Membumikan Syari'at untuk Berdamai dengan Bencana

Kaum Nabi Luth ditimpakan bencana oleh sebab pengingkaran mereka kepada Allah dan RasulNya Nabi Luth As. (foto: google.com) Oleh Teuku...

Kaum Nabi Luth ditimpakan bencana oleh sebab pengingkaran mereka kepada Allah dan RasulNya Nabi Luth As. (foto: google.com)
Oleh Teuku Zulkhairi | Alumnus UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sebagai umat Islam, aqidah Islam kita mengajarkan bahwa suatu bencana yang terjadi tidaklah berlangsung tanpa sebab. Ada akibat pasti ada sebabnya. Pasti ada ulah manusia sebagai pengundang bencana. Ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat dalam Alquran yang menjelaskan adanya korelasi antara terjadinya bencana dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia. Inilah kebenaran yang seringkali diingkari oleh kebanyakan manusia.

Kendati demikian, sebuah bencana kadangkala juga dimaksdukan sebagai ujian bagi iman kita. Jika kita adalah orang-orang yang beriman, yang menjalan syari’at Allah Swt dan menjauhi laranganNya, maka jalan terbaik untuk menghadapinya suatu bencana atau musibah adalah dengan sabar.  

Perhatikan firman Allah Swt berikut ini: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat “. (Al-Baqarah: 214). Juga hadis Nabi Muhammad SawBarangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia timpakan bencana kepada-Nya“. (HR. Al-Bukhari).

Pertanyaan kemudian, ketika kita telah menganggap sebuah bencana yang terjadi memiliki korelasi dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia, lalu bagaimana dengan kajian akademik atau ilmu pengetahuan modern yang meninjau sebab terjadinya suatu bencana dengan ukuran empirik?

Empat jenis kebenaran
Banyak manusia yang mempertentangkan korelasi terjadinya bencana dengan pengingkaran-pengingkaran terhadap aturan Allah Swt yang dilakukan manusia. Padahal, sebagai seorang Muslim seharusnya kita menempatkan  kebenaran religi di atas kebenaran empirisme. Guru saya, Prof Alyasa’ Abubakar dalam suatu pertemuan perkuliahan membuka jalan pikiran saya. Menurut beliau (2010), kebenaran dalam ilmu metodelogi kajian Islam dibagi ke dalam empat (4) jenis kebenaran. Pertama, Kebenaran empirik(data/fakta). Kedua, kebenaran logik(logika). Ketiga, kebenaran etik(etika/moral). Dan keempat, kebenaran religi(akidah).

Saat kita melihat suatu bencana yang terjadi lewat kajian empirik (kebenaran jenis pertama), bukan berarti saat itu kita harus memunngkiri kebenaran religi (kebenaran jenis keempat). Sehingga analisa sebab-sebab terjadinya bencana secara empirik tidak perlu dipertentangkan dengan sebab terjadinya bencana dalam analisa religi. Maksudnya, terjadinnya suatu bencana yang disebabkan faktor alam misalnya, memang bisa dibenarkan secara empirik, namun sebagai Muslim, kita harus yakin bahwa kebenaran yang lebih tinggi tetaplah dengan memakai perspektif akidah Islam(kebenaran religi).
Gempa bumi Aceh akibat gunung meletus? @Ciputranews.com
Kisah bencana menimpa kaum yang ingkar
Alquran menceritakan, ketika manusia melanggar aturan-aturan Allah Swt maka kemudian ditimpakanlah bencana ke atas mereka. Kita bisa membaca kisah kaum Nabi Nuh yang mendapat bencana banjir besar yang menenggelamkan mereka yang ingkar, termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS Al-Ankabut : 14).

Kemudian kaum Nabi Hud yang ingkar. Lalu Allah mendatangkan bencana angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS Attaubah: 70, Alqamar: 18, Fushshilat: 13, Annajm: 50, Qaaf: 13). Kemudian Kaum Nabi Saleh (Kaum Tsamud), Kaum Nabi Luth yang ditimpakan kepada mereka azab berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum Nabi Luth ini akhirnya tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS Alsyu'araa: 160, Annaml: 54, Alhijr: 67, Alfurqan: 38, Qaf: 12).

Begitu juga kisah kaum Saba’ yang diberi berbagai kenikmatan berupa kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan. Mereka kemudian diazab oleh Allah karena enggan beribadah kepada Allah walau sudah diperingatkan oleh Nabi Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Ma'rib dengan banjir besar (Al-Arim) (QS Saba: 15-19).  

