Membumikan Syari'at untuk Berdamai dengan Bencana
Kaum Nabi Luth ditimpakan bencana oleh sebab pengingkaran mereka kepada Allah dan RasulNya Nabi Luth As. (foto: google.com) Oleh Teuku...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/08/membumikan-syariat-untuk-berdamai.html
Kaum Nabi Luth ditimpakan bencana oleh sebab pengingkaran mereka kepada Allah dan RasulNya Nabi Luth As. (foto: google.com) |
Sebagai
umat Islam, aqidah Islam kita mengajarkan bahwa suatu bencana yang terjadi
tidaklah berlangsung tanpa sebab. Ada akibat pasti ada sebabnya. Pasti ada ulah
manusia sebagai pengundang bencana. Ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat
dalam Alquran yang menjelaskan adanya korelasi antara terjadinya bencana dengan
pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia. Inilah kebenaran yang
seringkali diingkari oleh kebanyakan manusia.
Kendati demikian, sebuah bencana kadangkala
juga dimaksdukan sebagai ujian bagi iman kita. Jika kita adalah orang-orang
yang beriman, yang menjalan syari’at Allah Swt dan menjauhi laranganNya, maka jalan
terbaik untuk menghadapinya suatu bencana atau musibah adalah dengan sabar.
Perhatikan firman Allah Swt berikut ini: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat “. (Al-Baqarah: 214). Juga hadis Nabi Muhammad Saw “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada
dirinya, maka Dia timpakan bencana kepada-Nya“. (HR. Al-Bukhari).
Pertanyaan
kemudian, ketika kita telah menganggap sebuah bencana yang terjadi memiliki
korelasi dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia, lalu
bagaimana dengan kajian akademik atau ilmu pengetahuan modern yang meninjau
sebab terjadinya suatu bencana dengan ukuran empirik?
Empat
jenis kebenaran
Banyak
manusia yang mempertentangkan korelasi terjadinya bencana dengan
pengingkaran-pengingkaran terhadap aturan Allah Swt yang dilakukan manusia. Padahal,
sebagai seorang Muslim seharusnya kita menempatkan kebenaran religi di atas kebenaran empirisme. Guru
saya, Prof Alyasa’ Abubakar dalam suatu pertemuan perkuliahan membuka jalan
pikiran saya. Menurut beliau (2010), kebenaran dalam ilmu
metodelogi kajian Islam dibagi ke dalam empat (4) jenis kebenaran. Pertama,
Kebenaran empirik(data/fakta). Kedua, kebenaran logik(logika). Ketiga,
kebenaran etik(etika/moral). Dan keempat, kebenaran religi(akidah).
Saat kita
melihat suatu bencana yang terjadi lewat kajian empirik (kebenaran jenis pertama), bukan berarti saat itu kita harus
memunngkiri kebenaran religi (kebenaran
jenis keempat). Sehingga analisa sebab-sebab terjadinya bencana secara empirik
tidak perlu dipertentangkan dengan sebab terjadinya bencana dalam analisa religi.
Maksudnya, terjadinnya suatu bencana yang disebabkan faktor alam misalnya, memang
bisa dibenarkan secara empirik, namun sebagai Muslim, kita harus yakin bahwa kebenaran
yang lebih tinggi tetaplah dengan memakai perspektif akidah Islam(kebenaran
religi).
Kisah
bencana menimpa kaum yang ingkar
Alquran
menceritakan, ketika manusia melanggar aturan-aturan Allah Swt maka kemudian
ditimpakanlah bencana ke atas mereka. Kita bisa membaca kisah kaum Nabi Nuh
yang mendapat bencana banjir besar yang menenggelamkan mereka yang ingkar,
termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS Al-Ankabut : 14).
Kemudian
kaum Nabi Hud yang ingkar. Lalu Allah
mendatangkan bencana angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang
menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS Attaubah: 70,
Alqamar: 18, Fushshilat: 13, Annajm: 50, Qaaf: 13). Kemudian Kaum Nabi Saleh (Kaum Tsamud), Kaum Nabi Luth yang ditimpakan kepada mereka azab berupa
gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga
hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum Nabi Luth ini akhirnya tertimbun di
bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS Alsyu'araa: 160, Annaml: 54, Alhijr:
67, Alfurqan: 38, Qaf: 12).
Begitu juga kisah kaum Saba’
yang diberi berbagai kenikmatan berupa kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan. Mereka
kemudian diazab oleh Allah karena enggan beribadah kepada Allah walau sudah
diperingatkan oleh Nabi Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Ma'rib
dengan banjir besar (Al-Arim) (QS Saba: 15-19).
