunakan untuk penafsiran Bibel), Alquran juga
menjadi produk budaya, bukan wahyu dari Tuhan yang pada akhirnya
ujung-ujungnya adalah untuk desakralisasikan Alquran. Alhasil, tidaklah
mengherankan jika keraguan terhadap kebenaran Alquran dan hadis semakin sering
terlihat dari para alumnus Islamic Studies atau dari orang-orang yang
mereka didik.
Sebagai contoh, lihat misalnya kasus seorang Guru
Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Qasim Mathar,
sebagaimana diberitakan oleh berbagai media online, tahun lalu menyebut bahwa
Alquran perlu direvisi karena Nabi Muhammad Saw telah meninggal dunia sehingga
tak cocok lagi. Sampai di sini, kita bisa memahami bahwa mereka yang
belajar Islam di Barat dengan kesalahan pandang yang fundamental ini pada
akhirnya justru tidak menawarkan solusi yang bermanfaat ketika pulang ke
negerinya, tapi justru membawa permasalahan lain yang merusak kenyaman hidup
umat Islam di negeri ini.
Selain Hamid Fahmi Zarkasyi, Syamsuddin Arif yang juga pernah belajar di
Barat juga melakukan kritik terhadap metodologi Barat (2008) yang merasakan
adanya motif ekonomi, politik dan agama kajian Islam di Barat. Nampaknya ini
sangat beralasan apabila kita mau sedikit saja belajar pada sejarah Aceh,
misalnya bagaimana peran orientalis Barat seperti Snouck Hugronje dalam
membantu Belanda menjajah kerajaan Aceh dulu sebagai bukti ada misi ekonomi,
politik dan agama dalam kerja-kerja orientalis. Ini belum lagi kita berbicara
tentang fakta-fakta terbaru tentang penelitian-penelitian pesanan dari Barat
(via sponsor) untuk mengatahui setiap inci kelemahan umat Islam.
Atas realitas ini, nampaknya pemerintah Aceh sudah seharusnya berfikir
untuk menghentikan program beasiswa kajian Islam ke Barat serta menyadarkan
pemuda dan akademisi Aceh tentang tidak pentingnya mereka belajar Islam ke
Barat. Jika ke Barat, lebih baik belajar disiplin keilmuan saja yang memang
hari ini masih menjadi kekurangan Aceh seperti sains dan teknologi. Banyak
universitas-universitas lain selain di Barat yang bisa menjadi alternatif
sebagai tujuan studi Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis
adalah Alumnus Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Saat ini bekerja di
Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh. Email khairipanglima@gmail.com