Bencana sebagai konsekuensi logis atas kemaksiatan manusia
Berdasarkan empat jenis kebenaran di atas, maka akan sangat ironis ketika munculnya berbagai cara berpikir yang mencoba menolak eksistensi Tuhan dalam suatu bencana atau musibah seperi gemba bumi dan sebagainya. Misalnya dengan berdalih bahwa suatu bencana yang terjadi seperti gempa hanya karena suatu faktor alam, disebabkan patahnya lempengan bumi atau berbagai alasan lainnya dengan dalih bahwa negara-negara yang Non Muslim (baca: kafir) juga melakukan kemaksiatan yang besar. Ini adalah suatu cara pandang yang bertentangan dengan pesan-pesan kitab suci Alquran.
Kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir oleh sebab tangan manusia (foto: google.com)

Padahal, terdapat perbedaan antara kemaksiatan dan kekafiran. Kemaksiatan adalah ketidak patuhan atau pelanggaran orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah. Sedangkan kekafiran merupakan keingkaran yang nyata terhadap ketuhanan, bencana yang ditujukan kepada suatu negeri yang penduduknya mayoritas kafir, maka ini merupakan azab Allah di dunia bagi mereka.

Sedangkan, bagi orang beriman yang bermaksiat maka ini merupkan sebuah teguran, peringatan atau musibah(cobaan) bagi mereka yang dengan hal tersebut mereka diharapkan ke jalan yang lurus, sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam Alquran dan Hadist. Sebagaimana firman Allah; “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30).

Sebagai contoh, sebab terjadinya bencana gempa bumi berulang kali disinggung dalam Alquran. Misalnya ayat yang berbunyi; “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (Q.S. Al A’raf; 78). Selain itu, menurut redaksi surat Az-Zalzalah, terjadinya kiamat juga diawali dengan terjadinya gempa dahsyat, seperti friman Allah ayat pertama surat ini yang berbunyi; ”Apabila digoncangkan bumi dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi pun mengeluarkan segala isinya….”.

Yang paling jelas adalah firman Allah Swt berikut ini: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum : 41).
Banjir saban tahun di Jakarta (foto: google.com)

Menurut Dr. Ahmad Zain An Najah, MA (2011), maksud “Telah nampak kerusakan” dalam ayat di atas, yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur.

Sementara, maksud  “di daratan dan lautan” dari ayat di atas,  yaitu bahwa kerusakan ini sudah merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi,  gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran lingkungan, maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut, terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker, matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.   

Menerka sebab aktual terjadinya bencana
Fakta selama ini, bencana yang terus terjadi Aceh dan berbagai wilayah Indonesia harus diakui belum disikapi oleh mayoritas rakyat di negeri ini sebagai momentum untuk melakukan muhasabatun nafs, atau sarana introspeksi diri untuk semakin giat dalam menjalankan hukum syari’at dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.

Faktanya, berbagai pelanggaran terhadap norma-norma agama masih saja terus terjadi. Dalam tataran hukum dan kenegaraan, fenomena markus(makelar kasus), suap menyuap, nepotisme dan kasus-kasus korupsi lainnya terus menjamur dan bahkan semakin sulit untuk dihentikan. Padahal, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah jelas bertentangan dengan syari’at Islam.
Kehancuran Aceh pasca bencana tsunami (foto: google.com)

Pada tataran sosial-individual, kemaksiatan dan tindak kejatahatan masih saja terus terjadi secara berulang-ulang, manipulasi, takabur, sombong, angkuh, mengumpat, buruk sangka dan berbagai tingkah dan perilaku menyimpang dari norma-norma agama seakan menjadi bagian dari sifat yang sangat sulit untuk dibendung.

Sementara pada tataran praktis pertanggung jawaban dua kalimah syahadat, masih banyak diantara umat Islam yang resistensi terhadap eksistensi Tuhan di muka bumi dengan menolak syari’atNya, melakukan perbuatan syirik seperti sihir, khurafat, animisme, pluralisme agama, sosialisme, liberalisme, sekulerisme, orientalisme dan sebagainya.

Terjadinya bencana yang dalam Alquran disebut sebagai bala’ atau bencana bagi kaum yang ingkar belum dimaknai sebagai momentum untuk kembali ke jalan yang lurus. Intinya, bencana yang telah terjadi berulang kali belum dijadikan sebagai ajang untuk mewujudkan perubahan yang signifikan dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bersyaria’t.

Bersyari’at untuk berdamai dengan bencana
Oleh sebab itu, persiapan menghadapai atau berdamai dengan bencana yang paling urgen dan mutlak adalah mencegah terjadinya bencana lewat perspektif syari’at Islam. Misalnya, bagaimana kita mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang masuk dalam kategori maksiat dan pengingkaran-pengingkaran lainnya atas aturan Allah Swt.