Bencana
sebagai konsekuensi logis atas kemaksiatan manusia
Berdasarkan
empat jenis kebenaran di atas, maka akan sangat ironis ketika munculnya
berbagai cara berpikir yang mencoba menolak eksistensi Tuhan dalam suatu bencana
atau musibah seperi gemba bumi dan sebagainya. Misalnya dengan berdalih bahwa suatu
bencana yang terjadi seperti gempa hanya karena suatu faktor alam, disebabkan
patahnya lempengan bumi atau berbagai alasan lainnya dengan dalih bahwa
negara-negara yang Non Muslim (baca: kafir) juga melakukan kemaksiatan yang
besar. Ini adalah suatu cara pandang yang bertentangan dengan pesan-pesan kitab
suci Alquran.
Padahal, terdapat
perbedaan antara kemaksiatan dan kekafiran. Kemaksiatan adalah ketidak patuhan
atau pelanggaran orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah. Sedangkan
kekafiran merupakan keingkaran yang nyata terhadap ketuhanan, bencana yang
ditujukan kepada suatu negeri yang penduduknya mayoritas kafir, maka ini
merupakan azab Allah di dunia bagi mereka.
Sedangkan,
bagi orang beriman yang bermaksiat maka ini merupkan sebuah teguran, peringatan
atau musibah(cobaan) bagi mereka yang dengan hal tersebut mereka diharapkan ke
jalan yang lurus, sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam Alquran dan Hadist.
Sebagaimana firman Allah; “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka
disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30).
Sebagai contoh,
sebab terjadinya bencana gempa bumi berulang kali disinggung dalam Alquran. Misalnya ayat yang berbunyi; “Lalu
datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam
reruntuhan rumah mereka (Q.S. Al A’raf; 78). Selain itu, menurut redaksi
surat Az-Zalzalah, terjadinya kiamat juga diawali dengan terjadinya gempa
dahsyat, seperti friman Allah ayat pertama surat ini yang berbunyi; ”Apabila
digoncangkan bumi dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi pun mengeluarkan
segala isinya….”.
Yang paling
jelas adalah firman Allah Swt berikut ini: “Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).“ (Qs. ar-Rum : 41).
Banjir saban tahun di Jakarta (foto: google.com) |
Menurut
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA (2011), maksud “Telah nampak
kerusakan” dalam ayat di atas, yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa
kehidupan manusia benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan
secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup
kerusakan non fisik seperti kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga
mencakup kerusakan fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam
penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur.
Sementara,
maksud “di daratan dan lautan” dari ayat
di atas, yaitu bahwa kerusakan ini sudah
merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi,
gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran
lingkungan, maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran
air laut, terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker,
matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.
Menerka
sebab aktual terjadinya bencana
Fakta selama ini, bencana yang terus
terjadi Aceh dan berbagai wilayah Indonesia harus diakui belum disikapi oleh
mayoritas rakyat di negeri ini sebagai momentum untuk melakukan muhasabatun
nafs, atau sarana introspeksi diri untuk semakin giat dalam menjalankan
hukum syari’at dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan
segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.
Faktanya, berbagai pelanggaran
terhadap norma-norma agama masih saja terus terjadi. Dalam tataran hukum dan
kenegaraan, fenomena markus(makelar kasus), suap menyuap, nepotisme dan
kasus-kasus korupsi lainnya terus menjamur dan bahkan semakin sulit untuk
dihentikan. Padahal, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah jelas bertentangan
dengan syari’at Islam.
Kehancuran Aceh pasca bencana tsunami (foto: google.com) |
Pada tataran sosial-individual,
kemaksiatan dan tindak kejatahatan masih saja terus terjadi secara
berulang-ulang, manipulasi, takabur, sombong, angkuh, mengumpat, buruk sangka
dan berbagai tingkah dan perilaku menyimpang dari norma-norma agama seakan menjadi
bagian dari sifat yang sangat sulit untuk dibendung.
Sementara pada tataran praktis
pertanggung jawaban dua kalimah syahadat, masih banyak diantara
umat Islam yang resistensi terhadap eksistensi Tuhan di muka bumi dengan
menolak syari’atNya, melakukan perbuatan syirik seperti sihir, khurafat,
animisme, pluralisme agama, sosialisme, liberalisme, sekulerisme, orientalisme
dan sebagainya.
Terjadinya bencana yang dalam
Alquran disebut sebagai bala’ atau bencana bagi kaum yang ingkar belum
dimaknai sebagai momentum untuk kembali ke jalan yang lurus. Intinya, bencana yang
telah terjadi berulang kali belum dijadikan sebagai ajang untuk mewujudkan perubahan
yang signifikan dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bersyaria’t.
Bersyari’at
untuk berdamai dengan bencana
Oleh sebab
itu, persiapan menghadapai atau berdamai dengan bencana yang paling urgen dan
mutlak adalah mencegah terjadinya bencana lewat perspektif syari’at Islam. Misalnya,
bagaimana kita mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang masuk dalam kategori maksiat
dan pengingkaran-pengingkaran lainnya atas aturan Allah Swt.
