Mendamaikan PA dan PNA dengan Alquran

Oleh Teuku Zulkhairi             Menjelang pemilihan umum anggota legislatif, eskalasi konflik antara Partai Aceh (PA) dan Partai ...



Oleh Teuku Zulkhairi

            Menjelang pemilihan umum anggota legislatif, eskalasi konflik antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PA) nampaknya semakin tak terbendung lagi. Bahkan telah sampai pada tingkat penghilangan nyawa manusia seperti kasus penganiyaan yang menyebabkan meninggalkan seorang kader PNA di Aceh Utara (Lihat Serambi Indonesia, 7/2).

 
Foto acehonline.info
Padahal, penghilangan nyawa manusia adalah sesuatu yang diharamkan Allah Swt. Dengan realitas seperti ini,  eksistensi partai politik yang jika meminjam istilah Anis Matta (2013) berperan sebagai “industri pemikiran”, tapi kini justru berperan sebagai “produsen kekerasan”. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka politik lokal di Aceh bukan saja akan gagal berperan dalam menawarkan ide-ide kebangkitan dan peradaban, namun justru akan terjebak dalam penghancuran sendi-sendi bangunan peradaban yang masih goyah.

            Di satu sisi, konflik sesama manusia mungkin menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindari. Buktinya, konflik terus saja terjadi, sejak dari kasus putra Nabi Adam hingga saat ini, di Aceh dan di berbagai belahan dunia lainnya. Kendati demikian, sebagai makhluk beradab dan memiliki nurani dan pikiran, lebih-lebih lagi sebagai Muslim yang terikat oleh dua kalimah syahadat yang sering kita ucapkan, meyakini dan mengimplementasikan ayat-ayat Alquran sebagai petunjuk bagi kehidupan(way of life), termasuk petunjuk dalam resolusi konflik adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kembali kepada Alquran dan hadis akan menjadi pembuktian atas kejujuran dua kalimah syahadat yang sering kita ucapkan.

            Rasulullah mengatakan, Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu: Kitabullah (Alquran) dan sunnah NabiNya.” (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999). Oleh sebab itu, konflik PA dan PNA sesungguhnya hanya bisa diselesaikan jika kedua kelompok ini kembali kepada Alquran dan hadis. Permusuhan sesama Islam, dengan alasan apapun, tidak akan pernah memberikan kontribusi apapun untuk kebangkitan Aceh.

Namun, jika kita melihat PA dan PNA yang belum punya inisiatif sendiri untuk kembali kepada Alquran dalam menyelesaikan konflik di antara mereka, maka tugas kelompok ketiga untuk mengajak mereka agar sejenak merujuk kepada Alquran dengan mentadabburi dan mengimplementasikan ayat-ayatNya. Jika salah satu kelompok atau kedua tidak bersedia, maka lihatlah ancaman Allah berikut ini: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).

Perintah Alquran untuk Ishah
             Dalam Alquran, terdapat ayat-ayat menyeru kita untuk mendamaikan dua kelompok yang sedang berkonflik. Misalnya dalam surat Al-Hujurat: 9-10: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”

Artinya, dua kelompok yang berkonflik tidak seharusnya dibiarkan dalam konflik di antara mereka. Ayat, “maka damaikanlah antara keduanya” ditujukan bagi kita semua. Oleh sebab itu, pemerintah dan elemen sipil di Aceh harus bangkit mendamaikan PA- PNA sebelum konflik berlarut-larut sehingga akan membawa Aceh kembali dalam lorong gelap konflik.
Maka, mendamaikan PNA dan PA adalah tugas pemerintah, ulama, akademisi, wartawan, mahasiswa, santri dan sebagainya. Semua harus bergerak. Kita sadar bahwa konflik mereka adalah konflik Aceh, konflik kita semuanya. Ikrar pemilu damai yang telah diselenggarakan beberapa waktu lalu, pun nampaknya belum mampu mendamaikan PA dan PNA sebagai pihak yang paling menguasai kalangan akar rumput di Aceh. Lebih dari itu, faktanya persoalan di Aceh sepertinya hanya meruncing pada PA-PNA.

Pesan ulama untuk perdamaian
            Dalam merealisasikan resolusi konflik berbasis Islam, secara praktis pemikiran almarhum Abu Panton dalam bukunya “Resolusi Konfik dalam Islam” (2008) nampaknya bisa dijadikan sebagai buku pedoman langsung bagi PA dan PNA. Untuk menghindari konflik, Abu Panton misalnya dalam menafsirkan surat al-Hujurat ayat 13 agar kita saling mengenali keunikan dan kekhasan karakter setiap orang(atau sekolompok orang, pen) agar dapat menyikapinya secara tepat. Pengenalan seperti ini akan membawa seseorang untuk berlaku arif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di antara manusia (Halaman 5).
Lalu, lihat pula bagaimana Rasulullah melakukan sejumlah kebijakan dalam mencegah konflik seperti, pertama, mempersatukan umat Islam dalam sebuah jalinan dan ikatan persaudaraan yang kuat, karena sesunngguhnya orang beriman itu adalah bersaudara (QS al-Hujarat: 10). Kedua, mengangkat tokoh-tokoh yang akan mengawali proses penyelesaian masalah. Ketiga, membentuk jiwa pemaaf. Keempat, mengajak orang yang bersengketa untuk kembali pada kebenaran yang diajarkan Alquran (Halaman 20-21).
Ditegaskan juga oleh Abu Panton, bahwa dalam ajaran Islam terdapat larangan yang sangat tegas terhadap segala bentuk perilaku yang menyinggung perasaan orang lain, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Larangan dimaksud berlaku bagi semua orang, baik secara personal maupun kelompok (partai, pen). Dijelaskan juga, bahwa ada lima perkara yang mesti diperlihara dan dijaga, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Apabila kelima hal pokok ini diganggu, maka disinilah biasanya konflik bermula. (Halaman 5).
Demikianlah tulisan ini untuk sekedar mengingatkan kita semuanya, sekaligus untuk menjadi pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt di akhirat kelak. Kiranya mendapat respon yang berarti dari elit-elit parpol yang sedang berseteru, khususnya PA dan PNA. Juga bagi pemerintah dan seluruh elemen sipil di Aceh. Diperlukan kesediaan mereka untuk ishlah dan diperlukan kerja-kerja masyarakat Aceh untuk meng-ishlahkan mereka. Karena biar bagaimanapun, konflik  dua kelompok ini adalah konflik masyarakat Aceh dan Indonesia seluruhnya.
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk karena prasangka butuk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi dan saling membenci. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (HR. Bukhari dan Muslim). Begitulah pesan Rasulullah kepada kita umat Islam saat beliau masih hidup. Wallahu musta’an.

Penulis adalah alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara dan Wakil Sekjend Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Saat ini bekerja di Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh. Email khairipanglima@gmail.com 

Dimuat di Harian Analisa dengan judul: Mencegah Kekerasan Politik di Aceh

http://harian.analisadaily.com/opini/news/mencegah-kekerasan-politik-di-aceh/15155/2014/03/20

Related

Ruang Politik 3942792491205586465

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item