Jadi bukan semata seperti fakta selama ini dimana masyarakat kita hanya diajarkan untuk hanya melihat bagaimana menyiasati, menghindar dan menyelamatkan diri saat gempa terjadi. Sosialisasi ‘tsunami drill’ atau siaga tsunami pascagempa dan berbagai training ‘siaga menghadapi bencana’ lainnya. Kita akui bahwa hal ini memang sangat penting, namun perlu diingat, bahwa apapun yang kita lakukan secara hakikat berdasarkan perspektif akidah Islam, jika Tuhan hendak menurunkan bencana karena pengingkaran kita terhadap aturanNya, maka siapapun tak akan bisa lari kemanapun.

Yang sering kita lihat selama ini, saat gempa terjadi semuanya katakutan luar biasa sambil bertasbih dan bertahlil. Namun, setelah terjadinya gempa, ya seperti biasa lagi, habis semua perkara. tidak ada sesuatu yang membekas yang dijadikan sebagai pelajaran untuk terus mendekatkan diri kepadaNya. Yang maksiat terus maksiat lagi. Yang korupsi dan berbagai kemungkaran lainnya juga terus menjalankan aksinya. Yang memfitnah terus memfitnah. Yang menyebarkan paham sesat dan kesyirikan juga terus beraksi tanpa rasa takut. 

Bagi saya, inilah sikap pragmatisme yang paling akut karena hanya memikirkan kepentingan sejenak saat terjadinya gempa, kita hanya berpikir bagaimana menyelamatkan diri saat terjadinya gempa.
Seorang Muslim sujud (foto: google)

Kembali ke jalan Islam
Maka, marilah sejenak kita renungkan tentang sebab-sebab terjadinya suatu bencana. Di tengah berbagai bencana dan musibah lainnya yang sering terjadi di negeri kita, seberapa banyak pengingkaran kita kepada Allah dibalik suatu bencana itu?. Dengan demikian, marilah kita kembali ke jalan Islam dengan jalan mengerjakan perintah Allah Swt da RasululNya (baca: Syar’at Islam) dengan menjauhi segala larangan Allah Swt dan RasulNya.

Marilah kita jadikan seluruh musibah dan bencana yang menimpa diri kita, keluarga atau bangsa kita ini sebagai momentum untuk mengingatkan diri kita untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam. Sebagai momentum untuk instropeksi diri bagi kita untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu (musyrik). Tidak sombong dan merasa aman dari azab Allah. Tidak munafik. Senatiasa beristighfar, berdo’a, berzikir dan bershalawat. Tidak meninggalkan shalat. Berpuasa di bulan Ramadhan. Membayar zakat. Pergi haji ke Baitullah. 

Begitu juga, hendaknya kita terus mewarnai hidup kita dengan amal-amal yang bersifat sunnatiah yang dengan itu akan bisa menutup “bolong” ibadah wajib kita.

Sembari itu, marilah tiada hentinya kita terus berupaya mendekatkan diri dan tawakkal kita kapada-Nya, meningkatkan kualitas iman, amal dan taqwa kita untuk mendapatkan ampunan dan surga-Nya. Dengan demikian, kita berharap negeri kita menjadi benar-benar menjadi negeri impian yang bergelar “Baldatun thibatun wa rabbun ghafur”, negeri yang baik dan penduduknya penuh dengan ampunan Allah Swt. Amiin..




Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kebencanaan TDMRC 2014 dengan kategori "umum".





Related

Sosial dan Budaya 6834755848190686637

Posting Komentar Default Comments

  1. Artikelnya mantap! two thumbs up!

    BalasHapus
  2. Mencerahkan. Terima kasih ya tengku zulkhairi

    BalasHapus
  3. Semoga terpilih sebagai pemenang, ya, teuku :)

    BalasHapus
  4. Bagus sekali tulisan ini, dan saya tertarik dengan pandangan Prof. Aliyasa' Abubakar tentang 4 macam kebenaran yang dikutip di atas. Sebagai tulisan yg diikutsertakan dalam perlombaan alangkah baiknya kalau dielaborasi sedikit tentang peranserta manusia dalam menyikapi kebenaran empirik, logik dan etik. Sebab ketiga kebenaran tersebut masih dapat dikaji atau dipelajari tentang sebab musabab bencana. Dengan perkataan lain masih ada ruang untuk berfikir guna menyikapi kebencanaan dan meminimalisir akibatnya bagi manusia. Semoga tulisan Teuku Zulkhairi ini dapat memberi inspirasi bagi perbaikan iman dan akhlak manusia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah Pak, saya akan buat tulisan lain yang akan mengelaborasikan peran serta manusia dalam menyikapi kebenaran empirik, logic, dan etik...

      Hapus

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item