Jadi bukan semata
seperti fakta selama ini dimana masyarakat kita hanya diajarkan untuk hanya
melihat bagaimana menyiasati, menghindar dan menyelamatkan diri saat gempa
terjadi. Sosialisasi ‘tsunami drill’ atau siaga tsunami pascagempa dan berbagai
training ‘siaga menghadapi bencana’ lainnya. Kita akui bahwa hal ini memang
sangat penting, namun perlu diingat, bahwa apapun yang kita lakukan secara
hakikat berdasarkan perspektif akidah Islam, jika Tuhan hendak menurunkan
bencana karena pengingkaran kita terhadap aturanNya, maka siapapun tak akan
bisa lari kemanapun.
Yang sering
kita lihat selama ini, saat gempa terjadi semuanya katakutan luar biasa sambil
bertasbih dan bertahlil. Namun, setelah terjadinya gempa, ya seperti biasa
lagi, habis semua perkara. tidak ada sesuatu yang membekas yang dijadikan
sebagai pelajaran untuk terus mendekatkan diri kepadaNya. Yang maksiat terus
maksiat lagi. Yang korupsi dan berbagai kemungkaran lainnya juga terus
menjalankan aksinya. Yang memfitnah terus memfitnah. Yang menyebarkan paham
sesat dan kesyirikan juga terus beraksi tanpa rasa takut.
Bagi saya, inilah sikap
pragmatisme yang paling akut karena hanya memikirkan kepentingan sejenak saat
terjadinya gempa, kita hanya berpikir bagaimana menyelamatkan diri saat
terjadinya gempa.
Seorang Muslim sujud (foto: google) |
Kembali ke
jalan Islam
Maka, marilah sejenak kita renungkan
tentang sebab-sebab terjadinya suatu bencana. Di tengah berbagai bencana dan
musibah lainnya yang sering terjadi di negeri kita, seberapa banyak
pengingkaran kita kepada Allah dibalik suatu bencana itu?. Dengan demikian,
marilah kita kembali ke jalan Islam dengan jalan mengerjakan perintah Allah Swt
da RasululNya (baca: Syar’at Islam) dengan menjauhi segala larangan Allah Swt
dan RasulNya.
Marilah kita jadikan seluruh musibah
dan bencana yang menimpa diri kita, keluarga atau bangsa kita ini sebagai
momentum untuk mengingatkan diri kita untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan syari’at Islam. Sebagai momentum untuk instropeksi diri bagi kita untuk
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu (musyrik). Tidak sombong dan merasa
aman dari azab Allah. Tidak munafik. Senatiasa beristighfar, berdo’a, berzikir
dan bershalawat. Tidak meninggalkan shalat. Berpuasa di bulan Ramadhan. Membayar
zakat. Pergi haji ke Baitullah.
Begitu juga, hendaknya kita terus mewarnai
hidup kita dengan amal-amal yang bersifat sunnatiah yang dengan itu akan bisa
menutup “bolong” ibadah wajib kita.
Sembari itu, marilah tiada hentinya
kita terus berupaya mendekatkan diri dan tawakkal kita kapada-Nya, meningkatkan
kualitas iman, amal dan taqwa kita untuk mendapatkan ampunan dan surga-Nya. Dengan
demikian, kita berharap negeri kita menjadi benar-benar menjadi negeri impian
yang bergelar “Baldatun thibatun wa rabbun ghafur”, negeri yang
baik dan penduduknya penuh dengan ampunan Allah Swt. Amiin..
Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kebencanaan TDMRC 2014 dengan kategori "umum".
Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kebencanaan TDMRC 2014 dengan kategori "umum".
Artikelnya mantap! two thumbs up!
BalasHapushehehehe, syukran...
HapusMencerahkan. Terima kasih ya tengku zulkhairi
BalasHapusSemoga terpilih sebagai pemenang, ya, teuku :)
BalasHapusJikapun tdk juara, ya tdk apa juga kak...
HapusPerfect..(y)
BalasHapusBagus sekali tulisan ini, dan saya tertarik dengan pandangan Prof. Aliyasa' Abubakar tentang 4 macam kebenaran yang dikutip di atas. Sebagai tulisan yg diikutsertakan dalam perlombaan alangkah baiknya kalau dielaborasi sedikit tentang peranserta manusia dalam menyikapi kebenaran empirik, logik dan etik. Sebab ketiga kebenaran tersebut masih dapat dikaji atau dipelajari tentang sebab musabab bencana. Dengan perkataan lain masih ada ruang untuk berfikir guna menyikapi kebencanaan dan meminimalisir akibatnya bagi manusia. Semoga tulisan Teuku Zulkhairi ini dapat memberi inspirasi bagi perbaikan iman dan akhlak manusia.
BalasHapusinsya Allah Pak, saya akan buat tulisan lain yang akan mengelaborasikan peran serta manusia dalam menyikapi kebenaran empirik, logic, dan etik...
Hapus